Maqaama-m-Mahmuuda

Wa mina-l-laili fatahajjad bihi naafilata-l-laka, 'asaa an yab'atsaka Rabbuka maqaama-m-mahmuuda.

Di Antara Kalimat-kalimat

Yang terpenting adalah apa yang tetap tak terkatakan, atau apa yang mungkin terbaca di antara kalimat-kalimat.

Anak Kehidupan

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu ... Mereka adalah putra-putri kehidupan ... Kau bisa berikan kasih sayangmu ... Tapi tidak pikiranmu.

Kesalingsepakatan dan Ketidaksepakatan

Jadi, sebuah telatah pas untuk seorang penulis muda mengembangkan diri adalah situasi penuh percakapan, diskusi, cara-cara menunjukkan kesalingsepakatan, dan yang paling penting adalah cara tidak bersepakat.

Kesetiaan + Keteguhan + Konsistensi = Cara + Bentuk + Jalan

Kesetiaan akan mengilhami cara. Keteguhan memberi petunjuk tentang bentuk-bentuk. Konsistensi melahirkan jalan.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Jangan biarkan daya mati jerat nurani. Jangan biarkan amarah membakar hati. Jangan biarkan keangkuhan menindas pekerti. Jangan biarkan bisikan setan meracuni diri. Jangan jumawa saat masih berkuasa. Jangan menepuk dada saat berjaya. Kejayaan itu fana kekuasaan itu hampa. Di atas langit masih ada langit..

Mendingan Setan

Kita memang harus berlindung kepada Tuhan dari orang-orang yang kepalanya pura-pura nyunggi Kitab Suci, yang bibirnya akting mencipok-cipoki ayat-ayatnya, tetapi itu semata-mata demi persekongkolannya dengan sang perut, kemudian mereka nanti bagi hasil dari penipuan-penipuannya. Orang yang begini masih mendingan setan atau demit.

Pasrah kepada Tuhan

"Menunduk-nunduk" itu bisa berarti sungguh-sungguh menunduk-nunduk, tetapi bisa juga berarti kekalahan dan kepatuhan di bawah suatu tiran kekuasaan yang tak semestinya dipatuhi ... Pasrah kepada Tuhan itu begitu nyaman. Ia sungguh-sungguh menyediakan kebahagiaan.

Saling ... Tanpa ... Tidak Akan ...

Persahabatan ini ... Tak lekang oleh waktu ... Saling memberi ... Tanpa rasa pamrih ... Saling menjaga ... Saling memahami ... Persaudaraan ini ... Lebih indah dari pelangi ... Saling mengingatkan ... Tanpa rasa benci ... Sahabat sejati ... Tak akan mengkhianati ....

Kebahagiaan

Kebahagiaan terbesar akan datang jika seseorang bertindak tidak demi kebahagiaan pribadinya.

Keberadaan

Mengingat (dan mencatat) yang sedang mereka perbincangkan adalah keberadaanku.

Alat dan Peluang, Kepekaan dan Pengetahuan

Angin tinggal menghembuskan cinta, pepohonan tinggal berdiri setia, tetapi manusia memiliki alat dan peluang untuk mengasah kepekaan dan pengetahuannya.

Di Tengah

Aku saat itu sedang belajar Memahami inti Kewajaran hidup dan kewajaran alam Berada di tengah-tengahnya Tidak merasa terjepit Tidak juga leluasa bergerak.

Ketahanan Terhadap Waktu

Kebiasaan-kebiasaan konsumtif membikin kita lebih banyak pasif. Langkah-langkah sering kurang kreatif-reputatif. Bahkan dalam menempuh cita-cita pun kalau bisa yang simpel saja. Jalan pintas. Praktis saja. Tidak mengeksplor pentingnya latihan ketahanan terhadap waktu.

Petarung Hidup

Kita bukanlah orang yang mudah menyerah ... Kita bukan orang yang mudah dikalahkan ... Kita pernah jatuh jatuh jatuh tersungkur ... Tapi bangkit lagi melangkah lebih pasti ...

Mudkhala Shidqin

Rabbii adkhilnii mudkhala shidqin wa akhrijnii mukhraja shidqin waj'alnii min-l-ladunka shulthaana-n-nashiira.

Qul!

Qul: Allahumma maalika-l-mulki tu'ti-l-mulka man tasyaa-u wa tanzi'u-l-mulka min-m-man tasyaa-u, wa tu'izzu man tasyaa-u wa tudzillu man tasyaa-u, bi yadika-l-khair, innaka 'alaa kulli syai-i-n-qadiir. Tuuliju-l-laila fi-n-nahaari wa tuuliju-n-nahaara fi-l-laili, wa tukhriju-l-hayya mina-l-mayyiti wa tukhriju-l-mayyita mina-l-hayyi, wa tarzuqu man tasyaa-u bighairi hisaab.

Mengolah

Di antara langit dan bumi: mengolah hidup; Di antara hitam dan putih: mengolah kepastian; Di antara suka dan duka: mengolah ketenangan; Di antara hidup dan mati: mengolah kegagahan..

Friday, December 28, 2012

Presiden RC 100


I
Jelas saya berhak misuh. Sebagai koordinator yang berarti sebagai yang pangkatnya lebih tinggi dan yang levelnya lebih senior, tidak wajar jika ia masih memerlukan saya sekadar untuk bertandang ke rumah kader-kader. Lha wong saya saja yang bukan koordinator, baik ketika bertugas di wilayah R maupun di wilayah S yang sekarang ini, mengunjungi untuk pertama kali satu persatu rumah kader-kader itu tanpa diantar oleh siapapun. Bahkan juga tanpa petunjuk dari orang-orang yang semestinya memberi petunjuk dan yang semestinya mengantarkan saya.

Bukankah tugasnya kini lebih mudah? Saya sudah memberinya petunjuk masing-masing jalan menuju ke rumah masing-masing kader. Selanjutnya tinggal berjalan mengikuti apa kata petunjuk.

Untunglah di dalam kepala saya selalu ada alasan untuk meminimalisir kuantitas dan intensitas pisuhan. Tak apalah. Memang terkadang ada orang yang tua umurnya namun abg mentalnya. Salah satu bentuk mental abg adalah cari untung dan cari muka. Seakan-akan ia yang bekerja, padahal tidak sama sekali. Sudah begitu, masih minta “jatah” lebih banyak dengan dasar bahwa ia satu tingkat di atas saya. 

II
Setelah dua kader desa terdatangi dan terlewati, tibalah kini kami di desa T. Sebuah desa terpelosok dibanding 9 desa yang lain di wilayah tugas kami. Kader kami di desa ini seorang istri kepala desa, sehingga bagi saya pribadi, perlu sedikit berhati-hati dalam berkomunikasi dibanding 9 kader yang lain. Apalagi, dalam kunjungan kami kali ini, kader kami didampingi oleh suaminya.

Untungnya, kami adalah juga aparat pemerintah. Sehingga sesama aparat pemerintah harus saling berhati-hati. Sekali tak berhati-hati, bisa berantakanlah skema dan rencana kerja kami (tampaknya, kata “kami” dalam kalimat ini lebih tepat diganti dengan “saya”).
Untungnya lagi, tidak sebagaimana hari sebelumnya, saya tidak bertandang sendiri. Ada koordinator sekaligus senior saya. Sehingga saya menjadi cukup leluasa untuk menggeluti hobi saya: diam.



III
Setelah sejenak basa-basi yang diikuti beberapa kalimat tentang proyeksi calon akseptor, tentang adik Kepala Desa yang sedang dioperasi, dan tentang satu dua nama perempuan yang dipromosikan kepada saya, tiba-tiba tibalah kami (kata “kami” di sini tampaknya lebih tepat diganti dengan “mereka”) pada perbincangan tentang mujarabnya air sendang di desa itu. Sendang itu diberi nama Sendang Putri. Sebuah nama yang tentu saja tidak membutuhkan akta kelahiran, KK, dan e-ktp.

Air sendang itu tidak hanya mujarab sebagai obat. Tetapi juga sebagai syarat utama bagi para pejabat yang berkeinginan untuk naik “pangkat”. Mantan Gubernur Jateng sekaligus mantan Mendagri konon berhasil menjadi Mendagri setelah beberapa hari sebelumnya mandi di sendang itu. Ada juga mantan Bupati yang dulu berhasil menjadi Bupati karena beberapa hari sebelumnya melakukan hal (kata “hal” di sini tampaknya lebih tepat diganti dengan “kebodohan) yang sama. Begitu juga dengan seorang mantan Sekda yang dulu berhasil menjadi Sekda “sebab” air sendang itu.

Tak kuasa saya membayangkan bagaimana orang-orang hebat itu mandi di tempat terbuka dengan kemungkinan besar dilakukan pada malam hari. Yang terbayangkan justru sebuah parodi: Seluruh warga desa T suatu hari nanti pasti menjadi pejabat tinggi, sebab seluruh warga desa T pasti sudah pernah mandi di sendang itu. Sedikit harapan lagi dari saya: semoga Presiden RI periode 2014 dan seterusnya nanti adalah salah seorang dari warga desa T.

IV
Mendadak saya hentikan ekspresi palsu yang saya pasang di tampang saya. Tampang saya yang semula saya “sederhanakan” agar tampak seia-sekata dengan mereka tentang sendang itu, berubah teksturnya begitu Bapak kepala Desa bilang bahwa Kepala Departemen Agama Kabupaten B yang sekarang ini, berhasil naik pangkat menjadi Kepala setelah beberapa hari sebelumnya mandi di sendang itu.

Kepala Departemen Agama? Departemen Agama? Kepala? Agama? Kepalanya atau agamanyakah yang hilang, sehingga bodoh dan tunduk kepada sendang, hanya demi mendapatkan sesuatu yang tak begitu bermutu itu?

Maka jelaslah sudah. Sebab utama ketidakberesan negeri ini, atau yang lebih sempit lagi, sebab utama ketidakberesan kabupaten ini, tak lain adalah karena pejabat-pejabatnya memegang jabatannya tidak berdasarkan "SK Atasan" (kata “Atasan” di sini lebih tepat diganti dengan “Tuhan”) melainkan berdasarkan SK Sendang.

V
Setelah berpamitan, saya datang ke sendang. Tidak untuk melakukan kebodohan yang sama karena saya sama sekali tidak berminat menjadi pejabat apalagi menjadi pejabat yang bodoh, melainkan untuk mengantarkan koordinator sekaligus senior saya. Tidak perlu heran, jangankan datang ke sendang yang tuan rumahnya tidak jelas itu, datang ke rumah yang tuan rumahnya dan arah jalannya sudah jelas pun ia masih perlu diantar.

Dari bawah sebuah pohon sangat besar, saya melihat ia melepas sepatu dan kaos kakinya kemudian membasuh seluruh anggota badannya yang memungkinkan untuk dibasuh. Sementara itu, di sebelahnya ada seorang bapak sedang mencuci sepeda motornya.

Semoga sepeda motor bapak itu berhasil menjadi Presiden RC100.

Cepu, 26 Desember 2012 – 22:28

Nikmat Fitnah Indah Musibah


Jika aku mengeluh, Tuhan
Teringat betapa aku tak begitu patuh
Jika aku mengaduh, Tuhan
Teringat betapa aku begitu keruh

Hendak kuletakkan saja ini sauh
Merasuk ke dalam ombak gemuruh
Tapi kehendakku selalu saja runtuh
: Mengapa selalu saja Engkau datang menyentuh?

Tuhan, betapa nikmatnya fitnah
Dan alangkah indahnya musibah
Jika setelah semuanya sudah
Adalah fadhilah, ma'unah, dan karamah

Pojokwatu, 25 Desember 2012

Bukan Generasi Penerus


Sebelum segala sesuatunya dimulai
Masing-masing dan semuanya harus satu visi
Ini bukan puisi
Bukan pula sumpah pemuda edisi revisi

Bukan puisi ini tidak tentang eksistensi
Sebuah generasi atas generasi yang lain
Melainkan sekadar reorientasi
Tetapi meski sekadar, ini tidak main-main

Mereka sebut kita sebagai generasi penerus
Sedemikian jelasnya stempel itu
Atau karena sedemikian tak jelasnya
Kita terima sebutan itu dengan busung dada-dongak kepala

Pada mulanya adalah nama
Pada akhirnya binasa
Pada mulanya adalah sebutan
Pada akhirnya kesemrawutan

Penerus?
Siapa-siapanya sudah jelas
: yang dahulu disambung oleh yang kemudian
Tetapi, apanya yang akan kita teruskan?

Generasi tua melarang generasi muda tawuran
Tetapi mereka sendiri sudah lebih dulu tawuran
Bedanya: yang muda di jalanan, yang tua di perkantoran
Sialan!

Di depan media generasi tua prihatin dengan pesta seks usia belasan
Di belakangnya, terang-gelap mereka  adalah perzinaan-perzinaan
Bedanya: yang muda tak punya uang untuk menyewa hotel dan keamanan
Inikah yang mereka suruh teruskan?

Menipu dan mencuri itu tidak baik, Nak, kata mereka
Biarlah ibumu saja yang menipu dan biar bapakmu saja yang mencuri
Bersabarlah sampai nanti kalau engkau sudah semenggoda ibu
dan setingkat dengan pangkat bapak

Sejenak lupakan omong besar
Membahas soal antargenerasi
Kembalikan ingatan kepada hal kecil:
Perilaku anak adalah pantulan perilaku ibu-bapak

Maka tidak!
Sekali-kali tidak!
Kami generasi muda, atau setidaknya aku sendiri
Ikrarkan diri: kami bukan generasi penerus

Kami bukan generasi harapan-harapan bangsat
Kami tidak ingin meneruskan harapan para bangsat
Yang akhir-akhir ini kebangsatannya kami saksikan
Yang akhir-akhir ini kebangsatannya semakin menjijikkan

Tidak akan ada yang akan kami teruskan
Karena bengkok-lurusnya kalian tak bakal pernah terumuskan
Maka, tidak ada yang perlu kalian lakukan
Selain menjadi saksi dari apa yang akan generasi pelurus kerjakan

Pojokwatu, 11 Desember 2012

Dianggap-Tidak Dianggap

Pukul setengah sembilan. Suatu waktu yang lumayan siang untuk jam masuknya seorang pegawai negeri yang bertugas duduk di kursi, tetapi lumayan biasa bagi pegawai negeri yang petugas lapangan.
Kusempatkan ngothok secangkir kopi. Kusempatkan pula merokok sebatang matahari. Di sela-sela nikmatnya rokok dan kopi, satu lembar SMS aku kirimkan ke 11 nomor “kekasih-kekasih anugerah Tuhanku”: Assalamualaikum. Diberitahukan kepada seluruh PPKBD Kec. Anu bahwa jadwal pertemuan bulan ini dimajukan ke hari Anu tanggal Anu bulan Anu tahun Anu. Matursuwun.
S...rejo, G...u II, Gi...ti, dan Te...ng membalas dengan segera dan dengan nada yang sama. Sementara yang lainnya tidak membalas karena nomernya sedang tidak aktif, atau karena sedang tidak punya HP, dan mungkin juga karena sedang tidak punya cadangan pulsa. Yang pasti, tidak ada seorang pun dari mereka yang tidak bisa ber-SMS. 
Gedung kantor baru yang masih terkunci karena belum selesai instalasi listriknya serta hanya tersedianya satu buah meja dan satu buah kursi kerja untuk dua orang petugas lapangan membuatku berinisiatif untuk langsung meluncur ke kantor induk di Blora tanpa “mampir” dan “pamitan” dulu di kantor cabang kecamatan.Tujuan pertama adalah kantor induk bagian utara. Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) sebesar Rp. 1.064.000,- (dipotong Rp. 15.000,- untuk “iuran” menggaji pegawai honorer) dalam amplop putih bernomor 15 menantiku di sana. Si TPP tidak sendirian. Ikut menantiku juga adalah Tunjangan Beras sebesar Rp. 76.500,- (dipotong Rp. 8.000,- untuk mengganti biaya kalender KORPRI).
Ketika melangkah meninggalkan kantor, E63-ku bergetar. Langkahku terhenti tepat di depan pintu kantor. 3 SMS dalam inbox dan 4 panggilan tak terjawab. Dan 1 nomor tak terdaftar. Masing-masingnya seakan meminta untuk segera ditanggapi. 
Terhadap nomor tak terdaftar, kukirimkan kepadanya: siapa? Tak berapa lama, nomor tak terdaftar itu menelpon, “Saya Pak Anu, Mas. Ketua Panwas. Panwas butuh seorang bendahara, dan bendahara itu harus seorang PNS. Makanya saya minta Mas untuk menjadi bendahara panwas.”
Aku terdiam sejenak. Bendahara? Bukankah itu tentang uang? Dan mengapa aku yang dipilih untuk berurusan dengan sesuatu yang aku sendiri sebenarnya sangat tidak berminat untuk berurusan dengannya?
“Yang lain saja, Pak,” jawabku. Tapi tampaknya Ketua Panwas itu bisa memikirkan apa yang aku pikirkan. “Tidak apa-apa, Mas. Jenengan saja. Kita belajar bersama-sama.”
Dalam tempo sepersekian detik dan dengan memohon perlindungan dan pertolongan Allah, aku memutuskan untuk mengiyakan. “Kami butuh nama, NIP, dan pangkat-golongan jenengan,” pinta ketua Panwas itu. “Saya sedang dalam perjalanan, nanti saya kirimkan,” jawab saya.
Sementara itu, SMS yang lain berisi pertanyaan tentang apakah seluruh PPKBD sudah di-SMS-i tentang perubahan hari pertemuan, dan SMS yang satunya lagi berisi permintaan tolong untuk “memberesi” file Microsoft Excel berjudul R/I/KS yang tidak bisa dibuka karena ektensinya berubah dari .xls menjadi .scr.
Setelah SMS-SMS dan panggilan-panggilan itu terselesaikan, segara kuluncurkan kuda biru mudaku ke kantor induk bagian selatan. Untuk tujuan kedua: menyelesaikan kekurangan penghitungan data  Rek.Kec dan KPS/KS. Benar-benar merepotkan. Aku yang sejatinya “buta angka” mau tak mau harus menggunakan mata yang lain untuk melihat kemudian menghitung dengan “rumus sederhana” deretan angka yang bagiku tampak seperti gerombolan babi hutan.
Dalam kerumitan itu, sebuah SMS dari ketua Panwas masuk, “Sekretariat di PKBM timur Polsek.”
Aku memutuskan untuk tidak perlu datang ke tempat yang ditunjukkan. Toh, aku sama sekali tidak membutuhkan jabatan itu. Kecuali kalau Allah memang menghendaki aku untuk datang ke sana. Jadi, terhadap SMS itu, aku merasa cukup untuk membalasnya dengan nama lengkap, NIP, dan pangkat-golonganku. Terserah akan mereka apakan tiga hal itu. Toh, aku sudah berserah kepada Allah atas segala kemungkinan yang mungkin maupun yang tidak mungkin terjadi.
Kurang lebih satu jam, selesailah gerombolan babi hutan itu. Kuhisap rokokku. Kepada orang yang bertanggung jawab atas “keselamatan” babi-babi hutan dari seluruh kecamatan yang tak lain adalah juga temanku, aku bercerita, “Aku diminta menjadi bendahara Panwas.”
“Sip lah kalau begitu,” jawabnya pendek. Sementara itu, seorang perempuan pegawai honorer yang kebetulan berada di dekatku dan kebetulan mendengar obrolanku dengan temanku itu menanggapi, “Bersyukur kalau begitu, berarti sampean dianggap.”
Dianggap? Tiba-tiba hatiku tersenyum kecut. “Aku ini lebih baik tidak dianggap daripada dianggap.”
Pojokwatu, 12 Desember 2012

Sunday, December 16, 2012

Mukadimah Pertemuan PPKBD Akhir Tahun 2012




Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.

Alhamdulillah, pada pagi hari ini kita dipertemukan kembali terutama dalam rangka bersilaturahim, yang oleh basa-basi pemerintahan pertemuan kita ini diberi judul Rapat Koordinasi Tingkat Kecamatan, dan yang kemudian oleh tradisi kesederhanaan kita sebut dengan Pertemuan PPKDB.

Sebelum segala sesuatunya dimulai, secara pribadi saya mohon maaf karena jadwal pertemuan ini dimajukan pada hari ini dari yang biasanya dilaksanakan pada tanggal 21 tiap bulannya, sehingga yang hari ini seharusnya menjaga warung, atau yang hari ini seharusnya mencari dan mengumpulkan ungker, atau yang seharusnya hari ini mengolah sawah, terpaksa tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.

Oleh karena itu, terimakasih saya sampaikan atas kesediaan untuk menghadiri pertemuan ini, meski tidak ada janji bahwa honor kader akan diterimakan hari ini, meski tidak ada janji bahwa akan ada uang transport, juga meski tidak ada janji bahwa honor kader sejumlah 4 bulan kali sekian ribu sekian ratus rupiah yang digelapkan (dalam hati: digasak) oleh seseorang yang kini telah pensiun itu akan dikembalikan.

Sebelum pengarahan lebih inti dan lebih rinci dari Koordinator PLKB (dalam hati: seharusnya PLKB Koordinator), alasan mengapa pertemuan kita ini dimajukan adalah kerja. Ya, kerja. Kita akan mempunyai pekerjaan yang dijadwalkan oleh kantor induk dilaksanakan pada tanggal 20 di pendopo bupati. Jadi, perlu kiranya perencanaan yang matang yang salah satu caranya adalah dengan memajukan jadwal pertemuan sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan itu bisa jelas tanpa menyisakan bias.

Kerja. Bahasa Alquran-nya: ‘amal. Dan yang dicatat dan dibukukan oleh malaikat sebagai kebaikan adalah ‘amal baik kita, bukan seberapa banyak uang kita, seberapa tinggi jabatan kita, bukan pula seberapa hebat bapak-ibu dan kakek-nenek moyang kita.

Salah satu unsur kebaikan adalah kesungguhan. Demi terdapatnya unsur itulah, maka pada hari ini dibagikan kepada jenengan Buku Kerja. Benar-benar Buku Kerja, sebagaimana yang tertulis di sampul buku itu. Adapun jika ada dua dari sebelas buku itu yang tulisannya bukan Buku Kerja melainkan Professional dan satu lagi Succesfull, itu bukanlah sebuah kesengajaan.

Tadi malam saya sempatkan waktu satu jam untuk memilihkan buku untuk jenengan sekalian. Tapi begitulah keadaan kabupaten kita saat ini, segalanya serba terbatas. Tidak hanya anggaran untuk rakyat saja yang terbatas (dalam hati: terbatas karena dipangkas untuk membiayai ketakterbatasan nafsu sekelompok orang tertentu), bahkan buku-buku di toko buku maupun di toko-toko ATK pun juga terbatas. Sehingga terpaksa ada dua buku yang berbeda. Tapi jangan khawatir, harganya sama. Lagipula, tak ada gunanya harga kalau tak ada gunanya.

Sering saya dapatkan kebenaran dari kebetulan. Maka, jika kebetulan ada dua buku yang berbeda tulisan di sampulnya, semogalah menjadi doa: kerja kita adalah kerja yang profesional (‘amal shalih) sehingga kerja kita mencapai kesuksesan (succesfull).

Buku-buku ini tidak dimaksudkan untuk membuat jenengan sekalian lupa terhadap “musibah” yang menimpa kita. Tidak dimaksudkan untuk seperti memberi mainan baru kepada anak kecil untuk membuatnya lupa kepada mainan lama. Tidak. Buku itu sekadar untuk membuat kita bisa berpikir bahwa di antara kita ada peristiwa saling memikirkan.

Jadi, sebelum jenengan melangkah lebih jauh bersama saya, kita perlu sepakat pada satu hal. Yaitu tentang honor jenengan yang digelapkan. Jika saya boleh memberi usul, marilah kita ikhlaskan. Mengikhlaskan bukan berarti kita lemah dan kalah. Tidak. Malah yang sebenarnya lemah adalah orang yang membawa lari hak jenengan. Ia lemah hatinya sehingga dikalahkan oleh nafsunya.

Sekali lagi ini sekadar usul, karena sungguh tidak sopan kalau saya menyebut ini sebagai saran, sebab seberapalah harga saran seorang anak muda di hadapan jenengan-jenengan yang telah lebih lama menjalani aneh dan lucunya hidup di dunia. Dan alangkah tak tahu dirinya jika saya sebut ini sebagai saran sementara di hadapan saya adalah ibu kepala desa, ibu sekretaris desa, ibu kaur kesra, ibu kaur pemerintahan, atau ibu pengusaha.

Inti usul saya adalah mari kita maafkan ia yang lemah hatinya dan dikalahkan nafsunya itu. Ya, memaafkan. Tapi tidak melupakan. Yang tidak boleh kita lupakan adalah pelajaran berharga dari peristiwa itu. Jenengan semua tahu, yang terluka bukan hanya jenengan, tapi juga saya. Saya mungkin tidak merasa kehilangan hak saya dalam bentuk uang, tapi saya perlu waktu hampir dua bulan untuk membereskan prasangka buruk banyak orang kepada saya tentang siapa yang sesungguhnya menggelapkan uang hak jenengan itu.

Tetapi saya kembali kepada Ia yang mengizinkan terjadinya segala bentuk musibah. Percayalah, jika musibah kita pandang dengan mata-barakah, dia yang membawa lari hak kita itulah yang sebenarnya perlu kita kasihani. Ia mungkin perlu bertahun-tahun atau bahkan hingga turun-temurun untuk melunasi hutangnya kepada kita. Sebaliknya, musibah itu, asal kita ikhlas secara total, akan menyebabkan datangnya barakah Allah kepada kita tanpa kita harus bersusah payah dan berebutan.

Mungkin, duduknya saya beserta segala atribut yang pathing trembel di depan jenengan sekalian saat ini adalah barakah dari musibah yang menimpa saya sebelumnya. Duduknya saya di sini berbeda dengan kebanyakan orang yang sampai mengeluarkan ongkos ratusan juta atau kebanyakan orang yang menumpang hubungan keluarga atau kebanyakan orang yang bertahun-tahun mengabdi sekadar untuk bisa “menjadi”.

Itulah insya Allah barakah. Saya sebut barakah karena “kemenjadian” saya insya Allah tidak berhenti sebagai “kemenjadian” saya, melainkan berlanjut menjadi kemaslahatan bagi orang lain.

Maka semoga kita sepakat untuk memaafkan ia yang telah melukai kita, sehingga langkah bersama kita, sehingga kerja sama kita selanjutnya, adalah langkah dan kerja yang barakah bagi kehidupan kita bersama.

Sekian mukadimah dari saya. Ada kurang tepat dan kurang berkenannya saya mohon maaf. Selanjutnya, mari kita simak dengan seksama arahan dari koordinator PLKB.

Wassalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Catatan (ujung kuku ibu jari) kaki: Ceramah ini disampaikan pada pertemuan PPKBD Kec. Samxxng di Pendopo Kecamatan pada hari Kamis tanggal 13 Desember 2012.

Kekasih Tak Bisa Menanti

Wednesday, December 12, 2012

Pada Keterbatasan dan Ketakterbatasan


Pada keterbatasan
Firman diukirkan
Karena pada keterbatasan
Terkandung keberlimpahan
Yang menunggu dilahirkan
Dari kedalaman Rahim, dengan energi Rahman.

Pada ketakterbatasan
Tafsir dititipkan
Bukan agar akal berlebihan
Tapi agar nurani tawakkal mengendalikan
Sehingga keberlimpahan dewasa dalam cinta
Dan firman tak mati di kata.

Belakang Meja Kerja, 6 Desember 2012 – 11.21

Friday, December 7, 2012

Hudzaifah


I

Aku mengutus si Fulan kepada kalian dan mengintruksikan kepadanya untuk tugas demikian.


II

Kalian harus mendengarnya dan mematuhinya. Berikan kepadanya apa saja yang ia minta dari kalian.


Menurut Ibnu Sirin dan dikutip Mustafa Azami kemudian saya kutip lagi dalam tulisan ini, I dan II adalah dua jenis surat dari “Presiden” Umar ibn al-Khattab kepada seluruh rakyat di masing-masing “propinsi” atau “kabupaten” atau “kecamatan” di mana seorang “Gubernur” atau “Bupati” atau “Camat” ditempatkan. Sungguh sebuah perwujudan bentuk penghormatan dari seorang pemimpin terhadap yang dipimpin sekaligus sebuah kenyataan yang berkebalikan dengan “presiden-presiden” kita saat ini.

Tetapi tunggu dulu. Mengapa ada “jurang yang menganga” antara surat I dan surat II? Surat I menunjukkan ajakan bahkan intruksi kepada rakyat agar di samping siap untuk dipimpin, juga agar turut bersama-sama mengawasi “alif” atau “bukan alif”-nya si Gubernur” atau “Bupati” atau “Camat” yang ditempatkan oleh Presiden. Sementara surat II menunjukkan besarnya kepercayaan “Presiden” kepada “Gubernur” atau “Bupati” atau “Camat” yang ia tempatkan, sehingga rakyat tidak perlu bertambah kerjaan lagi. Pilih kasihkah “Presiden” Umar? Atau jangan-jangan surat II itu dikhususkan bagi anggota partai tertentu?

Surat II memang khusus. Khususnya khusus. Karena surat II hanya berlaku atas satu orang saja: Hudzaifah ibnu al-Yaman. Famili Umar ibn al-Khattab-kah Hudzaifah? Atau pernah berhutang jasakah Umar ibn al-Khattab kepada Hudzaifah?

Memang, terhadap informasi apapun dari siapapun dalam bentuk bagaimanapun, kewajiban kita adalah tidak langsung mempercayainya. Tapi, terhadap sahabat Hudzaifah ibn al-Yaman, kecurigaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan tersebut di depan merupakan kewaspadaan yang tidak diperlukan. Keberatan macam apakah yang membuat seseorang merasa perlu mencurigai seseorang yang oleh al-amin Muhammad saw. dipercaya untuk menjadi “brankas” nama-nama orang munafik?

Orang bisa berubah. Tetapi tidak Hudzaifah. Ada banyak orang yang ketika “bukan siapa-siapa” begitu sederhana dan bersahaja, mendadak berlagak bak raja setelah menjadi “siapa-siapa”. Ada banyak orang yang hidup jujur dan tidak pernah mencuri ketika tidak punya apa-apa, tetapi mendadak menjadi pembohong kalap dan maling kelas kakap justru ketika segala benda dan segala fatamorgana sudah tergenggam di tangannya.

Semoga saya (juga siapa saja yang bersedia) tertular istiqamahnya Hudzaifah, seorang yang “kepergian” dan “kedatangannya” tidak diselingi oleh setetes pun perubahan; seorang yang ketika menjadi rakyat tidak punya apa-apa dan ketika menjadi pejabat juga tetap tidak punya apa-apa.

Mustafa Azami menuturkan, “Begitu Umar melihat (keadaan) Hudzaifah masih seperti yang beliau lihat ketika pergi untuk untuk menunaikan tugasnya ke Mada’in, beliau langsung menghampirinya dan merangkulnya, “Kamu adalah saudaraku. Aku adalah saudaramu.”

Alhasil, bersaudaralah Umar ibn al-Khattab dan Hudzaifah ibn al-Yaman. Padahal antara keduanya tidak ada persambungan garis silsilah. Dan atas Hudzaifah, surat II itu pun sangat sah.

Semoga segera lahir ribuan Hudzaifah dari rahim ibu pertiwi yang hampir memasuki periode menopause ini.

Sakura 225, 6 Desember 2012 – 23.48

Sunday, December 2, 2012

Huruf Hidup


Oleh secangkir kopi
: dua sendok gula dua sendok kopi
Dan empat batang matahari
Lahirlah puisi ini

Peduli setan dengan kolom-kolom
tandatangantandatangan
Peduli iblis dengan laporan-laporan
angkaangka keangkaramurkaan

Hidup adalah huruf
Angka hanyalah tipuan
Bagi yang hidup atas dasar persangkaan
Bagi yang tak bisa hidup tanpa menipu dan mencelakakan

Sakura 225, 2 Desember 2012 - 21.43










Wakil Bupati pun Kalah


Soleman tidak pernah benar-benar tahu mizan apa yang ada dalam lubuk akal dan lubuk hati beberapa temannya itu. Tentangnya. Hanya satu yang tersisa: terharu. Maha Kuasa Tuhan yang telah menautkan hati-hati dan akal-akal itu dengan rahman dan rahim-Nya.

Pada momentum pertama, tiga orang teman menemani Soleman. Sungguh sebuah pertunjukan kesejatian: sesungguh-sungguhnya teman adalah yang ada dan sedia ketika sedang dalam kesusahan.

Teman keempat, seorang guru yang oleh suatu keadaan terpaksa harus pergi-pulang Madiun-Blora, berangkat dari Madiun dengan tujuan mengajar di tempatnya bertugas. Tapi begitu mengetahui momentum kesusahan Soleman, berbeloklah ia. Bergabung dengan tiga teman Soleman yang telah lebih dulu menemani Soleman. Adapun teman kelima, karena datang dari rute yang berbeda, baru bergabung setelah Soleman menjawab sms-nya tentang apakah Soleman sudah sampai di tempat.

Soleman bukan seorang penakut. Apalagi pengecut. Momentum kesusahan itu insya Allah bisa ia hadapi sendirian. Bahkan, hingga detik-detik akhir menjelang keberangkatan, tidak sepatah kata ajakan atau permohonan pun Soleman lontarkan kepada teman-temannya yang baik-baik itu. Jadi itu murni inisiatif teman-teman Soleman sendiri, yang “dipercikkan” oleh Entah Siapa.

Lebih lagi, kelima teman Soleman itu bukan para pengangguran. Empat orang guru SD, satu orang pegawai kantor Kesatuan Bangsa & Politik. Semoga Tuhan mengampuni dosa Soleman beserta kelima temannya yang telah dengan sengaja meninggalkan apa-apa yang semestinya tidak mereka tinggalkan.

Pada momentum kedua, karena kelima teman Soleman melihat—berdasarkan momentum pertama—bahwa Soleman dalam “keadaan aman”, mempercayakan “keamanan dan keselamatan” Soleman kepada salah satu dari mereka. Sementara itu, teman kelima yang datang dari jalur yang berbeda, seperti pada momentum pertama, menanyakan lewat sms apakah Soleman sudah sampai di tempat, sambil juga mengabarkan bahwa teman keenam akan ikut menemani Soleman.

Soleman tak percaya. Bagaimana mungkin teman keenam itu akan ikut menemani, sedangkan banyak yang tahu, tidak mudah untuk “kabur” dari kantor tempat di mana teman keenam itu bertugas.

Teman-teman Soleman ternyata memang orang-orang yang tidak suka main-main. Teman keenam itu, seorang penganut Katolik, datang bersama teman kelima. Setelah menjabat tangan Soleman, ia berkata, “Seandainya momentum pertama itu aku tahu, niscaya aku datang untuk menemanimu.”

Lagi-lagi Soleman terharu. Jasa apakah yang telah Soleman berikan kepadanya, juga kepada teman-teman yang lain, sehingga mereka bersikap seperti itu?

***
Karena belum juga Soleman mendapat giliran, sementara teman kelima dan teman keenam itu sudah cukup lama menemani Soleman yang sekaligus juga sudah cukup lama meninggalkan tempat tugasnya masing-masing, kedua teman itu berpamitan untuk meninggalkan Soleman. Soleman mengiyakan.

Namun sebuah keadaan memaksa Soleman untuk meminta teman kelima kembali. Ibarat trisula, teman kelimanya itu adalah salah satu dari dua ujung yang mengapit ujung tengah trisula.

Tidak berapa lama, datanglah ia. Padahal ia sedang nikmat-nikmatnya makan siang bersama istrinya. Dan yang lebih dari itu, ia sedang ditunggu oleh Wakil Bupati dalam kapasitasnya sebagai orang partai.

Tapi teman kelima tahu mana yang lebih perlu. Atau barangkali teman kelima itu sudah ketularan virus Soleman: “meremehkan” kekuasaan. Wakil Bupati itu pun disemayani satu setengah jam lagi. Sebuah perkiraan waktu yang dihitung berdasarkan momentum kesusahan Soleman.

Sesampai di rumah kontrakan, Soleman mengirim sms kepada teman kelima, “Mohon maaf karena telah menyita waktumu hari ini, dan terimakasih karena baru kali ini seorang Soleman bisa mengalahkan seorang wakil Bupati.”

Tak lama kemudian, sms balasan masuk, “Diamput.”

Jangan sangka “diamput” sebagai ungkapan kemarahan atau luapan kejengkelan. “Diamput” dalam sms itu justru menggambarkan betapa akrabnya Soleman dengan temannya itu. Semua teman Soleman tampaknya tahu, Soleman lebih gembira diakrabi dengan pisuhan berbasis ketulusan daripada dengan pujian yang menipu dan menggelincirkan.

Sakura 225, 2 Desember 2012 – 16:13

Tuesday, November 27, 2012

Tinggal Menunggu


Sebenarnya Aqua galonnya Soleman masih sisa seperempat bagian. Tapi berhubung Soleman kadung pernah mendengar saran disliwar-sliweri wae: nek jodo lak kecanthol dewe, dan didukung adanya satu galon Aqua cadangan, berangkatlah Soleman ke toko itu.

Tapi dasar Soleman, sebelum berangkat ia masih saja sempat “bercakap-cakap” dengan Tuhannya, “Ya Allah, dalam urusan semacam ini sudah dua kali aku terperosok ke dalam lubang, bahkan meski aku sudah sedemikian berhati-hati dan meski kutempuh jalan itu dengan setulus hati. Maka, Ya Allah, kalau ternyata yang ini adalah lubang ketiga, hadanglah aku dari jalan ini.”

Setelah dirasa “Kawan Bercakap” Soleman mengiyakan, berangkatlah Soleman. Di genggaman tangannya selembar seratus ribuan. Tujuan: Aqua galon asli, dua buah mie Sarimi kuah, dan satu bungkus Surya 12.

Sampai di teras toko, seorang bocah berdiri. “Misi” Soleman seperti dipermudah. Ia tak perlu bersuara untuk memanggil pemilik toko yang berada di dalam rumah karena tanpa disuruh, si bocah berteriak, “Bude, ada orang beli.”

Terdengar suara sahutan dari Soleman. Suara yang tidak akrab bagi telinga Soleman, tapi juga tidak asing. Suara yang masih lekat di ingat, suara yang masih sisa di rasa. Suaranya. Bukan suara yang lain.

Setelah sempat sejenak bercanda dengan si bocah, Soleman pun segera pasang “kuda-kuda”. Sepasang matanya ia bisiki, “Tatap wajahnya lekat-lekat.” Sepasang telinganya is bisiki, “Tangkap baik-baik isyarat dari gelombang-gelombang suaranya.” Dan lisannya ia marahi, “Jangan goblok terus dong kalau lagi negoisasi urusan ginian. Kalau kamu goblok terus, kapan aku bisa naik kelas?”

Benarlah Soleman tentang suara itu. Keluarlah siapa yang memang ia harapkan untuk keluar. Seulas senyum menghampiri kuda-kuda Soleman. Pemilik senyum manis itu kemudian bertanya selayaknya seorang penjual bertanya kepada pembeli, “Beli apa, Mas?”

Mas. Ya, Mas. Bukan Pak. Terima kasih Soleman kepada si ibu yang telah mengoreksi kesalahan putrinya satu bulan yang lalu.

Soleman pun menyampaikan hajatnya. Ketika sedang mengambilkan satu persatu hajat Soleman, keluarlah si ibu dan berkata kepada putrinya, “Mas ini lho, Dik, yang kemarin ibu ceritakan kalau dulu pengabdiannya di Banyuwangi.”

Soleman pun menanggapi, “Putranya yang meninggal itu berarti kakaknya atau adiknya ...?”

Soleman menggantung pertanyannya. Kuda-kuda lisan Soleman ternyata belum sepenuhnya kokoh. Lagipula, itu sebenarnya pertanyaan bodoh. Kalau berdasar cerita si ibu dua malam kemarin, anak kecil pun bisa menyimpulkan kalau yang meninggal itu adalah kakaknya si titik-titik.

Beruntung si ibu tak begitu peduli dengan kebodohan Soleman. Atau memang pura-pura tak peduli karena mungkin kepedulian si ibu terkonsentrasi pada misinya yang mungkin juga misi putrinya. Si ibu menjawab, “Kakaknya si ...”

Sambil menjawab, si ibu masuk ke dalam rumah dan keluar lagi ke toko membawa sebuah vandel OPPM berisi nama dan foto almarhum putranya beserta qism-nya dan tahun bertugasnya: 2007. Sedang Soleman mengabdi di Banyuwangi tahun 2003. Berarti kira-kira  marhalah aswad juga, tapi beda satu putaran periode. Sementara itu, pertanyaan bodoh Soleman ternyata tidak sebodoh yang Soleman kira. Pertanyaan itu, meskipun bodoh, menghasilkan sebuah nama. Si titik-titik tak lagi si titik-titik. Nama yang manis. Semanis senyumnya.

Entah sengaja entah saking terlalu berkonsentrasi dengan “misinya”, si ibu mengambilkan sebungkus Surya, padahal sebungkus Surya yang lain sudah dimasukkan putrinya ke dalam kresek hitam bersama dua buah Sarimi kuah. Sebuah adegan yang membuat Soleman tersenyum yang kemudian dibalas dengan senyum manis si titik-titik.

Karena ada keperluan lain, si ibu kembali masuk ke dalam rumah. Tinggallah Soleman berdua di toko itu. Lagi-lagi terbukti reflek Soleman payah. Padahal ada tenggang waktu cukup lumayan untuk membuka percakapan. Setelah terdiam agak lama, sementara si titik-titik sedang “menyusun” uang kembalian, lisan Soleman hanya bisa bertanya, “Kuliahnya sedang libur, ya?”

Si titik-titik, lagi-lagi dengan seulas senyum manisnya yang tampak malu-malu, menjawab, “Libur ... ehm ... Tinggal menunggu wisuda kok, Mas.”

Lisan Soleman macet. Padahal si titik-titik seperti sengaja menahan uang kembalian tetap di tangannya, menunggu kalimat Soleman selanjutnya. Diamnya Soleman akhirnya membuat si titik-titik mengulurkan uang kembalian yang segera diterima oleh Soleman. Setelah itu, tak ada hal lain yang pantas Soleman kerjakan selain pamitan, yang ditanggapi oleh si titik-titik dengan, “Terimakasih, Mas.”

Tetapi sebenarnya Soleman, tepatnya, lisan Soleman, tidak segoblok itu. Ia terdiam karena terpukau oleh kalimat “tinggal menunggu”.

Tinggal menunggu. Sebuah kalimat yang dirasakan oleh Soleman sebagai kalimat yang datang dari langit, hanya saja kebetulan dititipkan lewat lisan si titik-titik.

Tiba di rumah kontrakan, Soleman segera men-turn on-kan PC-nya. Satu tujuannya: mendengarkan dan menikmati Rencana Besar.mp3-nya Padi.

Sakura 225, 27 Nopember 2012 – 00:07

Sunday, November 25, 2012

Jeneng dan Jenang


Jelas Soleman terlambat. Pukul 06.00 semestinya ia sudah berangkat. Tapi sebuah keadaan memaksanya baru bisa berangkat pukul 06.30. Padahal, jarak kota C ke kota 35 KM panjangnya, sebuah ukuran yang dalam kecepatan normal membutuhkan waktu 1 jam. Jika pun kecepatan dipercepat, mentok di 45 menit. Jadi, Soleman baru akan tiba di kota B pukul 07.15, terlambat lima belas menit dari yang diintruksikan: ikut apel pagi di kantor induk pukul 07.00, dalam rangka serah terima SK fungsional.

Tanpa kekhawatiran sedikit pun, meski kali ini ia sedang langsung “berurusan” dengan kepala dinasnya, berangkatlah Soleman. Tapi bukan berarti Soleman berangkat untuk terlambat tanpa dasar: Lha wong yang rumahnya dekat saja banyak yang terlambat bahkan banyak yang tak ikut apel, apalagi yang rumahnya jauh. Dan, mengapa kalau yang tua-tua itu SK fungsionalnya diantarkan ke kantor cabangnya masing-masing, kok saya dan satu teman saya mesti mengambil sendiri dan diwajibkan ikut apel pagi?

Satu dasar lagi: Lha wong dipanggil menghadap Tuhan saja saya ini sering terlambat, apalagi kalau cuma sekadar dipanggil kepala dinas.

Pukul 07.11 Soleman berhenti di seberang jalan depan kantor induk. Di seberang sana, ia lihat beberapa orang berdiri dan bercakap-cakap. Tak terkecuali kepala dinasnya. Berarti apel pagi sudah selesai. Tak ada pilihan lain selain langsung menyalami kepala dinasnya dan menyampaikan alasan, “Pagi ini jalan raya cukup padat.”

Ruang dan waktu bergeser. Soleman dan seorang temannya sesama penerima SK fungsional duduk di dalam ruang kepala dinas. Acaranya: mendengarkan pesan dan arahan dari kepala dinas. Panjang lebar kepala dinas menyampaikan pesan dan memberikan arahan, tapi hanya satu yang palin diingat Soleman, “SK fungsional kalian baru keluar setelah saya menjadi kepala di sini, kan? Ketika kepalanya belum dan bukan saya, SK fungsional kalian tidak keluar kan?”

Soleman jadi teringat kepada Tuhan, “Bukankah AKU Tuhanmu?”

Tapi bukan masalah. Jangankan sekadar mengaku sebagai yang paling berjasa, lha wong Firaun yang mengaku sebagai Tuhan saja tetap disayang Tuhan dengan cara memberinya waktu untuk sadar dan dengan mengirimkan kepadanya seorang Musa untuk membantu proses kesadarannya, yang ternyata dua cara itu tidak berguna sehingga Tuhan “menyayangnya” dengan cara menenggelamkannya ke dalam samudera.

Konteksnya berbeda, tapi hakikatnya sama antara kepala dinasnya Soleman dengan “kepala dinasnya” Musa: keduanya sama-sama membutuhkan dan memaksakan pengakuan sebagai pihak “yang paling”. Orang Jawa bilang: golek jeneng.

Pamrih, itulah inti dan pokoknya. Dan kecenderungan inilah yang mau tidak mau harus diakui sebagai salah satu sebab dari bobroknya sistem kepemerintahan, sebab bagian terbesar dari komponen sistem itu mempunya prinsip yang sama: golek jeneng—dengan metode pencarian yang membabi-buta, membabi-tuli, menganjing-gila, mengkuda-lumping, dan mentikus-curut.

Ternyata tidak hanya kepala dinasnya Soleman saja yang pagi itu sedang golek jeneng. Seorang kepala bidang yang bertugas mengurus SK fungsional, dalam sebuah “pencariannya” menyatakan bahwa dirinyalah “orang lapangan” yang pertama kali begini, begini, dan begini. Mendengar pernyataannya, Soleman tiba-tiba merasa bahwa orang itu dan orang sebelum itu perlu segera dimonumenkan untuk mengenang segala jasa-jasanya.

Setelah orang itu pergi, Soleman berkata kepada temannya, “Saya tidak bisa memberi mereka “jeneng” sebagaimana yang mereka butuhkan, jadi mari kita iuran untuk memberi mereka “jenang”.

Jenang yang dimaksud Soleman adalah seratus ribu dan seratus ribu dan dua puluh ribu dan dua puluh ribu yang masing-masingnya dimasukkan ke dalam amplop dan digenggamkan ke tangan masing-masing para “pencari” yang sungguh tak tahu diri itu.

Maka benarlah orang-orang bijak itu ketika berkata, “Bersedekahlah kepada orang-orang kaya, karena merekalah yang paling miskin di antara orang-orang miskin.”

Sakura 225, 25 Nopember 2012 – 15:13

Saturday, November 24, 2012

Kalimat Berisyarat


Soleman ternyata tidak sendirian. Berawal dari sekadar tujuan membeli Aqua galon (asli), seperempat kilogram gula, dan satu sachet kopi Kapal Api di toko rumahan yang merupakan satu-satunya toko di perumahan tempat Soleman berdomisili sementara ini, kemudian bersambung dengan sebuah percakapan cukup panjang yang mulanya sekadar berasal dari pertanyaan tentang daerah asal Soleman yang ternyata dulu pernah dilewati oleh ibu pemilik toko, tahulah Soleman bahwa di perumahan itu ia (dalam hal salah satu statusnya sebagai alumni Gontor) berteman.

“Oh, kota M, ya? Dulu saya pernah melewati kota itu,” kata si ibu.

Kok pernah melewati, apa ada saudara ibu di sana?” Soleman menanggapi.

“Dulu waktu masih di Aceh, sekitar tahun 2001, anak saya mondok di Gontor. ”

Soleman ber-ooo sambil mengangguk-anggukkan kepala. Artinya ia tak perlu bertanya lagi tentang kota M dan kota P. Namun kesimpulan ini berakibat fatal. Karena tak ada lagi pertanyaan yang perlu ia ajukan, secara tak sadar Soleman menyampaikan kenyataan yang selama ini berusaha mati-matian ia sembunyikan dari pendengaran siapapun, “2001? Berarti saya kelas lima waktu itu. Dan sekarang anak ibu itu di mana?”

Di luar dugaan, si ibu ternyata tidak kaget dengan kenyataan diri Soleman. Dan pertanyaan Soleman dijawab dengan sebuah foto dalam pigura yang diambil dari dalam rumah, “Namanya AW. Meninggal karena kecelakaan menabrak pohon waktu sedang melaksanakan tugas kepondokan. Dan ini fotonya, barangkali jenengan pernah mengetahuinya.”

Soleman merasa pernah mendengar nama itu. Adapun tentang wajahnya, Soleman, seperti di lain-lain kesempatan, berspekulasi, “Anak ibu dulu asramanya di bagian utara, ya?”

Spekulasi Soleman diiyakan oleh si ibu. Padahal Soleman tidak benar-benar tahu. Merasa “pintu telah terbuka”, si ibu mengalirkan semacam cerita pendek yang didengarkan dengan seksama oleh Soleman.

Cerita pendek itu akhirnya diakhiri dengan satu kalimat berisyarat, “Dua pergi satu, tinggal satu yang cewek yang sekarang sedang menyelesaikan skripsi.”

Sebenarnya Soleman ingin menanggapi. Namun ada dua kendala. Pertama, reflek Soleman dalam hal yang menyangkut “percewekan” sangat payah. Kedua, di dalam sana ada si bapak yang salah statusnya adalah—kata teman Soleman—kepalanya intel wilayah C.

Maka tak lain tindakan Soleman selain segera mohon diri. Si ibu melangkah dari dalam ke teras toko, sebuah langkah yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang penjual kepada seorang pembeli. Soleman masih ingat langkah itu, persis langkah si ibu beberapa malam yang lalu ketika si ibu “mengabarkan” bahwa anaknya sudah hampir sampai di stasiun dan sedang akan dijemput oleh si bapak. Langkah itu, ya Allah, kata Soleman, seperti langkah seorang ibu yang sedang melepas kepergian anak kandungnya.

Sakura 225, 24 Nopember 2012 – 17:00

Wednesday, November 21, 2012

Download MP3 Gontor: Sekadar Ikut Menyebar





Buka Puasa 6B 676 di rumah Ust. Ali Syarqowi (01)


Buka Puasa 6B 676 di rumah Ust. Ali Syarqowi (02)


Cara download di filekom: klik "Free Download" ---> lihat gambar di bawah: