Maqaama-m-Mahmuuda

Wa mina-l-laili fatahajjad bihi naafilata-l-laka, 'asaa an yab'atsaka Rabbuka maqaama-m-mahmuuda.

Di Antara Kalimat-kalimat

Yang terpenting adalah apa yang tetap tak terkatakan, atau apa yang mungkin terbaca di antara kalimat-kalimat.

Anak Kehidupan

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu ... Mereka adalah putra-putri kehidupan ... Kau bisa berikan kasih sayangmu ... Tapi tidak pikiranmu.

Kesalingsepakatan dan Ketidaksepakatan

Jadi, sebuah telatah pas untuk seorang penulis muda mengembangkan diri adalah situasi penuh percakapan, diskusi, cara-cara menunjukkan kesalingsepakatan, dan yang paling penting adalah cara tidak bersepakat.

Kesetiaan + Keteguhan + Konsistensi = Cara + Bentuk + Jalan

Kesetiaan akan mengilhami cara. Keteguhan memberi petunjuk tentang bentuk-bentuk. Konsistensi melahirkan jalan.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Jangan biarkan daya mati jerat nurani. Jangan biarkan amarah membakar hati. Jangan biarkan keangkuhan menindas pekerti. Jangan biarkan bisikan setan meracuni diri. Jangan jumawa saat masih berkuasa. Jangan menepuk dada saat berjaya. Kejayaan itu fana kekuasaan itu hampa. Di atas langit masih ada langit..

Mendingan Setan

Kita memang harus berlindung kepada Tuhan dari orang-orang yang kepalanya pura-pura nyunggi Kitab Suci, yang bibirnya akting mencipok-cipoki ayat-ayatnya, tetapi itu semata-mata demi persekongkolannya dengan sang perut, kemudian mereka nanti bagi hasil dari penipuan-penipuannya. Orang yang begini masih mendingan setan atau demit.

Pasrah kepada Tuhan

"Menunduk-nunduk" itu bisa berarti sungguh-sungguh menunduk-nunduk, tetapi bisa juga berarti kekalahan dan kepatuhan di bawah suatu tiran kekuasaan yang tak semestinya dipatuhi ... Pasrah kepada Tuhan itu begitu nyaman. Ia sungguh-sungguh menyediakan kebahagiaan.

Saling ... Tanpa ... Tidak Akan ...

Persahabatan ini ... Tak lekang oleh waktu ... Saling memberi ... Tanpa rasa pamrih ... Saling menjaga ... Saling memahami ... Persaudaraan ini ... Lebih indah dari pelangi ... Saling mengingatkan ... Tanpa rasa benci ... Sahabat sejati ... Tak akan mengkhianati ....

Kebahagiaan

Kebahagiaan terbesar akan datang jika seseorang bertindak tidak demi kebahagiaan pribadinya.

Keberadaan

Mengingat (dan mencatat) yang sedang mereka perbincangkan adalah keberadaanku.

Alat dan Peluang, Kepekaan dan Pengetahuan

Angin tinggal menghembuskan cinta, pepohonan tinggal berdiri setia, tetapi manusia memiliki alat dan peluang untuk mengasah kepekaan dan pengetahuannya.

Di Tengah

Aku saat itu sedang belajar Memahami inti Kewajaran hidup dan kewajaran alam Berada di tengah-tengahnya Tidak merasa terjepit Tidak juga leluasa bergerak.

Ketahanan Terhadap Waktu

Kebiasaan-kebiasaan konsumtif membikin kita lebih banyak pasif. Langkah-langkah sering kurang kreatif-reputatif. Bahkan dalam menempuh cita-cita pun kalau bisa yang simpel saja. Jalan pintas. Praktis saja. Tidak mengeksplor pentingnya latihan ketahanan terhadap waktu.

Petarung Hidup

Kita bukanlah orang yang mudah menyerah ... Kita bukan orang yang mudah dikalahkan ... Kita pernah jatuh jatuh jatuh tersungkur ... Tapi bangkit lagi melangkah lebih pasti ...

Mudkhala Shidqin

Rabbii adkhilnii mudkhala shidqin wa akhrijnii mukhraja shidqin waj'alnii min-l-ladunka shulthaana-n-nashiira.

Qul!

Qul: Allahumma maalika-l-mulki tu'ti-l-mulka man tasyaa-u wa tanzi'u-l-mulka min-m-man tasyaa-u, wa tu'izzu man tasyaa-u wa tudzillu man tasyaa-u, bi yadika-l-khair, innaka 'alaa kulli syai-i-n-qadiir. Tuuliju-l-laila fi-n-nahaari wa tuuliju-n-nahaara fi-l-laili, wa tukhriju-l-hayya mina-l-mayyiti wa tukhriju-l-mayyita mina-l-hayyi, wa tarzuqu man tasyaa-u bighairi hisaab.

Mengolah

Di antara langit dan bumi: mengolah hidup; Di antara hitam dan putih: mengolah kepastian; Di antara suka dan duka: mengolah ketenangan; Di antara hidup dan mati: mengolah kegagahan..

Sunday, July 29, 2012

Mencari-Menghasilkan


Sampai kapan, Tuhan
Segala ketidakwarasan itu Engkau biarkan
Orang bekerja dengan niat mencari makan
Sehingga dalam bekerja pun segalanya dimakan

Ada yang memakan laporan bulanan
Ada yang memakan surat penugasan
Ada yang memakan surat perjalanan
Ada yang memakan rekan sepekerjaan

Aku terasing sendirian, Tuhan
Memandang acara prasmanan dengan penuh kesedihan
Aku tersadar kemudian, Tuhan, kaget bukan kepalang
Menemukan diriku sendiri sebagai bagian dari menu hidangan

Mereka sebut itu dengan bekerja mencari nafkah
Padahal makan dan nafkah adalah dua hal yang berseberangan
Makan adalah mengunyah dan menelan
Nafkah adalah mengumpulkan kemudian memberikan

Makan menghasilkan bau dan kotoran
Nafkah menghasilkan cahaya dan keindahan

Sakura 225, 29 Juli 2012 – 01:05

Puasa dalam Alquran


بسم الله الرحمن الرحيم.
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته.
الحمد لله رب العلمين، و بالله نستعين على أمور الدنيا و الدين.
الصلاة و السلام على أشرف الأنبياء و سائر الرسل: محمد صلى الله عليه و سلم: نعم العبد، إنه أواب.
و بعد.

Puasa, Ramadhan, dan Alquran merupakan tiga hal berbeda namun berada dalam satu kesatuan. Puasa sebagai pekerjaan, Ramadhan sebagai waktu, dan Alquran sebagai “sesuatu” yang “diturunkan” pada waktu yang mana orang-orang beriman diwajibkan melakukan pekerjaan bernama puasa.

Karena itu, pada salah satu kesempatan di malam bulan Ramadhan ini, perlu kiranya kita ketahui “apa kata” Alquran tentang puasa.

Dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaadzi-l-Qurani-l-Kariim halaman 417 disebutkan bahwa kata “puasa” tersebutkan di dalam Alquran sebanyak 10 kali. 8 kali kata “puasa” dalam bentuk “shiyaam” (shad-ya’-alif-mim), 1 kali dalam bentuk “shaum” (shad-wawu-mim), dan 1 kali bermakna orang yang mengerjakan puasa: “shaaim” (shad-hamzah-mim).

8 kali kata “shiyaam” terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183, 187 (dua kali), dan 196, surat an-Nisa’ ayat 92, surat al-Maidah ayat 89 dan 95, dan surat al-Mujadilah ayat 4. Sedangkat 1 kali kata “shaum” terdapat dalam surat Maryam ayat 26, serta 1 kali kata “shaaim” terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 35.

Jika diperhatikan, 8 kali kata “shiyaam” semuanya menunjuk pada puasa dalam arti menahan diri dari makan, minum, dan “bercampur”. Sebuah bentuk puasa yang “terlalu mudah” bagi sebuah proses yang target akhirnya adalah pencapaian taqwa. Sehingga, adanya kata “shaum” dalam surat Maryam ayat 26 dan kata “shaaim” dalam surat al-Ahzab ayat 35 seakan-akan menunjukkan bahwa puasa dengan taqwa sebagai targetnya tidak sekadar menahan diri dalam hal makan-minum dan “bercampur”, melainkan juga dalam hal berkata-kata.

Surat Maryam ayat 26 mendokumentasikan nasihat Jibril kepada Maryam yang sedang menghadapi fitnah dari masyarakatnya perihal kehamilannya, “Maka makan, minum, dan bersenang hatilah, jika kamu melihat manusia, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernadzar puasa untuk Yang Maha Pengasih, maka aku tidaka berbicara dengan seorang manusia pun pada saat ini.”

Ayat ini merupakan jawaban dari kesedihan dan keluhan Maryam yang terdokumentasikan dalam ayat 23, “Wahai, lebih baik aku mati sebelum ini sehingga aku menjadi sesuatu yang tak berarti dan dilupakan orang.” Maka Jibril datang dan menghiburnya (ayat 24), “Jangan bersedih,” dan ayat 26, “Makan, minum, dan bersenang hatilah.”

Sebuah hiburan yang tepat, karena Maryam tidak bersalah. Sedangkan kewajaran orang yang benar adalah tidak bersedih.

Tentu saja adanya ayat ini tidak lantas membuat kita harus diam sepanjang terbit fajar sampai terbenam matahari. Hanya saja, adanya ayat ini, berdasarkan pemahaman saya, mengisyaratkan perlunya mengendalikan diri dalam hal perkataan.

Sebagaimana Maryam yang oleh Jibril disarankan untuk tidak menanggapi perkataan masyarakatnya sebab tanggapan Maryam berkemungkinan memperburuk keadaan, maka orang-orang yang berpuasa pun ada baiknya untuk mengendalikan diri dalam berkata-kata karena secara disadari ataupun tidak disadari, perkataan-perkataan kita dalam kehidupan sehari-hari berkemungkinan untuk melenceng dari kejujuran, berkemungkinan untuk mengundang datangnya kemarahan, dan berkemungkinan menyakiti perasaan orang lain.

Padahal, puasa merupakan salah satu metode untuk memupuk kejujuran, menyuburkan kesabaran, dan memetik buah di atas pohon “selamat-menyelamatkan” di antara sesama muslim pada khususnya dan sesaman manusia pada umumnya.

Maka, benarlah ayat 35 surat al-Ahzab yang meletakkan kata “orang-orang yang berpuasa” sesudah kata (1) orang-orang yang berislam, (2) orang-orang yang beriman, (3) orang-orang yang kuat dalam taat, (4) orang-orang yang jujur/benar, (5) orang-orang yang sabar, (6) orang-orang yang khusyu’, dan (7) orang-orang yang bersedekah.

Urutan nomor 1 sampai dengan tujuh, berdasarkan pemahaman saya, merupakan petunjuk tentang ciri-ciri dan proses menuju “puasa yang tepat”, yaitu puasa yang tidak sekadar budaya melainkan puasa yang target akhirnya adalah taqwa. Baru sesudah itu, (9) orang-orang yang memelihara kehormatannya (kehormatan yang dalam surat al-Mu’minun dinyatakan dengan “kecuali terhadap istri-istri mereka”, dst.), dan (10) orang-orang yang senantiasa mengingat Allah.

Kita ambil  satu contoh dari nomor 7, tentang sedekah. Dalam sebuah ayat Alquran disebutkan bahwa tidak ada gunanya sedekah yang diikuti dengan perkataan yang menyakiti perasaan orang yang disedekahi. Dengan demikian, puasa sebagai urutan sesudah sedekah pun sudah semestinya tidak disertai dengan perkataan yang menyakiti perasaan sesama.

Pada akhirnya adalah introspeksi: (1) Sudah tepatkah puasa kita jika dibandingkan dengan susunan maupun urut-urutan yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 35? (2) Sudah termasukkah kita sebagai hamba-hamba yang berhak untuk mendapatkan ampunan dan pahala yang besar?

Kiranya ini saja yang bisa saya sampaikan, semoga keberadaan saya di sini beserta apa yang saya sampaikan tadi merupakan salah satu bentuk dari yu’ti-l-hikmata man yasyaa’ wa man yu’ta-l-hikmata faqod uutiya khairan katsiira; merupakan bagian dari hikmah dan kebaikan, dan semoga oleh Allah tidak dinilai sebagai kaburo maqtan ‘indallah: bertindak, bersikap, dan berucap secara keterlaluan di hadapan-Nya.

Akhirul kalam, wa lillaahi-l-asmaaul husnaa.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته.



Catatan (ujung kuku ibu jari) Kaki: Tulisan berjudul Puasa dalam Alquran ini merupakan materi qultum yang disampaikan oleh FaSalima di hadapan jamaah shalat Isya’-Tarawih-Witir di Masjid Baitul Ma’mur Perumahan Cepu Asri pada hari Kamis tanggal 26 Juli 2012.

Thursday, July 19, 2012

Download MP3 Alquran 30 Juz

Alquran bukanlah lembaran-lembaran yang disatukan dalam satu buku dan yang kemudian anggaran pengadaannya dikorupsi. Alquran bukanlah huruf-huruf yang disambung-sambung yang penulisannya dimulai dari sebelah kanan. Alquran bukanlah bunyi-bunyian yang ditumpangkan dalam suara-suara berbahasa Arab.  Alquran bukanlah “ibu hamil” yang isi kandungannya—karena beragam kepentingan—mesti dipertengkarkan: lelaki atau perempuan.

Alquran bukan sekadar untuk dibaca. Alquran bukan sekadar untuk didengarkan. Alquran bukan sekadar untuk diterjemahkan. Alquran bukan sekadar untuk ditafsirkan. Alquran bukan untuk sekadar dijadikan “indah-indahan” dalam bentuk qiraat atau pun khat.

Alquran tidak untuk dilombakan, dalam lomba Musabaqah Tilawatil, Musabaqah Khattil, atau pun Musabaqah Tithil-tithil Quran. Alquran tidak untuk dipermainkan sebagai “payung” sumpah jabatan.

Alquran bukan MP3. Alquran bukan bahan download-an.

Tetapi daripada mendengarkan lagu-lagu kacangan, tetapi daripada mendengarkan siaran rasan-rasan, tetapi daripada mendownload software game-game-an ataupun mendownload video tayangan kemaluan, barangkali akan lebih baik jika yang didownload adalah suara orang membaca Alquran yang di-MP3-kan, juga barangkali akan lebih baik jika yang didengarkan adalah suara orang membaca Alquran.

Tentu saja tidak berhenti di mendengarkan. Karena Alquran bukan sekadar untuk didengarkan.

Download MP3 Alquran, dibacakan oleh Saad al-Ghamdi:
10. Yunus
11. Hud
12. Yusuf
13. Ar-Ra'd
14. Ibrahim
15. Al-Hijr
16. An-Nahl
19. Maryam
20. TaHa
22. Al-Hajj
24. An-Nur
27. An-Naml

Saturday, July 14, 2012

Masterpieces


Listen, and in memory fix
Pairs of lovers, six and six!
Description kindles, love doth fan the flames—
Rustan and Rodavoo their names.
Lovers unknown, who yet are nigh,—
Jussuf, Zuleika, is our cry.
Love for love’s sake, with nought to win,—
Such love knew Ferhad and Schirin.
Each for the other, whole and sole,—
Medschnun and Leila touched that goal.
Old eyes made young with passion’s ray,—
So Dschemil looked at Boteinah.
Sweet wile and whim on loving set,—
Solomon and the throned brunette.
To these hast thou given earnest heed,
So shall thy love be established.

Johann Wolfgang Von Goethe: West-Eastern Divan, translated by Edward Dowden, p. 33-34.

Jangan Jadikan

Shibgatallah. Wa man ahsan mina-l-lahi shibghah.



Wahai Engkau
Yang Membentuk segenap makhluk
Yang Menjadikan segala kejadian
Jangan jadikan aku ikan
—Kelaparan ataupun kerakusan—
Yang ditelan umpan
Sehingga mata kail nancap di tenggorokan
Lantas tergelepar di daratan
Kemudian diperjual-belikan

Wahai Engkau
Yang Membentuk segenap makhluk
Yang Menjadikan segala kejadian
Jangan jadikan aku burung
—keasyikan bertengger ataupun terbang—
Yang terhantam lesatan batuan
Sehingga jatuh berdebam
Lantas tergelepar di daratan
Kemudian disia-siakan

Wahai Engkau
Yang Membentuk segenap makhluk
Yang Menjadikan segala kejadian
Jangan jadikan aku menjangan
—mencari makanan ataupun teman—
Yang tertipu suara bekrokan
Sehingga terlubang peluru senapan
Lantas ambruk tersungkur tak lagi bisa berjalan
Kemudian di ruang tamu kepala dan tanduknya dipamerkan

Sakura 225, 14 Juli 2012 – 12:00

Qultum Bukan Kultum, Qul Bukan Kul


Soleman tak pernah menyangka bahwa “pada akhirnya” ia akan dipercaya untuk “berbicara” di hadapan jamaah. Dulu ia memang pernah akan dipercaya untuk “berbicara” di hadapan jamaah shalat ‘id, tapi keakanpercayaan itu ia dapatkan di kampungnya sendiri yang notabene hampir semua warganya tahu kalau Soleman adalah alumni sebuah pesantren, di samping bahwa sudah menjadi “kebiasaan” dalam keluarga Soleman secara turun-temurun untuk menjadi “pembicara” dalam shalat ‘id di kampungnya.



Dan “kebiasaan” itu “dipenggal” oleh Soleman dengan menyatakan diri belum siap untuk “berbicara”. Kebelumsiapan yang didasari bukan oleh ketidakberanian atau kekurangmentalan, namun didasari oleh ketahudirian: Yang boleh “berbicara” hanyalah orang yang terbukti dari sifat, sikap, dan perbuatannya menunjukkan bahwa memang benar-benar pantas “berbicara”.

Burung tidak boleh berbicara tentang air, dan ikan tidak boleh berbicara tentang angin.

Dasar serupa juga disampaikan Soleman kepada orang yang mencegatnya di tangga masjid dan menodongnya untuk siap menjadi “pembicara” dalam sebuah forum yang populer dengan sebutan kultum. Entah atas dasar apa orang itu mencegat dan menodongnya, sebab baru satu bulan Soleman bermukim di pemukimannya yang sekarang, dan Soleman yakin siapapun tidak tahu bahwa Soleman adalah alumni sebuah pesantren, tidak juga tahu bahwa Soleman berembel-embel S.Th.I.

Bahkan, baru pada saat dicegat dan ditodong itulah nama Soleman diketahui.

Kalau cegatan dan todongan itu didasari oleh kenyataan bahwa Soleman adalah seorang yang bertugas sebagai Penyuluh KB, itu jelas merupakan dasar tak berdasar: penyuluh KB “berbicara” tentang KB, bukan tentang agama, dan sepengetahuan Soleman, dari seluruh rekan-rekan Penyuluh KB yang ia kenal, tak seorang pun dari mereka yang pantas “berbicara” tentang agama.

Tetapi pencegat dan penodongnya itu rupanya termasuk jenis orang yang gigih. Meskipun alasan lain sudah dikemukan Soleman, “Saya ini orang yang belum lengkap karena belum berkeluarga, mana pantas orang yang belum lengkap dipercaya untuk melengkapi orang-orang yang sudah lengkap?”

Sebuah alasan yang seakan-akan bisa memenangkan “pertarungan”, tapi ternyata tidak. Dua “senjata” dikeluarkan oleh pencegat dan penodongnya: 1. “Berbicara” sebaga sarana belajar; 2. “Berbicara” membutuhkan tenaga, dan waktu satu bulan akan sangat menguras tenaga tiga orang pembicara.

Soleman takluk. “Ya, insya Allah” pada akhirnya ia ucapkan. Beberapa hari lagi datanglah Ramadhan. Maka jika Allah benar-benar menghendaki Soleman untuk “berbicara”, semoga hanya kalimat-kalimat yang benar-benar Allah kehendaki saja yang masuk ke kemudian keluar dari seperangkat alat bicaranya Soleman. Sehingga Soleman mendapat perlindungan dari kekeruhan hati serta pikiran dan ketergelinciran lisan dan perbuatan. Amin.

Sakura 225, 14 Juli 2012 – 13:17

Friday, July 13, 2012

Taubat



Detik demi detik berdetak sangat lambat
Menyiksaku dalam penantian
Detik demi detik berdetak semakin lambat
Menderaku dalam pengharapan

Semakin erat aku dekap kehidupan
Semakin sempurna kekalahan
Dan ketika senja telah berangkat gelap
Duka dan sesal datang terlambat

Betapa panjang jalan yang harus kulalui
Untuk sampai di haribaan-Mu
Betapa jauh jejak langkahku tersendat
Sebelum akhirnya aku bertaubat

Menyoal Logika Kapal: Sebuah Kisah tentang Logika Tak Berdasar


Konon ada sebuah alat yang membedakan manusia dengan makhluk lain: akal. Sebuah alat yang telah berabad-abad terbukti benar-benar hebat dalam fungsinya sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk-makhluk lain. Namun juga ada sebuah alat lain yang juga tak bisa dipungkiri kehebatannya: agama.

Sulit dibayangkan jika manusia berjalan dan berlalu di dunia tanpa agama, sedangkan ada sangat banyak agama saja, banyak manusia yang terbukti tak ada bedanya dengan makhluk lain, khususnya hewan. Dan utamanya setan.

Apakah banyak manusia itu tak beragama? Tidak juga. Bahkan beberapa di antara banyak manusia “yang tak ada bedanya” itu adalah tokoh-tokoh agama. Apakah banyak manusia itu tidak berakal? Tidak juga. Bahkan beberapa di antara banyak manusia “yang tak ada bedanya” itu adalah tokoh-tokoh intelektual.

Ini fakta. Tapi bukan berarti agama dan akal gagal menjalankan fungsinya. Tokoh-tokoh itulah yang gagal memfungsikan agama dan akal sehingga gagal pula lah tokoh-tokoh itu untuk membedakan diri mereka dari hewan atau setan. Sebuah kegagalan yang “dibintangi” oleh lebih dari satu aktor, tapi digerakkan oleh hanya satu faktor: melanggar batas.

Agama atau pun akal “gagal” karena batasan-batasannya dilanggar. Batas bahwa agama dan akal hanyalah “alat” dilanggar sedemikian rupa sehingga agama atau pun akal “naik pangkat” menjadi Tujuan.

Ironisnya, orang yang menjadikan agama sebagai tujuan menyalah-nyalahkan orang yang menjadikan akal sebagai tujuan, begitu juga sebaliknya. Orang yang satu menertawakan kebodohan orang yang men-Tujuan-kan akal, sedangkan orang yang ditertawakan balik menertawakan orang yang men-Tujuan-kan agama. Masing-masing saling menertawakan dan membodoh-bodohkan dengan dasar bergudang-gudang argumentasi, bertumpuk-tumpuk logika, dan beribu-ribu ayat Kitab Suci.

Padahal kalau diteliti dengan kombinasi akal dan hati, bergudang-gudang argumentasi, bertumpuk-tumpuk logika, dan beribu-ribu ayat Kitab Suci yang dijadikan dasar untuk saling menertawakan dan membodoh-bodohkan itu bukanlah dasar, melainkan permukaan.

Dalam sebuah forum pengajian, si penceramah berkisah tentang Isra’ Mi’raj yang salah satu content-nya adalah kisah tentang indah dan luar biasanya surga. Si penceramah mengisahkan surga dengan cara berkisah yang seakan-akan menegaskan dirinya sudah pernah ke berziarah ke surga. Keironisan meningkat tegangannya begitu si penceramah menggaris bawahi kisahnya dengan sebuah pernyataan, “Karena itu kita harus punya kapal, karena surga itu letaknya seperti pulau yang berada di seberang. Kita tidak akan bisa sampai ke pulau seberang tanpa kapal.”

Sebuah pertunjukan logika yang sepintas tepat tapi sebenarnya cukup jauh meleset, karena bagi orang yang hafal di luar kepala berbagai metode dan bahasa “mesin pengeruk massa”, “kapal” yang dimaksud oleh si penceramah adalah salah satu dari organisasi-organisasi  keagamaan yang ada, dan bagi si penceramah, hanya “kapal” yang sedang ia tumpangi saja yang bisa mengantarkan penumpang sampai ke “pulau seberang”. Karena itu, si penceramah jadi merasa “berkewajiban” untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk menumpang satu-satunya kapal yang bisa mengantarkan penumpang sampai ke pulau seberang.

Dengan begitu, jadilah kapalnya si penceramah itu sebagai tujuan. Padahal tak ada jaminan bahwa kapal itu tidak akan mengalami kebocoran atau kerusakan atau kehabisan bahan bakar atau kelebihan muatan di tengah perjalanan menuju “pulau seberang”.

Di samping itu, pertunjukan logika tersebut di atas tak lain sekaligus merupakan pertunjukan ketaktahudirian: kurang besarkah dan kurang terjaminkah kapal bernama Islam, sehingga ada orang yang rela menyibukkan diri mengajak orang banyak untuk menumpang perahu lain bernama ormas Islam?

Sebuah logika yang terbukti tak berdasar. Tapi sebaiknya dimaafkan. Harus dimaklumi, si penceramah terlanjur terbiasa tidak memfungsikan akalnya. Padahal dengan tegas Alquran menyatakan diri sebagai petunjuk bagi orang-orang yang berakal.

Sakura 225, 13 Juli 2012 – 01:40

Thursday, July 5, 2012

Dan Alquran pun Dikorupsi: Sebuah Catatan tentang Pengadaan yang Mengada-ada


Berita tentang kasus korupsi anggaran pengadaan Alquran bisa jadi adalah puncak dari rentetan “pencurian” besar-besaran yang dilakukan oleh manusia terhadap pemaknaan ayat-ayat Alquran.

Menilik kenyataan bahwa kebanyakan manusia jaman sekarang lebih mewaspadai pengawasan dari Komite Pemberantasan Korupsi daripada pengawasan dari Sang Sejati, korupsi anggaran pengadaan Alquran membukakan tidak hanya mata kepala tetapi juga mata hati: jika anggaran pengadaan Alquran saja berani mereka korupsi, apalagi pemaknaan ayat-ayat Alquran.

Kasus korupsi anggaran pengadaan Alquran juga sekilas mengabarkan adanya banyak pengadaan yang mengada-ada dan diada-adakan. Ada banyak Dinas, Badan, atau Kantor di negeri ini. Jika masing-masing Dinas atau Badan atau Kantor itu setidaknya melakukan satu saja jenis pengadaan yang mengada-ada, tersisa berapakah jumlah orang Dinas atau orang Badan atau orang Kantor yang tidak mengada-ada?

Itu jika yang disorot adalah lembaga-lembaga pemerintah. Jika sorotan digeser ke lembaga-lembaga agama Islam, yang resmi maupun yang tidak resmi, lembaga yang lembaga maupun tokoh agama Islam yang ketokohannya sebesar lembaga, pertanyaan dan jawabannya hampir serupa: sedikit.

Bedanya, jika lembaga-lembaga pemerintah mengada-adakan barang atau kegiatan, lembaga-lembaga agama Islam mengada-adakan pemaknaan-pemaknaan (ayat-ayat Alquran). Pengada-adaan yang pertama berefek pada tingkat kesejahteraan rakyat, pengada-adaan yang kedua berefek pada tingkat kesesatan umat.

Tidak bisa tidak, kesejahteraan individu atau golonganlah tujuannya. Kesejahteraan dalam arti yang lebih luas dari batas-batas, sebab usaha peningkatan kesejahteraan individu dibatasi oleh batas tak tampak mata bernama garis vertikal-horisontal ketuhanan-kemanusiaan. “Garis” ketuhanan mengharamkan proses “makan hak orang lain dengan cara yang batil”, “garis” kemanusiaan mengharamkan proses “menyembunyikan kebenaran”.

Dengan kata lain, yang dituju oleh orang-orang yang mengada-ada itu bukan kesejahteraan melainkan keserakahan. Jelas sebuah tujuan yang tak bernalar, sebab keserakahan adalah sifat dan sikap, bukan tujuan.

Tetapi begitulah kenyataannya. Setiap dan segala pengadaan yang mengada-ada senantiasa bertujuan untuk memuaskan keserakahan: serakah harta, serakah kedudukan, serakah kebesaran, serakah pengaruh, serakah pengikut, serakah mulut, serakah perut, serakah bawah perut.

Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sedikit, yaitu golongan orang-orang yang tidak mengada-ada, yaitu golongan orang-orang bernalar yang tidak menjadikan keserakahan sebagai sifat, sikap, atau bahkan tujuan.

Sakura 225, 5 Juli 2012 – 16:34

Seperangkat Alat SPJ


Barangkali karena Soleman kurang berminat dengan kemapanan (jangan samakan “kurang berminat” dengan “anti”), sehingga seakan-akan kurangnya minat itu berimbas pada situasi yang ia dapatkan di bidang pekerjaan.

Status yang sedang Soleman sandang, yaitu Petugas Lapangan, benar-benar membuat Soleman jauh dari “kemapanan”. Bagaimana bisa disebut mapan kalau Soleman “diharamkan” “duduk hingga membusuk” di kursi kantor dari jam delapan pagi sampai jam tiga sore. Bagaimana bisa disebut mapan kalau ruang kerja Soleman adalah ruang “pinjaman” dari pihak yang lebih mapan sehingga ruang kerja Soleman rawan tergeser bahkan rawan tergusur.

Yang lebih lucu lagi, di tempat kerja barunya yang sekarang, setiap kali masuk ke ruang kerjanya, Soleman berposisi seperti seorang tamu. Sebuah meja dan kursi kerja jelas milik seniornya, sedang selain itu tak ada meja yang lain lagi, bahkan tak ada lagi ruang kosong untuk meletakkan sebuah meja, sehingga mau tak mau Soleman duduk di sebuah kursi di depan meja kerja seniornya.

Maka jangan salahkan Soleman jika ia tak krasan. Maka jangan salahkan Soleman jika pukul sepuluh atau sebelas pagi ia mencari kursi dan posisi yang lebih nyaman: bangku warung, ngopi.

Tiba-tiba terdengar oleh Soleman kabar itu: pembangunan kantor baru yang rencananya dijatahkan untuk wilayah kerja lain, karena buntu pada persoalan pembebasan tanah, dialihkan ke wilayah kerja Soleman. Padahal baru dua minggu Soleman bekerja di wilayah barunya yang sekarang ini. Benar-benar kabar yang insya Allah baik bagi masa depan Soleman. Soleman pun tak bisa untuk tidak ber-alhamdulillah.

Dua minggu sesudah kabar yang insya Allah baik itu, Soleman mendengar kabar yang insya Allah juga baik: masing-masing wilayah kerja akan mendapatkan satu set alat administrasi perkantoran modern: CPU, LCD, Printer, Keyboard, Mouse, dan MAXPOWER.

Mendengar kabar itu, Soleman pun tersenyum: untuk pantat saya saja tidak ada tempat, apalagi untuk seperangkat alat itu.

Gumaman Soleman tampaknya tak beda dengan gumaman seniornya. Senior yang tiga bulan ke depan akan pensiun dan nol puthul komputer itu pun berujar kepada Soleman, “Nanti kalau seperangkat alat itu datang, letakkan saja di rumahmu, daripada di rumahku nanti rusak dipancal pitik.”

Tibalah hari yang ditentukan itu. Seperangkat alat itu datang. Soleman tak punya pilihan lain selain memasukkan dulu seperangkat alat itu ke ruang kerjanya. Tak lama kemudian, tampaklah keserakahan manusia. Beberapa orang dari pihak yang lebih mapan itu menunjukkan gelagat dan ucapan yang mengarahkan Soleman agar seperangkat alat itu “dipermanenkan” di ruang kerjanya. Tentu saja motif di balik gelagat dan ucapan itu jelas: agar mereka juga bisa turut “menikmati” seperangkat alat gratisan itu secara gratisan dan tanpa pertanggungjawaban.

Soleman sampai tak habis pikir, sebagai pihak yang lebih mapan, jelas tak mungkin mereka tak punya uang untuk mengganti monitor mereka yang sudah buram warnanya, juga untuk mengganti printer mereka yang sudah nggak doyan kertas lagi itu. Seandainya Soleman adalah Indonesia, pasti ia akan malu luar biasa melihat “kemiskinan” pegawai-pegawainya.

Motif di balik gelagat dan ucapan tersebut, setelah dipikir oleh Soleman, didapatkan kesimpulan: lebih baik seperangkat alat itu dipancal oleh pitik daripada dipancal oleh orang-orang “miskin” nan serakah yang tak bertanggung jawab. Kalau pitik jelas tak berakal sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh pitik lebih mudah dimaafkan daripada kerusakan yang disebabkan oleh orang-orang yang katanya berakal itu.

Maka meskipun dengan agak tak enak hati, Soleman menegaskan kepada orang-orang itu bahwa ia disarankan oleh seniornya juga oleh “panita” pengadaaan seperangkat alat itu agar seperangkat alat itu ia letakkan di rumah.

Oleh sebab itu, siapapun yang kebetulan datang ke rumah Soleman dan melihat ada seperangkat alat administrasi perkantoran di pojok selatan-barat ruang tamunya tidak boleh beranggapan bahwa Soleman sedang kebanyakan uang, juga tidak boleh beranggapan bahwa Soleman sedang menyalahgunakan “amanah”. Seperangkat alat administrasi perkantoran di pojok selatan-barat ruang tamunya itu tak lain buah dari keadaan yang sama sekali bukan buatan Soleman.

Di balik keberadaan seperangkat alat itu di rumahnya, ada banyak faktor. Dan salah satu faktornya adalah bahwa siapa lagi yang akan mengerjakan tumpukan SPJ kalau bukan Soleman.

Ya, Soleman akan dengan senang hati mengerjakan SPJ-SPJ yang banyak dan judulnya berganti-ganti itu (yang kadang disertai dengan komando-komando yang membingungkan), meskipun besar kemungkinan (dan sudah terbukti berkali-kali) ia akan tidak kecipratan “cairan” dari SPJ-SPJ itu.

Semakin sering Soleman mengerjakan SPJ, semakin banyak SPJ yang dikerjakan oleh Soleman, semakin senanglah hatinya. Pertama karena dengan begitu Soleman jadi tahu bahwa ia benar-benar punya pekerjaan, dan kedua, Soleman jadi tahu bahwa benar-benar banyak orang yang kelihatannya bekerja tapi sebenarnya tidak bekerja.

Sakura 225, 4 Juli 2012 – 23:49

Sunday, July 1, 2012

Mario dan Pirlo: Dari Terhina ke Terpuji, Dari Disingkirkan ke Menyingkirkan


Pirlo: Perlu!
Rasanya baru kemarin AC Milan mengutuki diri. Sebuah kebijakan yang kurang bijaksana memutuskan kontrak Andrea Pirlo tak diperpanjang. Siapa pun pengambil kebijakan itu, dasarnya satu: Pirlo sudah habis. Dalam sepakbola, kecuali posisi penjaga gawang, 33 tahun termasuk kelompuk usia lansia. Sedangkan untuk jenis olahraga yang membutuhkan stamina muda, sehebat apapun skill seorang Pirlo, sekali lansia tetap lansia. Sang lansia pun akhirnya disingkirkan. Dengan status bebas transfer, Juventus pun keruntuhan durian.

Dasar "seniman", sekecewa dan semarah apapun Pirlo, tak satu pun media yang berhasil mendapatkan komentar kekecewaan atau kemarahan Pirlo. Seniman selalu “lebih besar” dari kekecewaan, kemarahan, atau bahkan kebencian. Pirlo pergi, begitu saja.

Sebagai seorang yang sangat setia kepada AC Milan dan telah berjasa cukup besar mengantar AC Milan memenangi berbagai trofi, Pirlo lebih dari sekadar wajar untuk memuntahkan kekecewaan dan kemarahannya kepada klub yang tak tahu berterimakasih dan mengkhianatinya itu. Tapi tidak. Pirlo diam saja, sambil menyunggingkan seulas senyum. Senyum yang sunyi namun nyaring berbunyi, “Kita lihat saja nanti.”

Walhasil, Juventus yang dikomandani Andrea Pirlo sukses menyingkirkan AC Milan dalam perebutan scudetto. Keadaan pun berbalik. Andrea Pirlo hanya butuh waktu satu tahun untuk ganti “menyingkirkan” penyingkirnya. AC Milan pun tersungkur.

Kisah “kelapangan hati dan kebesaran jiwa” yang berkombinasi dengan “seni tingkat tinggi” Pirlo tidak selesai di Juventus. Kisah itu berlanjut di Piala Eropa 2012. Sebuah “elusan” bebas, sebuah penalti “menggemaskan”, dan tiga gelar man of the match ia “tuliskan”. Italia pun melenggang ke final. Sebuah “perjalanan” yang seakan-akan menunjukkan bahwa bersama Italia, Andrea Pirlo ganti “menyingkirkan” orang-orang yang sebelumnya “menyingkirkan” Italia dari daftar kandidat juara Piala Eropa.

Melihat performa Pirlo, Bos Inter Milan Massimo Moratti pun akhirnya tak bisa untuk tak bicara, “Apakah saya menyesal menjual Pirlo? Kalau kami menyesal, bagaimana perasaan AC Milan ya?"

Moratti pun tak sungkan membeberkan rahasia kelapangan hati dan kebesaran jiwa Pirlo, “Karakter dan kemampuan dia membuat semuanya terlihat mudah, terutama karena setiap pergerakannya adalah untuk tim, dan tak pernah untuk dirinya sendiri."

Balotelli: Watak Keras, Kerja Keras, Kartu As!

Berbeda dengan Pirlo yang disingkirkan karena faktor usia, Balotelli disingkirkan karena faktor kejiwaan. Kejiwaan yang kurang stabil membuat Balotelli terlibat pertengkaran dengan rekan setim bahkan dengan pelatihnya sendiri. Akibatnya, suasana tim menjadi kurang harmonis. Sedangkan keharmonisan merupakan salah satu syarat kesuksesan sebuah tim. Akhirnya Balotelli pun disingkirkan.

Mancini pun tak ragu untuk menampung Balotelli. Sebuah keyakinan yang berdasar pada kenyataan: Mancini pun adalah seorang “seniman”. Dan hanya para seniman yang bisa mengendalikan keabsurdan, bahkan mengubah keabsurdan itu menjadi sebuah “karya seni” bermutu tinggi. Kesuksesan Manchester City menjuarai Liga Inggris tak lepas dari peran “karya seni” bernama Balotelli.

Tapi Balotelli tidak hanya disingkirkan. Ia juga dihina, bahkan kehadirannya di timnas Italia hampir ditolak. Warna kulitnya menyebabkan ia menjadi korban rasisme. Kebengalannya menyebabkan ia dikhawatirkan oleh banyak kalangan akan menyulut disharmoni dalam tim Italia. Italia sebagai tim sepakbola maupun Italia sebagai negara seakan-akan setengah hati menerima Balotelli sebagai pemain mereka maupun sebagai warga negara mereka.

Balotelli beruntung, sebab Italia dilatih oleh Cesare Prandelli yang tak lain adalah juga seorang “seniman”. Di tangan Prandelli, Balotelli kembali menjadi “karya seni” bermutu tinggi: dua gol berkelas dilesakkan oleh Balotelli ke gawang Jerman, satu melalui heading keras, satu lagi melalui shooting keras. Jerman yang dijagokan banyak kalangan akhirnya menangis keras-keras.

Kartu As! Barangkali itulah kata yang tepat untuk menggambarkan watak keras dan kerja keras Balotelli. Dan Italia sebagai tim sepakbola maupun sebagai negara akhirnya bersedia mengakui bahwa mereka butuh Balotelli. Sehitam apapun warna kulit Balotelli.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk menambah jumlah komentator sepakbola yang kebanyakan asal bunyi dan ngawur. Tulisan ini sekadar pengembangan dari hasil renungan yang insya Allah tidak asal-asalan: ada banyak Pirlo dan ada banyak balotelli di sekitar kita. Ada banyak orang disingkirkan, ada banyak orang dihina, ada banyak orang tidak diterima di sekitar kita. Bahkan bisa jadi kita sendirilah yang orang yang menyingkirkan, menghina, atau menolak keberadaan Pirlo-Pirlo maupun Balotelli-Balotelli itu.

Maka sebelum kita mengalami penyesalan sebagaimana yang dialami Inter Milan, Ac Milan, maupun orang-orang yang meremehkan timnas Italia, akan baik kiranya jika tindakan menyingkirkan, menghina, atau sikap menolak siapa saja itu segera kita singkirkan dari hati dan jiwa kita.

Namun jika ternyata kita justru adalah salah satu dari Pirlo-Pirlo atau Balotelli-Balotelli itu, sikap yang dipilih Pirlo ketika “disingkirkan” AC Milan tampaknya baik untuk ditiru. Dan “pembuktian diri” ala balotelli juga bisa diterapkan jika keadaan memang memaksa kita untuk “membuktikan diri”.

Sakura 225, 1 Juli 2012 – 17:05