Maqaama-m-Mahmuuda
Wa mina-l-laili fatahajjad bihi naafilata-l-laka, 'asaa an yab'atsaka Rabbuka maqaama-m-mahmuuda.
Di Antara Kalimat-kalimat
Yang terpenting adalah apa yang tetap tak terkatakan, atau apa yang mungkin terbaca di antara kalimat-kalimat.
Anak Kehidupan
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu ... Mereka adalah putra-putri kehidupan ... Kau bisa berikan kasih sayangmu ... Tapi tidak pikiranmu.
Kesalingsepakatan dan Ketidaksepakatan
Jadi, sebuah telatah pas untuk seorang penulis muda mengembangkan diri adalah situasi penuh percakapan, diskusi, cara-cara menunjukkan kesalingsepakatan, dan yang paling penting adalah cara tidak bersepakat.
Kesetiaan + Keteguhan + Konsistensi = Cara + Bentuk + Jalan
Kesetiaan akan mengilhami cara. Keteguhan memberi petunjuk tentang bentuk-bentuk. Konsistensi melahirkan jalan.
Di Atas Langit Masih Ada Langit
Jangan biarkan daya mati jerat nurani. Jangan biarkan amarah membakar hati. Jangan biarkan keangkuhan menindas pekerti. Jangan biarkan bisikan setan meracuni diri. Jangan jumawa saat masih berkuasa. Jangan menepuk dada saat berjaya. Kejayaan itu fana kekuasaan itu hampa. Di atas langit masih ada langit..
Mendingan Setan
Kita memang harus berlindung kepada Tuhan dari orang-orang yang kepalanya pura-pura nyunggi Kitab Suci, yang bibirnya akting mencipok-cipoki ayat-ayatnya, tetapi itu semata-mata demi persekongkolannya dengan sang perut, kemudian mereka nanti bagi hasil dari penipuan-penipuannya. Orang yang begini masih mendingan setan atau demit.
Pasrah kepada Tuhan
"Menunduk-nunduk" itu bisa berarti sungguh-sungguh menunduk-nunduk, tetapi bisa juga berarti kekalahan dan kepatuhan di bawah suatu tiran kekuasaan yang tak semestinya dipatuhi ... Pasrah kepada Tuhan itu begitu nyaman. Ia sungguh-sungguh menyediakan kebahagiaan.
Saling ... Tanpa ... Tidak Akan ...
Persahabatan ini ... Tak lekang oleh waktu ... Saling memberi ... Tanpa rasa pamrih ... Saling menjaga ... Saling memahami ... Persaudaraan ini ... Lebih indah dari pelangi ... Saling mengingatkan ... Tanpa rasa benci ... Sahabat sejati ... Tak akan mengkhianati ....
Kebahagiaan
Kebahagiaan terbesar akan datang jika seseorang bertindak tidak demi kebahagiaan pribadinya.
Keberadaan
Mengingat (dan mencatat) yang sedang mereka perbincangkan adalah keberadaanku.
Alat dan Peluang, Kepekaan dan Pengetahuan
Angin tinggal menghembuskan cinta, pepohonan tinggal berdiri setia, tetapi manusia memiliki alat dan peluang untuk mengasah kepekaan dan pengetahuannya.
Di Tengah
Aku saat itu sedang belajar Memahami inti Kewajaran hidup dan kewajaran alam Berada di tengah-tengahnya Tidak merasa terjepit Tidak juga leluasa bergerak.
Ketahanan Terhadap Waktu
Kebiasaan-kebiasaan konsumtif membikin kita lebih banyak pasif. Langkah-langkah sering kurang kreatif-reputatif. Bahkan dalam menempuh cita-cita pun kalau bisa yang simpel saja. Jalan pintas. Praktis saja. Tidak mengeksplor pentingnya latihan ketahanan terhadap waktu.
Petarung Hidup
Kita bukanlah orang yang mudah menyerah ... Kita bukan orang yang mudah dikalahkan ... Kita pernah jatuh jatuh jatuh tersungkur ... Tapi bangkit lagi melangkah lebih pasti ...
Mudkhala Shidqin
Rabbii adkhilnii mudkhala shidqin wa akhrijnii mukhraja shidqin waj'alnii min-l-ladunka shulthaana-n-nashiira.
Qul!
Qul: Allahumma maalika-l-mulki tu'ti-l-mulka man tasyaa-u wa tanzi'u-l-mulka min-m-man tasyaa-u, wa tu'izzu man tasyaa-u wa tudzillu man tasyaa-u, bi yadika-l-khair, innaka 'alaa kulli syai-i-n-qadiir. Tuuliju-l-laila fi-n-nahaari wa tuuliju-n-nahaara fi-l-laili, wa tukhriju-l-hayya mina-l-mayyiti wa tukhriju-l-mayyita mina-l-hayyi, wa tarzuqu man tasyaa-u bighairi hisaab.
Mengolah
Di antara langit dan bumi: mengolah hidup; Di antara hitam dan putih: mengolah kepastian; Di antara suka dan duka: mengolah ketenangan; Di antara hidup dan mati: mengolah kegagahan..
Wednesday, October 31, 2012
Jurusan Ngarit
Tuesday, October 30, 2012
0,0
Sunday, October 28, 2012
NIP Atawa Nrimo Ing Pandum
Nota Kosong
Friday, October 26, 2012
Masa Depan, Tuhan (1)
Wednesday, October 24, 2012
Yang Sedikit Dosanya
Orang Tunggangan
Mengada-ada
Dia : Biar mereka datang dan melihat dan menentukan sendiri. Nanti kalau saya yang menentukan, saya khawatir mereka akan menuduh saya mengada-ada.
Saya : (Dalam hati) Tentu saja apa yang engkau khawatirkan itu wajar adanya, karena mereka tahu dan sudah cukup bukti bahwa engkau sudah terlalu sering mengada-ada, khususnya mengada-ada dalam rangka meraup keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan bersama atau kegiatan instansi.
Belakang Meja Kerja, 15 Oktober 2012
Saturday, October 20, 2012
Download Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI)
1. Tafsir Hadits - Materi Kuliah PAI
2. Psikologi Perkembangan Peserta Didik - Materi Kuliah PAI
3. Sosiologi Pendidikan - Materi Kuliah PAI
4. Statistik - Materi Kuliah PAI
5. Ushul Fiqh - Materi Kuliah PAI
6. Manajemen Pendidikan - Materi Kuliah PAI
Menuju Wujud
Tetap Saja
Kriminalisasi Penafsiran
Sunday, October 14, 2012
Penyakit Dalam
"Hampir saja Umayyah bin Abi ash-Shalt masuk Islam."
Tabungan Kemenangan
Saturday, October 13, 2012
Benih Muhammad
Tuesday, October 9, 2012
Khianat
Setelah mengucapkan salam, Khubaib bin Adi bergumam, “Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka semua, dan janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara mereka tetap hidup.”Kemudian Khubaib melantunkan syair:Berbagai kekuatan telah berkumpul di sekitarkuDan memanggil kabilah-kabilah merekaMereka mengumpulkan anak-anak dan wanita merekaDan aku didekatkan ke tiang tinggi yang dijagaKepada Allah aku mengadukan keterasingan dan kesedihankuSerta kematianku yang diinginkan banyak orangWahai Dzat Pemilik Arsy! Sabarkanlah aku atas apa yang diinginkan darikuMereka memotong-motong badanku dan sudah tidak ada lagi keinginankuMereka menyuruhku memilih antara kekafiran dan kematianSungguh kedua mataku menangis tanpa air mataAku tidak peduli ketika aku dibunuh selama dalam keadaan muslimDi belahan bumi mana pun aku mati di jalan AllahItu semua di jalan Allah, bila Ia berkehendak,Ia memberkahi tubuhku yang dipotong-potong
Sunday, October 7, 2012
Satu dari Beberapa Riwayat tentang Bacaan dalam Shalat
و إذا سجَد قال ((اللهم! لك سجَدْتُ. و بِك آمنت. و لك أسْلمْت. سجَد وجْهى للذى خلَقهُ و صوّرهُ، و شَقَّ سَمْعَه و بصَره. تبارك الله أحسنُ الخالقين)).
Ketika Pemeluk Ketakutan kepada yang Dipeluk: Refleksi terhadap Bunyi “keTuhanan, dengan Kewadjiban Mendjalankan Sjari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknja”
Arah yang tepat dan bukannya arah yang benar, karena isi Piagam Jakarta itu sebenarnya sudah benar. Ke Tuhan, ke manusia, ke rakyat sudah tercantum di sana. Maka Piagam Jakarta benarlah sudah. Apalagi, dalam rangka ke Tuhan; dalam rangka menuju Tuhan, metode menuju-Nya pun disertakan: dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja.
Piagam Jakarta sudah benar namun kemudian menjadi kurang tepat seiring diadakannya perubahan dengan menghapus metode menuju Tuhan. Padahal, negeri dengan penduduk mayoritas pemeluk Islam ini bisa dipastikan bahwa tidak seluruh penduduknya yang memeluk Islam tahu “cara menuju Tuhan”.
Alhasil, jadilah Indonesia seperti sekarang: terombang-ambing, melayang-layang.
Ada yang menyatakan bahwa penghapusan (baca: perubahan) itu demi Persatuan Indonesia. Argumentasi ini benar, tapi tidak tepat. Sesungguhnyalah yang mempersatukan Indonesia adalah Islam, dan bukan nasionalisme. Belanda datang dengan tujuan utama tidak untuk menjajah dan menjarah kekayaan alam Indonesia, melainkan untuk menjajah dan menjarah keyakinan terdalam mayoritas rakyat Indonesia: Islam, sehingga perlawanan terhadap Belanda pun, jika dipelajari lebih mendalam, lebih berbasis semangat “jihad” daripada semangat nasionalisme. Dari Perang Badar rakyat Islam Indonesia belajar bahwa kedzaliman harus dilawan dan bahwa kecanggihan senjata dan jumlah pasukan bukan faktor utama penentu kemenangan.
Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan Persatuan Indonesia.
Tapi “kehatia-hatian” para founding father Indonesia tampaknya lupa kepada sungguh-sungguhnya kenyataan tersebut. Akhirnya, akar “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” pun tercabut. Sehingga kini keadaan Indonesia bagai gajah bermental semut.
Yang menyedihkan, ketika “akar” tersebut coba dikemukakan faktanya di kemudian hari, sekelompok pemeluk Islam mati-matian membela keputusan penncabutan akar tersebut. Dengan dalih yang tidak lebih canggih dari dalih dulu kala: demi Persatuan Indonesia.
Tidak berhenti di situ, “sekelompok” yang ternyata berjumlah sangat besar itu bahkan balik melabeli pihak-pihak yang mencoba mengembalikan “akar” itu ke tempat semula dengan label “perlu diwaspadai”.
Mulialah “sekelompok” itu atas kewaspadaan mereka terhadap pihak-pihak yang mereka anggap sebagai perongrong Persatuan Indonesia.
Tetapi, sudah tepatkah kewaspadaan “sekelompok” itu, “sekolompok” yang nyatanya adalah pemeluk Islam? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa “kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” sama sekali tidak bersinggungan dengan Persatuan Indonesia? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu, bahwa “kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu “Negara Islam”? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa mereka sesungguhnya telah tertipu dan terpengaruh oleh isu-isu dan propaganda-propaganda anti Islam yang salah satu bentuknya berupa lahirnya terorisme yang tak lain adalah hasil persetubuhan Polisi Dunia dengan Pelacur Bangsa? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa Persatuan Indonesia, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, justru hanya bisa terwujud dengan sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya jika pemeluk-pemeluk Islam “dikenai” kewajiban untuk menjalankan syariat Islam?
Pada sebagian besar hari, saya berada di tengah-tengah para aparat Pemerintah Republik Indonesia. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan bahwa hanya saya sendiri dari sekian banyak aparat itu yang berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat Dhuhur. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan aparat-aparat itu mencuri di siang hari. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan aparat menipu rakyat. Pada sebagian besar hari pula saya mendengar aparat-aparat itu menceritakan kisah perzinaan mereka, juga kisah perzinaan aparat yang lain.
Ironisnya, aparat-aparat yang saya saksikan dan saya dengarkan itu, berdasarkan KTP, semuanya pemeluk Islam.
Mendirikan shalat, tidak “mencuri”, tidak menipu, tidak semena-mena, tidak berzina, merupakan bagian dari syariat islam yang diwajibkan bagi pemeluk-pemeluknya. Jadi, kalau “sekelompok” itu takut setengah mati kepada bunyi “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja”, ada dua kesimpulan yang bisa dikemukakan. Pertama, “Sekelompok” itu (termasuk yang mendukungnya maupun yang didukungnya) bisa jadi adalah juga pencuri, penipu, dan pezina. Kedua, itulah komedi akhir hari, hari di mana orang Islam takut kepada Islam.
Dan kalau aparat-aparatnya, pemimpin-pemimpinnya, ulama-ulamanya tak lagi “mendirikan” shalat, menjadikan pencurian dan penipuan sebagai kebaikan, dan mennganggap perzinaan sebagai hal yang lumrah dan wajar, masih bersatukah Indonesia kini?
Sakura 225, 07 Oktober 2012 – 01:30