Maqaama-m-Mahmuuda

Wa mina-l-laili fatahajjad bihi naafilata-l-laka, 'asaa an yab'atsaka Rabbuka maqaama-m-mahmuuda.

Di Antara Kalimat-kalimat

Yang terpenting adalah apa yang tetap tak terkatakan, atau apa yang mungkin terbaca di antara kalimat-kalimat.

Anak Kehidupan

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu ... Mereka adalah putra-putri kehidupan ... Kau bisa berikan kasih sayangmu ... Tapi tidak pikiranmu.

Kesalingsepakatan dan Ketidaksepakatan

Jadi, sebuah telatah pas untuk seorang penulis muda mengembangkan diri adalah situasi penuh percakapan, diskusi, cara-cara menunjukkan kesalingsepakatan, dan yang paling penting adalah cara tidak bersepakat.

Kesetiaan + Keteguhan + Konsistensi = Cara + Bentuk + Jalan

Kesetiaan akan mengilhami cara. Keteguhan memberi petunjuk tentang bentuk-bentuk. Konsistensi melahirkan jalan.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Jangan biarkan daya mati jerat nurani. Jangan biarkan amarah membakar hati. Jangan biarkan keangkuhan menindas pekerti. Jangan biarkan bisikan setan meracuni diri. Jangan jumawa saat masih berkuasa. Jangan menepuk dada saat berjaya. Kejayaan itu fana kekuasaan itu hampa. Di atas langit masih ada langit..

Mendingan Setan

Kita memang harus berlindung kepada Tuhan dari orang-orang yang kepalanya pura-pura nyunggi Kitab Suci, yang bibirnya akting mencipok-cipoki ayat-ayatnya, tetapi itu semata-mata demi persekongkolannya dengan sang perut, kemudian mereka nanti bagi hasil dari penipuan-penipuannya. Orang yang begini masih mendingan setan atau demit.

Pasrah kepada Tuhan

"Menunduk-nunduk" itu bisa berarti sungguh-sungguh menunduk-nunduk, tetapi bisa juga berarti kekalahan dan kepatuhan di bawah suatu tiran kekuasaan yang tak semestinya dipatuhi ... Pasrah kepada Tuhan itu begitu nyaman. Ia sungguh-sungguh menyediakan kebahagiaan.

Saling ... Tanpa ... Tidak Akan ...

Persahabatan ini ... Tak lekang oleh waktu ... Saling memberi ... Tanpa rasa pamrih ... Saling menjaga ... Saling memahami ... Persaudaraan ini ... Lebih indah dari pelangi ... Saling mengingatkan ... Tanpa rasa benci ... Sahabat sejati ... Tak akan mengkhianati ....

Kebahagiaan

Kebahagiaan terbesar akan datang jika seseorang bertindak tidak demi kebahagiaan pribadinya.

Keberadaan

Mengingat (dan mencatat) yang sedang mereka perbincangkan adalah keberadaanku.

Alat dan Peluang, Kepekaan dan Pengetahuan

Angin tinggal menghembuskan cinta, pepohonan tinggal berdiri setia, tetapi manusia memiliki alat dan peluang untuk mengasah kepekaan dan pengetahuannya.

Di Tengah

Aku saat itu sedang belajar Memahami inti Kewajaran hidup dan kewajaran alam Berada di tengah-tengahnya Tidak merasa terjepit Tidak juga leluasa bergerak.

Ketahanan Terhadap Waktu

Kebiasaan-kebiasaan konsumtif membikin kita lebih banyak pasif. Langkah-langkah sering kurang kreatif-reputatif. Bahkan dalam menempuh cita-cita pun kalau bisa yang simpel saja. Jalan pintas. Praktis saja. Tidak mengeksplor pentingnya latihan ketahanan terhadap waktu.

Petarung Hidup

Kita bukanlah orang yang mudah menyerah ... Kita bukan orang yang mudah dikalahkan ... Kita pernah jatuh jatuh jatuh tersungkur ... Tapi bangkit lagi melangkah lebih pasti ...

Mudkhala Shidqin

Rabbii adkhilnii mudkhala shidqin wa akhrijnii mukhraja shidqin waj'alnii min-l-ladunka shulthaana-n-nashiira.

Qul!

Qul: Allahumma maalika-l-mulki tu'ti-l-mulka man tasyaa-u wa tanzi'u-l-mulka min-m-man tasyaa-u, wa tu'izzu man tasyaa-u wa tudzillu man tasyaa-u, bi yadika-l-khair, innaka 'alaa kulli syai-i-n-qadiir. Tuuliju-l-laila fi-n-nahaari wa tuuliju-n-nahaara fi-l-laili, wa tukhriju-l-hayya mina-l-mayyiti wa tukhriju-l-mayyita mina-l-hayyi, wa tarzuqu man tasyaa-u bighairi hisaab.

Mengolah

Di antara langit dan bumi: mengolah hidup; Di antara hitam dan putih: mengolah kepastian; Di antara suka dan duka: mengolah ketenangan; Di antara hidup dan mati: mengolah kegagahan..

Thursday, September 27, 2012

Tinta Telah Kering


apa yang engkau sombongkan
sedangkan tinta telah kering
apa yang engkau risaukan
sedangkan tinta telah kering
apa yang engkau takutkan
sedangkan tinta telah kering
apa yang engkau sedihkan
sedangkan tinta telah kering
apa yang engkau banggakan
sedangkan tinta telah kering

dan jauh sebelum itu semua
adalah pancaran cahaya
sebagian mendapat banyak
sebagian sedikit
sebagian lagi
tidak mendapat apa-apa

maka sekali lagi aku tanyakan
apa guna segala benda
apa guna segala bangga
apa guna segala angkara
apa guna segala kecut dan kecewa
jika cahayalah yang utama dari segala

Sakura 225, 26 September 2012 - 23:20

Majelis Kebangkitan

Jika suhu mempunyai penggaris bernama termometer; jika tekanan mempunyai penggaris bernama barometer; jika massa mempunyai penggaris bernama neraca; jika kebohongan mempunyai penggaris bernama lie detector; jika dedikasi mempunyai penggaris bernama daftar hadir alias buku absen, bahkan cahaya pun mempunyai penggaris bernama  lux meter, dan jika hampir segala hal dalam zaman yang gila detail ini masing-masingnya mempunyai penggaris sendiri-sendiri, tidak demikian halnya dengan kebodohan.

Orang akan bilang bahwa raport atau indeks prestasi sebagai penggarisnya kebodohan, mengingat naik atau tidak naik kelasnya seorang siswa dilihat berdasarkan nilai raport; mengingat tepat atau tak tepat waktu lulusnya seorang mahasiswa dinilai dari nilai indeks prestasi.

Tepatkah demikian? Sesungguhnya bukan. Cukup banyak manusia-manusia sukses yang pernah tidak naik kelas atau bahkan yang tidak tamat kuliah.

Maka bingunglah Soleman sepanjang satu jam dalam ruang persegi tempat tukang cukur itu mengumpulkan nasi bagi anak, istri, dan dirinya sendiri: penggaris bernama apa yang akan dia pakai untuk mengukur kebodohan satu orang tukang cukur beserta tiga orang calon “pasiennya” itu?

Kebingungan Soleman bermula dari kebingungan seorang teman yang ndak sempat-sempat memendekkan rambut, sedangkan sang teman adalah seorang guru yang jelas rambut panjangnya tak boleh ditiru oleh anak-anak didiknya. Jadi, keberadaan Soleman di ruang persegi itu hanyalah untuk menemani seorang teman, dan Soleman sama sekali tidak pernah berharap bahwa selama masa menemani itu ia terpaksa harus mendengarkan ocehan tiga orang bodoh tanpa bisa berkata sepatah kata pun. Rumusnya jelas: tanggapan terhadap ocehan orang bodoh adalah diam.

Bagaimana tidak bodoh kalau satu dari tiga orang tersebut menyatakan bahwa MTA mengharamkan tahlilan dan menghalalkan zina. Bagaimana tidak bodoh kalau dua dari tiga orang tersebut mengamini pernyataan tersebut. Kemudian ketiganya secara bergantian dan kadang secara berbarengan sahut-menyahut dengan komentar-komentar yang benar menurut kebodohan mereka masing-masing.

Bagaimana tidak bodoh kalau satu dari tiga orang tersebut menyatakan bahwa MTA mengharamkan kenduri dan menghalalkan anjing, babi, maupun anjing sekaligus babi. Bagaimana tidak bodoh kalau dua dari tiga orang tersebut mengamini pernyataan tersebut. Kemudian ketiganya secara bergantian dan kadang secara berbarengan sahut-menyahut dengan komentar-komentar yang benar menurut kebodohan mereka masing-masing.

Bagaimana tidak bodoh kalau satu dari tiga orang tersebut menyatakan bahwa ia pernah melihat ada orang MTA yang membuang ke tempat sampah seketika itu juga ketika nasi kenduri diantarkan ke rumahnya. Lebih bodoh lagi, dua dari tiga orang tersebut masing-masingnya mengaku juga pernah melihat hal yang serupa. Seakan-akan insiden “nasi kenduri masuk tempat sampah” itu merupakan hal yang pasti dan selalu dilakukan oleh orang MTA, dan seakan-akan masing-masing dari tiga orang tersebut adalah waliyullah yang ditugaskan khusus untuk menyaksikan secara langsung orang MTA membuang nasi kenduri ke tempat sampah.

Setelah puas bersahut-sahutan, satu dari tiga orang tersebut mengambil konklusi, “Rupanya mereka bercita-cita menjadi Nabi.”

Soleman berpindah kursi. Sebatang matahari ia selipkan di sudut bibirnya. Sambil menyandarkan kepalanya, cc demi cc asap ia kepulkan dari cerobongnya. Orang MTA-kah Soleman?

Tentu bukan. Jangankan digolongkan sebagai orang MTA, digolongkan sebagai orang saja belum tentu. Lagipula, dari kepulan asap dari mulut Soleman, Soleman lebih dekat untuk digolongkan sebagai orang NU, meskipun dengan bersungguh-sungguh Soleman berkata bahwa ia lebih baik disebut sebagai orang-orangan sawah daripada disebut sebagai orang NU.

Jadi apa sebab Soleman mengepulkan asap dan menyandarkan kepalanya? Fitnahlah yang menyebabkan kepala Soleman bertambah beratnya. Lho, bukankah Soleman bukan orang MTA, jadi mengapa ia merasa susah?

Soleman jauh dari pantas untuk disebut beriktikad membela Islam, tetapi kalau keutuhan umat Islam terganggu oleh upaya adu domba melalui fitnah-fitnah picisan yang disulut oleh “pemuka-pemuka” agama Islam yang ketakutan kehilangan pengikut dan sekaligus kehilangan pendapatan, Soleman tidak bisa untuk tidak tersinggung. Bagaimana tidak tersinggung, sedemikian hebat Muhammad saw. menderita demi keutuhan umatnya, lha kok yang dibela-belain malah berlomba-lomba memecah diri. Untung Soleman sudah cukup terlatih untuk menyalurkan ketersinggungannya itu melalui kepulan asap rokoknya.

Soleman memejamkan mata, “Ya Allah, siapakah pembawa kayu bakar sekaligus penyulut api fitnah ini, yang sedemikian berhasil membakar akal sehat sedemikian banyak orang?

Dalam pejaman mata, Soleman mendengar suara, “Heran saya, kok MTA tidak dilarang oleh Pemerintah?”

Mendengar suara itu Soleman tersenyum, “Nah, inilah penggarisnya: Pemerintah tidak melarang MTA karena MTA memang tidak pernah menyatakan bahwa Allah menghalalkan zina, anjing, babi, zina dan babi, zina dan anjing, anjing dan babi, atau zina sekaligus anjing sekaligus babi. Dan tidak ada orang MTA yang membuang nasi kenduri ke tempat sampah karena yang bukan orang MTA jelas tidak mau mengantarkan nasi kenduri ke rumah orang MTA.”

Melihat Soleman tersenyum sendiri, sang teman yang sedang antri untuk dibabat rambutnya memandang Soleman dengan ekspresi mohon penjelasan. Yang dipandang hanya menjawab pendek, “Fitnah itu ternyata mengasyikkan, dan kebodohan yang membungkus fitnah itu ternyata menggelikan.”

Dalam perjalanan pulang dari tempat cukur, sang teman menyampaikan sebuah pemikiran, “Jangan-jangan mereka mengira kita orang MTA, karena kita tidak berkicau ketika mereka berkicau?”

Soleman menjawab, “Masak orang MTA merokok? Tapi bisa juga sih mereka mengira begitu, lha wong zina saja dihalalkan oleh MTA, pasti merokok lebih dari itu, sangat amat halal sekali. Ah, ndak masalah siapa saja mau mengira kita sebagai apa saja. Lha wong saya ini dikira sebagai orang kafir, orang munafik, orang ndak jelas, atau orang-orangan sawah pun ndak masalah. Tapi saran saya, melihat bahwa domba yang sedang diadu adalah NU dan MTA, orang-orang itu sebaiknya mengira saya sebagai orang MK, Majelis Kebangkitan. Majelis diambil dari M-nya MTA, Kebangkitan diambil dari N-nya NU.”

Nahdhah itu artinya kebangkitan, majlis itu artinya tempat duduk. Maka menjadi jelaslah urutannya sekaligus urusannya: untuk bisa disebut berposisi bangkit, orang terlebih dahulu harus berada dalam posisi duduk.

Sakura 225, 26 September 2012 – 23:41

Di Ketiaknya Aku Berlindung


Engkau telah mendapatkan pelajaran besar bahwa apa yang tampak baik di permukaan matamu tidak bisa dijadikan pegangan. Ya, engkau telah mendapatkan pelajaran itu. Maksudku, engkau sudah pernah membaca teks pelajaran itu, tapi konteks pelajaran besar itu, ya baru kemarin itu engkau dapatkan.

Maka Ibrahim-lah engkau. Maksudku, engkau seperti Ibrahim yang ilmu kepasrahannya diteguhkan dengan kenyataan bahwa burung yang disembelih dan dipotong-potong dan masing-masing bagiannya diletakkan di tempat terpisah dan berjauhan pun bisa digabungkan kembali dan dihidupkan.

Maka burung yang disembelih dan dipotong-potong dan disaling jauhkan itulah engkau. Maksudku, engkau seperti burung yang disembelih itu. Jalur udara dan jalur makan-minummu dipotong. Harapan-harapan dan cita-cita dalam kepalamu dipotong seiring dengan terpisahnya kepala dari lehermu. Atau leher dari kepalamu. Darah gairahmu menetes keluar hingga tetes penghabisan. Otot-otot daya ciptamu lemas kemudian membeku. Urat-urat kesadaranmu kaget kemudian pingsan. Tapi insya Allah tidak lama, karena juga tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk menggabungkan dan menghidupkan kembali burung Ibrahim.

Maka Musa-lah Engkau. Maksudku, engkau seperti Musa yang pingsan di hadapan wajah Tuhan. Tetapi setelah bangun, tiba-tiba tongkatmu menjadi menjadi ular raksasa. Dan dari ketiakmu memancar cahaya.

Tetapi, seperti tidak berarti sama. Maka engkau bukan Ibrahim, bukan pula Musa. Kalau burung, mungkin iya. Dan karena engkau burung, maka terimalah kenyataan yang telah terjadi: engkau diburu dan dijadikan sasaran peluru.

Tentang burung, ada tiga pilihan untukmu. Pertama, berlatihlah terbang secepat buraq. Kedua, tirulah tongkat Musa: ketika pemburu membidikmu, berubahlah jadi ular untuk kemudian memangsa pemburumu. Ketiga, bersaranglah di ketiak Musa.

Tentu engkau memilih yang pertama atau yang kedua. Karena, bukankah kesaktian merupakan hal yang diidam-idamkan banyak orang? Apalagi jika kesaktian itu didapatkan dengan cuma-cuma; didapatkan dengan tanpa pengorbanan apa-apa. Tetapi bukan kesaktian semacam itu yang dikehendaki Tuhan untukmu. Biarlah yang burung tetap burung, biarlah yang ular tetap ular. Sedangkan buraq, biarlah kecepatan itu ia miliki sendirian. Tak usah dengki tak usah iri. Masing-masing disediakan jatahnya sendiri.

Maka, wahai burung, bersaranglah di ketiak Musa. Pada zaman puncak gelap gulita ini, jangankan engkau, cahaya pun memilih untuk berlindung di ketiak Musa.

Sakura 225, 11 September 2012 – 16:11

Tuesday, September 18, 2012

Maka Teruslah Bersabar

Soleman terperanjat. Secara hakikat, bisik suara dari seberang sana, tugasmu bukanlah bekerja. Lihatlah, pekerjaan macam apakah penyuluh keluarga berencana itu? Sesuaikah itu dengan proses perjalananmu dalam menuntut ilmu?

Tengoklah ke belakang. Empat tahun engkau ditempa dalam samudera bahasa Arab. Kemudian engkau berlabuh sejenak. Setelah itu, karena telah kau kuasai jalur layar samudera itu, engkau diberi jalur berikutnya. Empat tahun pula, dan kenyanglah engkau “makan” Alquran.

Memang jalur layar baru itu belum sepenuhnya kau kuasai. Tapi setidaknya, engkau sedikit lebih benar-benar tahu jalur itu daripada orang-orang yang sok tahu tentang Alquran itu. Engkau pernah berlayar di atas samudera Alquran, sedangkan kebanyakan mereka tahu samudera Alquran hanya dari qiila wa qaala; dari “katanya”.

Kembali kepada masalah pekerjaan, jika ada alasan bahwa dipilihnya sarjana agama untuk mengisi formasi penyuluh keluarga berencana adalah agar bisa lebih sukses dalam melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh agama yang salah satu metode pendekatannya adalah dengan “mempersembahkan” ayat-ayat Alquran yang proKB, maka alangkah murahnya “harga” Alquran. Sedangkan engkau tahu, dengan keras Tuhan mengecam sekaligus mengancam orang-orang yang “membeli” (dan kemudian “menjual”) ayat-ayat Alquran dengan ”harga yang murah”.

Alasan semacam itu teramat sangat remeh dan sepele. Sekaligus membingungkan. Bagaimana tidak. Kebanyakan tokoh-tokoh agama itu adalah batu: sekali mereka temukan ayat Alquran yang berdasarkan penafsiran mereka sendiri bersifat menguntungkan mereka, selamanya akan mereka genggam erat ayat itu. Tak ada sedikitpun ketertarikan mereka untuk memperlakukan ayat-ayat Alquran secara adil.

Karena batu, maka berbondong-bondonglah orang-orang tak berilmu memberhalakannya. Dasarnya sama: batu-batu itu menguntungkan mereka.

Jadi, tanpa bantuan dan kehendak Tuhan, apa daya seorang sarjana agama sepertimu untuk mengubah batu menjadi manusia? Sedangkan Musa saja terheran-heran melihat tongkatnya menjelma naga.

Maka semoga tidak salah kabar yang kuterima ini, bisik suara dari seberang sana itu sekali lagi. Tugasmu bukanlah bekerja sebagaimana lazimnya orang bekerja. Tugasmu yang sesungguhnya adalah berdakwah. Mengajak orang kembali kepada kebaikan-kebaikan yang bentuk dan modelnya terjabarkan dalam Alquran.

Itulah mungkin sebabnya engkau “diselundupkan” ke dalam sebuah sistem, yang dalam hal ini adalah sistem kepemerintahan sebuah daerah. Karena kebanyakan orang-orang yang berada dalam sistem itu sudah sejak lama pergi meninggalkan kebaikan. Tak percaya? Bukankah di manapun letakmu dalam lingkaran sistem itu, selalu kaualami kenyataan bahwa hak-hakmu dicuri pada siang hari dan pencurian itu dilakukan di depan matamu sendiri? Bukankah ada kenyataan yang baru saja terjadi bahwa engkau dijebak untuk tenggelam ke dasar sumur konspirasi tingkat tinggi?

Dakwah tidak harus dengan kata-kata. Keteguhan dan kerendahan hatimu, serta caramu “meremehkan” uang dan kekuasaan, dengan perkenan dan bantuan Tuhan, serta seiring dengan perjalanan waktu, akan dapat membuka mata sebagian dari mereka sehingga dengan terpaksa ataupun dengan sukarela mereka akan kembali kepada kebaikan-kebaikan yang telah dan terus diajarkan Tuhan melalui Alquran.

Ini hanya kabar. Dan kabar, sebagaimana harta ataupun segala yang bersifat fana, tidak pernah punya hak untuk dijadikan sumber kebanggaan. Justru waspadalah engkau: bekerja sebagaimana lazimnya orang bekerja adalah hal yang lebih mudah dikerjakan daripada berdakwah.

Karena itulah tugasmu, maka teruslah bersabar. Hattaa ya’tiyallah bi amriHi.

Sulaiman berdakwah melalui hilangnya cincin kerajaan. Ibrahim berdakwah melalui pedang untuk menyembelih putranya sendiri dan melalui kobaran api. Yusuf berdakwah melalui hari-hari gelap dalam dasar sumur dan dalam pengap penjara. Ayyub berdakwah melalui sakit keras yang hampir melelehkan hatinya. Isa berdakwah melalui pengkhianatan muridnya. Muhammad berdakwah melalui pasir yang ditaburkan ke atas kepalanya dan melalui kotoran unta yang setiap hari dihidangkan di depan pintu rumahnya.

Karena itulah contohnya, maka teruslah bersabar. Inna nashrallah qariib.

Sakura 225, 18 September 2012 – 19:37

Untuk Apa

Untuk apa engkau beristisqa’
Sedangkan engkau telah memilih untuk menciptakan
Hujan buatan

Untuk apa engkau beristikharah
Sedangkan engkau telah diselubungi oleh kecenderungan
Pada satu dari dua atau lebih pilihan

Untuk apa engkau beristighatsah
Sedangkan engkau telah sepenuhnya rela djajah
Oleh pemilik kuasa dan pemilik perintah

Untuk apa engkau bertahajjud
Sedangkan telah terpatri dalam hatimu dangkalnya makna
Bahwa maqaama-m-mahmuuda di dunia letaknya

Untuk apa engkau berqunut
Sedangkan telah kauubah gajah menjadi semut
: Berpagi-pagi engkau minta petunjuk, tapi yang kau pakai justru jari telunjuk

Hei, engkau bukan Musa
Tapi mengapa dengan paksaan nan terencana
Pada ketiakmu kau sembunyikan cahaya?

Sakura 225, 18 September 2012 – 18:40

Sunday, September 2, 2012

Rp. 50,-

Merupakan tabiat pada umumnya orang bahwa tentang hak, dalam pengertiannya sebagai sesuatu yang diperoleh untuk diri sendiri, orang cenderung meminta tambah. Atau menambah-nambahi. Tabiat pada umumnya orang pula, bahwa tentang kewajiban, dalam pengertiannya sebagai sesuatu yang harus diperoleh orang lain, orang cenderung mengurangi. Atau mencurangi.

Kabar baiknya, pada umumnya orang beserta tabiatnya itu mendominasi jumlah personel abdi negeri. Bahasa “wah”-nya: pegawai negeri. Dan barangkali karena Indonesia di samping sebagai negara hukum adalah juga sebagai negara sipil, maka bahasa “wah” tersebut disingkat menjadi PNS.

Kabar baik yang tetap baik bagi pada umumnya orang, tapi tidak baik bagi orang-orang yang tidak umum.

Kalau Anda adalah orang yang sedikit pun tidak punya pikiran untuk mengurangi apalagi menelan bulat-bulat hak orang lain yang kebetulan dilewakan tangan Anda; kalau Anda adalah orang yang dalam diam menyimpan rasa jijik melihat ada orang yang mengurangi apalagi menelan bulat-bulat hak orang lain yang kebetulan dilewatkan tangannya; kalau Anda adalah orang yang berusaha semampu mungkin mengerjakan kewajiban namun usaha Anda itu sama sekali tidak dihargai bahkan dianggap tidak ada; kalau Anda adalah orang yang mengerjakan kewajiban namun menjadi tidak berhak secara mendadak, maka bisa jadi Anda termasuk orang-orang yang tidak umum itu. Konsekuensinya: kabar baik tersebut di depan, tidak bisa tidak, adalah kabar buruk bagi Anda.

Berkaitan dengan ke-abdi negeri-an, ada sebuah lembaga negara yang secara nasional mensosialisasikan aplikasi offline-online demi memudahkan dan memvalidkan data yang jauh-jauh hari diberi nama MDK (peMutakhiran Data Keluarga). Berkaitan dengan aplikasi ini, ada seorang abdi negeri yang berkewajiban untuk memasukkan data dari lembaran-lembaran bertulisan tangan ke dalam aplikasi tersebut.


Pada mulanya adalah kesadaran akan kewajiban. Itulah yang ada dalam kepala si abdi negeri. Kesadaran yang kemudian melembutkan hatinya dan menggerakkan tangannya sehingga tanpa janji dan imbalan apapun (selain gaji bulanan), kewajiban itu ia kerjakan. Bahkan ia satu atau dua langkah di depan dibanding rekan-rekan sekewajibannya se-Kabupaten.

Si abdi negeri dengan rajin dan teliti memasukkan satu persatu nama Kepala Keluarga beserta masing-masing anggota keluarganya beserta masing-masing Nomor Induk Kependudukannya beserta masing-masing tanggal lahirnya beserta masing-masing status pendidikan beserta masing-masing jenis pekerjaan beserta masing-masing status perkawinan beserta masing-masing status kesertaan KB-nya beserta masing-masing indikator dan status tahapan Keluarga Sejahtera yang masing-masingnya terdiri dari 21 kali klik kiri.

Semua itu ia kerjakan tanpa pengetahuan akan adanya imbalan rupiah dari masing-masing lembaran itu.

Tetapi justru itulah kabar buruknya. Begitu si abdi negeri mendengar kabar bahwa masing-masing lembar itu diberi harga sebesar Rp. 50,- (lima puluh rupiah kok sebesar), tersenyumlah ia: kalau memang sebesar itu harga per lembar dari sebuah program berskala nasional, alangkah tak bernalarnya program itu. Maksudnya, alangkah tak bernalarnya pencanang, perancang, dan penggerak utama program itu.

Untungnya ada kabar lain lagi yang menyatakan bahwa tidak sama antara Kabupaten yang satu dengan Kabupaten yang lain dalam hal nominal harga. Bahkan ada yang katanya mendapat harga sebesar Rp. 1000,- lebih sekian Rupiah. Jadi jelas bukan pencanang, perancang, dan penggerak utama program itu yang menyebabkan lahirnya tulisan berjudul Rp. 50,- ini.

Dan jika benar begitu, alangkah kejamnya manusia kepada sesama manusia. Si abdi negeri tiba-tiba merasa seperti sedang bekerja di bawah pemerintahan VOC. Bukan uang benar menusuk kalbu, kutip si abdi negeri, tetapi kekejaman kepada sesama manusia.

Di penghujung malam sunyinya si abdi negeri bergumam, “Alangkah lebih baiknya andai aku sama sekali tidak tahu perihal Rp. 50,- itu, sehingga aku tetap bisa mengerjakan kewajibanku tanpa ada bayangan akan kekejaman manusia. Kekejaman yang hampir seluruhnya terbungkus manis senyum dan halus tutur kata.”

Sakura 225, 1-2 September 2012

*Rp. 50,- ini ditulis oleh seorang yang saat ini kebetulan sedang ditugaskan oleh Allah untuk menjadi PLKB Kec. Sambong Kab. Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Sebuah "tugas" yang "aneh" baginya sehingga tak henti-hentinya ia coba temukan Kemauan di balik Kehendak-Nya (K2K) itu.