Maqaama-m-Mahmuuda

Wa mina-l-laili fatahajjad bihi naafilata-l-laka, 'asaa an yab'atsaka Rabbuka maqaama-m-mahmuuda.

Di Antara Kalimat-kalimat

Yang terpenting adalah apa yang tetap tak terkatakan, atau apa yang mungkin terbaca di antara kalimat-kalimat.

Anak Kehidupan

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu ... Mereka adalah putra-putri kehidupan ... Kau bisa berikan kasih sayangmu ... Tapi tidak pikiranmu.

Kesalingsepakatan dan Ketidaksepakatan

Jadi, sebuah telatah pas untuk seorang penulis muda mengembangkan diri adalah situasi penuh percakapan, diskusi, cara-cara menunjukkan kesalingsepakatan, dan yang paling penting adalah cara tidak bersepakat.

Kesetiaan + Keteguhan + Konsistensi = Cara + Bentuk + Jalan

Kesetiaan akan mengilhami cara. Keteguhan memberi petunjuk tentang bentuk-bentuk. Konsistensi melahirkan jalan.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Jangan biarkan daya mati jerat nurani. Jangan biarkan amarah membakar hati. Jangan biarkan keangkuhan menindas pekerti. Jangan biarkan bisikan setan meracuni diri. Jangan jumawa saat masih berkuasa. Jangan menepuk dada saat berjaya. Kejayaan itu fana kekuasaan itu hampa. Di atas langit masih ada langit..

Mendingan Setan

Kita memang harus berlindung kepada Tuhan dari orang-orang yang kepalanya pura-pura nyunggi Kitab Suci, yang bibirnya akting mencipok-cipoki ayat-ayatnya, tetapi itu semata-mata demi persekongkolannya dengan sang perut, kemudian mereka nanti bagi hasil dari penipuan-penipuannya. Orang yang begini masih mendingan setan atau demit.

Pasrah kepada Tuhan

"Menunduk-nunduk" itu bisa berarti sungguh-sungguh menunduk-nunduk, tetapi bisa juga berarti kekalahan dan kepatuhan di bawah suatu tiran kekuasaan yang tak semestinya dipatuhi ... Pasrah kepada Tuhan itu begitu nyaman. Ia sungguh-sungguh menyediakan kebahagiaan.

Saling ... Tanpa ... Tidak Akan ...

Persahabatan ini ... Tak lekang oleh waktu ... Saling memberi ... Tanpa rasa pamrih ... Saling menjaga ... Saling memahami ... Persaudaraan ini ... Lebih indah dari pelangi ... Saling mengingatkan ... Tanpa rasa benci ... Sahabat sejati ... Tak akan mengkhianati ....

Kebahagiaan

Kebahagiaan terbesar akan datang jika seseorang bertindak tidak demi kebahagiaan pribadinya.

Keberadaan

Mengingat (dan mencatat) yang sedang mereka perbincangkan adalah keberadaanku.

Alat dan Peluang, Kepekaan dan Pengetahuan

Angin tinggal menghembuskan cinta, pepohonan tinggal berdiri setia, tetapi manusia memiliki alat dan peluang untuk mengasah kepekaan dan pengetahuannya.

Di Tengah

Aku saat itu sedang belajar Memahami inti Kewajaran hidup dan kewajaran alam Berada di tengah-tengahnya Tidak merasa terjepit Tidak juga leluasa bergerak.

Ketahanan Terhadap Waktu

Kebiasaan-kebiasaan konsumtif membikin kita lebih banyak pasif. Langkah-langkah sering kurang kreatif-reputatif. Bahkan dalam menempuh cita-cita pun kalau bisa yang simpel saja. Jalan pintas. Praktis saja. Tidak mengeksplor pentingnya latihan ketahanan terhadap waktu.

Petarung Hidup

Kita bukanlah orang yang mudah menyerah ... Kita bukan orang yang mudah dikalahkan ... Kita pernah jatuh jatuh jatuh tersungkur ... Tapi bangkit lagi melangkah lebih pasti ...

Mudkhala Shidqin

Rabbii adkhilnii mudkhala shidqin wa akhrijnii mukhraja shidqin waj'alnii min-l-ladunka shulthaana-n-nashiira.

Qul!

Qul: Allahumma maalika-l-mulki tu'ti-l-mulka man tasyaa-u wa tanzi'u-l-mulka min-m-man tasyaa-u, wa tu'izzu man tasyaa-u wa tudzillu man tasyaa-u, bi yadika-l-khair, innaka 'alaa kulli syai-i-n-qadiir. Tuuliju-l-laila fi-n-nahaari wa tuuliju-n-nahaara fi-l-laili, wa tukhriju-l-hayya mina-l-mayyiti wa tukhriju-l-mayyita mina-l-hayyi, wa tarzuqu man tasyaa-u bighairi hisaab.

Mengolah

Di antara langit dan bumi: mengolah hidup; Di antara hitam dan putih: mengolah kepastian; Di antara suka dan duka: mengolah ketenangan; Di antara hidup dan mati: mengolah kegagahan..

Wednesday, October 31, 2012

Jurusan Ngarit


Jika Anda mempunyai seekor atau beberapa ekor kambing sehingga Anda berkewajiban untuk menyediakan rumput bagi kambing Anda tersebut dan rumput itu Anda dapatkan dengan cara memotongnya dengan sabit kemudian memasukkan genggam demi genggam rumput itu ke dalam karung atau keranjang, maka apa yang Anda lakukan itu disebut dengan ngarit.

Ngarit, jika diterjemahkan secara lebih luas ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti sebuah aktivitas mencarikan makanan bagi sesuatu yang di dalam sesuatu terkandung sebagian dari harapan kita. Pada kambing, harapan kita biasanya adalah bahwa kambing itu akan laku dijual dengan harga yang lebih besar dari harga beli, atau harapan lain yang lebih tinggi misalnya bahwa kambing tersebut akan kita "persembahkan" kepada Tuhan pada Idul Adha tahun depan.

Jadi, ngarit merupakan sebuah pekerjaan yang bernilai positif. Tetapi, seperti yang terkandung pada segala hal di dunia ini, ngarit pun tak lepas dari kemungkinan untuk dinilai negatif. Misalnya penggunaan kata "jurusan ngarit" yang sewaktu kuliah dulu sering kami pakai sebagai bahan olok-olok di mana yang diolok-olok adalah kami sendiri.

Istilah "Jurusan Ngarit" waktu itu lahir mungkin disebabkan oleh agak putus asanya kami dengan peluang ijazah kuliah kami di medan pertandingan lowongan pekerjaan setelah kelulusan kami. Mungkin juga istilah itu lahir dari cara kami menjalani hari-hari perkuliahan: seenaknya sendiri, persis seperti cah ngarit yang berangkat ke padang rumput dengan pakaian seenaknya.

Itu makna yang ada waktu itu. Tapi seiring berjalannya waktu, tiba-tiba kami dapati istilah yang bernilai negatif itu ternyata merupakan sebuah doa yang sebagian besar terkabulkan. Adapun yang belum terkabulkan, insya Allah akan segera menyusul yang sudah terkabulkan.

Kami berjumlah 25 orang. Hampir semuanya berasal dari Keluarga PraSejahtera atau setidaknya Keluarga Sejahtera 1. Bekal kami cuma dua: bahasa Arab/Inggris dan kemauan yang kuat untuk menuntut ilmu. tataplah wajah-wajah kami: wajah-wajah lugu yang seakan-akan tidak punya sedikit pun peluang untuk mengatasi persaingan yang didominasi oleh unsur keuangan dan kekeluargaan, kolusi dan nepotisme. Zaman seakan berkata kami, "Kalau engkau tak punya bokap, nyokap, paman, saudara, atau uang yang bisa mengantarkanmu memenangi persaingan, tahu dirilah."

Tetapi Tuhan mengatasi segala zaman. Tak bisa saya sebutkan satu persatu, tapi meskipun teman-teman saya itu tidak tahu kalau saya tahu, saya tahu bahwa sebagian besar kami, dalam waktu yang tidak lama dari kelulusan kami, berhasil memenangkan persaingan tanpa bantuan uang ataupun jaringan keluarga. Alhamdulillah saya getarkan, Karena keberhasilan-keberhasilan itu hampir semuanya "berbau" ngarit: menyediakan "makanan" untuk orang lain.

Sakura 225, 01 Nopember 2012 - 18:24

Tuesday, October 30, 2012

0,0



I
Jadwal Soleman hari ini adalah kunjungan ke rumah dua orang kader desa. Satu kader desa A, satunya lagi kader desa D. Sebuah kunjungan yang memerlukan tiga ketrampilan sekaligus: ketrampilan seorang atasan, ketrampilan seorang teman, dan ketrampilan seorang wartawan. Tapi sebelum berangkat ke tempat tujuan, terlebih dahulu Soleman berkunjung ke tempat fotokopi. Betapa kagetnya Soleman, seorang teman yang baru saja kemarin kembali berantar-terima pesan singkat setelah hampir enam bulan tak berhubungan, tiba-tiba saja berdiri di hadapannya yang baru saja duduk menikmati sebatang rokok sambil menanti pesanan fotokopiannya diselesaikan.

Terjadi perbincangan singkat yang intinya si teman akan berkunjung ke rumah kontrakan Soleman. Soleman mempersilahkan dengan sedikit “catatan”. Berhubung si teman harus segera melanjutkan perjalanan ke tempatnya mengajar dan Soleman pun juga harus segera melanjutkan perjalanan sesuai dengan jadwal kunjungan, pertemuan kembali yang membahagiakan itu pun sepakat untuk disudahi.

II
Usai kunjungan, Soleman kembali ke belakang meja kerjanya. Tiba-tiba seseorang datang menyampaikan titipan salam, “Mas, dapat salam dari si T dari Dinas P. Tadi saya dari kantor Dinas P, dan begitu tahu saya dari Kecamatan S, si T bertanya apakah di Kecamatan S ada pegawai bernama Soleman.”

Soleman bengong, “Darimana si T tahu aku ada di sini, sedangkan sudah hampir enam bulan tak ada komunikasi dalam bentuk apapun. Dan, atas dasar apa si T merasa perlu menyempatkan diri titip salam untuk orang yang tak pernah bisa mendatangkan keuntungan material sepertiku ini?”

Untung Soleman cepat menguasai diri. Seusai mengucapkan terimaksih, terjadilah perbincangan akrab antara Soleman dengan si pembawa titipan. Sebuah perbincangan akrab yang untuk pertama kali terjadi meski hampir tiap hari mereka bertemu.

III
Dalam hidup Soleman, Sesuatu nomor satu yang menjadi kebutuhannya adalah Tuhan. Nomor dua sampai dengan nomor sembilan sengaja tidak Soleman publikasikan dengan sejumlah alasan yang juga sengaja tidak ia publikasikan. Adapun sesuatu nomor sepuluh yang menjadi kebutuhan Soleman adalah teman. Maka sungguh merupakan sebuah kesedihan bagi Soleman ketika oleh beberapa keadaan dan beberapa kejadian ia terpaksa harus “melepaskan” untuk sementara sebagian besar teman.

Soleman sangat tidak sering menadahkan tangan ke langit. Tapi bukan berarti Soleman tak pernah berdoa. Bahkan, kalau ada orang yang mempunyai “kesaktian” berupa kemampuan “mengalir” dalam setiap gerak-batin orang lain, niscaya akan orang itu temukan kenyataan bahwa hampir setiap gerak-batin Soleman senantiasa didahului atau diiringi atau diakhiri dengan doa. Dan salah satu doa dalam gerak-batin itu adalah agar Tuhan berkenan “mengembalikan” teman-teman Soleman, atau sebaliknya, “mengembalikan” Soleman kepada teman-temannya.

Berdoa adalah membangun kedekatan. Tapi meski beberapa doanya terbukti terkabulkan, Soleman cukup tahu diri untuk tidak menyatakan diri bahwa dirinya adalah orang yang dekat dengan Tuhan. Ketika satu-persatu temannya “dikembalikan” kepadanya dengan cara-cara yang sedemikian tak terduga, Soleman sekadar menyebut “pengembalian” itu dengan “Keindahan dalam Kehendak-Nya”.

Bahkan, meskipun aku tak berdoa, kalau pengembalian itu sudah ada dalam tabung rahasia kehendak-Nya, ya kembalilah apa saja yang memang Ia kehendaki untuk kembali, kata Soleman kepadaku. Kita hanya perlu sedikit keteguhan untuk meladeni acak dan zig-zagnya perilaku waktu, sambung Soleman.

“Seperti yang baru saja terjadi dalam rentang waktu dua hari ini,” Soleman memulai kisahnya, “sudah hampir enam bulan aku tak lagi berhubungan dengan beberapa temanku yang masing-masingnya bertugas tingkat Kabupaten dengan tingkat gengsi dan popularitas Dinas yang jauh berada di atas posisi yang saat ini sedang kujalani. Aku tahu, melihat kondisiku saat itu, mereka bingung bagaimana untuk mengawali komunikasi denganku, dan sengaja kubiarkan kebingungan itu melanda mereka. Toh, sebesar apa sih hargaku bagi teman-temanku itu? Mereka pun tak akan merasa kehilangan orang yang tak punya cukup manfaat sosial seperti diriku ini. Dan sebaliknya, aku pun juga bukan jenis orang yang gembira jika di belakangku berdiri teman-teman yang bisa membuat orang lain segan atau bahkan takut kepadaku. Cukup Tuhan saja yang berada di belakangku. Maka jika aku berdoa agar “dikembalikan”, satu-satunya motivasiku adalah untuk mencari dan menemukan persaudaraan. Jangan pernah menyangka bahwa dudukku di warung-warung kopi atau di angkringan atau di pinggir-pinggir jalan atau di mana-mana bersama teman-temanku itu semata-mata demi kopi. Tidak. Sekali lagi tidak. Kopi bikinanku sendiri jauh lebih nikmat daripada kopi bikinan siapapun. Dan membunuh waktu, ah, sebenarnya aku jauh lebih betah membunuh waktu dengan cara menyusun kata-kata yang sudah lama kurencanakan untuk menjadi sebuah buku yang insya Allah layak terbit dan layak baca. Golek seduluran, sekali lagi kutegaskan, bahwa itulah motivasiku. Perihal efek-efek yang mungkin timbul dari motivasi itu, itu semua sama sekali tidak ada dalam skema pemikiranku. Jadi motivasi golek seduluran itu sesungguhnya tidak bisa disebut sebagai motif. Golek seduluran adalah kerja tanpa pamrih, adalah gerak tanpa kepentingan, adalah perdagangan tanpa perhitungan, adalah kesadaran terhadap kesamaan di tengah lautan fitrah perbedaan, adalah hidup dalam keutuhan, adalah lingkaran vertikal-horizontal, adalah 0,0.”

Sakura 225, 30 Oktober 2012 – 15:58

Sunday, October 28, 2012

NIP Atawa Nrimo Ing Pandum


Untuk sebuah kebutuhan, diundanglah Soleman ke kantor UPT. Undangan itu tidak main-main, sebab yang datang bukan sekadar kertas melainkan manusia. Bukankah penciptaan dan penugasan manusia dinyatakan oleh Tuhan sebagai tidak main-main?

Adapun kebutuhan pengundang tersebut di antaranya adalah untuk meminta bantuan memperbaiki komputer kantor UPT dan untuk mengajari dua orang tenaga honorer langkah-langkah mengerjakan MDK.

Tentang komputer rusak itu, sudah sejak lama Soleman membatin, “Kok ya kerasan bekerja dengan komputer nggak karuan macam itu.” Adapun tentang dua tenaga honorer yang minta diajari itu, Soleman pun membatin, “Beberapa waktu yang lalu mereka bilang bisa, kok sekarang minta diajari.”

Begitulah Soleman. Meskipun ia bukan penganut aliran kebatinan, ia terlalu sering membatin. Bahkan kedzaliman yang terang-terangan ditimpakan oleh orang lain kepadanya pun cukup sekadar ia batin. Tuhan lebih mendengar apa yang di batin daripada apa yang di lisan, barangkali itulah satu dari beberapa prinsip hidup Soleman.

Setelah kebutuhan-kebutuhan selesai dipenuhi oleh Soleman, Soleman mohon diri kepada “tuan rumah”. Tuan rumah, seperti yang lain, mengucapkan terimakasih. Sebuah ucapan yang hampir selalu tidak ditanggapi oleh Soleman, bukan karena soleman minta terimakasih dalam bentuk yang bukan sekadar ucapan melainkan karena Soleman merasa bahwa yang memenuhi kebutuhan itu bukan ia. Soleman hanya pelaku, pelaku tidak akan pernah lebih besar dari ilmu, dan ilmu tidak akan pernah lebih besar dari Sumber Ilmu. Berterimakasihlah kepada Tuhan, lagi-lagi Soleman membatin. Ya, berterimaksihlah kepada-Nya, salah satu caranya: Jangan cari keuntungan pribadi di atas kerugian orang lain!

Menjelang kepergiannya, salah seorang taun rumah melihat sepeda motornya, “Mengapa tidak kautukarkan saja sepeda motor ini dengan sepeda motor rekan kerjamu yang baru saja pensiun itu?”

Sebuah saran yang baik, tapi tidak perlu. Soleman tidak akan pernah meminta fasilitas kepada siapapun. Apalagi kalau fasilitas itu bedanya hanya ada pada bentuk dan tampilan. Maka Soleman menjawab, “Tidak, Pak. Pokoknya sepanjang sepeda motor yang ini masih layak pakai, saya tidak akan pernah meminta ganti yang lebih baik.”

Ada segurat ekspresi kaget di dahi si pemberi saran. Sebuah kekagetan yang kemudian ia netralisir dengan sebuah pernyataan, “Iya ya, Mas, Nrimo Ing Pandum saja, ya.”

Jenengan menyebutnya sebagai Nrimo Ing Pandum, tapi saya menyebutnya sebagai syukur,” kali ini Soleman tidak sekadar membatin.

Sakura 225, 28 Oktober 2012 – 16:41

Nota Kosong


Ketika ketidakberesan jiwa menjadi budaya, dari budaya individual menjadi budaya komunal bahkan global, pada saat itu pula lubang-lubang kebohongan, kepalsuan, dan keserekahan terbuka. Dan menganga. Siap menelan siapa saja.

Soleman tidak pernah merasa merencanakan terjadinya persitiwa yang menghasilkan kesimpulan tersebut. Tetapi yang terjadi, terjadilah. Dengan tujuan mengarsipkan, pergilah Soleman ke sebuah tempat fotokopi. Lembar-lembar laporan dan SPJ yang akan ia berangkatkan ke induknya siang nanti haris terlebih dahulu ia fotokopi. Tidak begitu banyak, sehingga Soleman hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp. 5000,-.

Dengan tidak mengutamakan tujuan mendapatkan ganti, kepada tukang fotokopi yang tak lain adalah tetangga Soleman dan adalah juga seorang mantan santri sebuah pesantren yang namanya tidak main-main, al-Muhammad, Soleman meminta nota.

Tentu saja tukang fotokopi kaget karena sebelum-sebelumnya Soleman tidak pernah meminta nota. Tetapi hal ini bisa dijelaskan secara sederhana: sejak satu-satunya rekan kerjanya pensiun, segala urusan yang berkaitan dengan dana beserta uangnya dikelola dan dipegang oleh Soleman sendiri. Artinya, sebelum satu-satunya rekan kerja Soleman itu pensiun, Soleman senantiasa nomboki, sehingga buat apa meminta nota kalau kondisi keuangan sengaja digelapkan oleh satu-satunya rekan kerja Soleman itu—buat apa memberi cahaya kepada orang yang merasa nyaman berada dalam dekapan kegelapan.

Kekagetan tukang fotokopi berlangsung sejenak saja, kemudian dengan gerak reflek ia sodorkan kepada Soleman sebuah nota kosong. Di atas nota itu hanya ada tanggal dan stempel. Soleman tersenyum, “Lima ribunya tolong dituliskan sekalian.”

Tukang fotokopi yang baru sejenak lepas dari kekagetan itu akhirnya terkaget kembali, “Nggak kosongan saja, nanti jumlahnya sampean isi sendiri. Orang-orang biasanya begitu.”

Soleman lagi-lagi tersenyum, “Lima ribu ya lima ribu, dan kalau saya sendiri yang mengisi, lima ribu itu tidak mustahil berubah menjadi lima puluh ribu, lma ratus ribu, atau lima juta. Transaksinya pun bisa jadi tidak hanya fotokopi tapi juga beli mesin foto kopi.”

Sakura 225, 28 Oktober 2012 – 16:16

Friday, October 26, 2012

Masa Depan, Tuhan (1)


Aku ini kere yang sering diunggahke ke bale. Maksudku, sejak kesadaranku tentang hidup mulai mencapai tingkat yang sedikit berbeda dari kesadaran yang sebelumnya, kutemukan kenyataan bahwa tidak hanya sekali dua kali kudapatkan kenikmatan-kenikmatan yang sama sekali tidak pernah kubayangkan. Di samping itu, kenikmatan-kenikmatan tak terbayangkan itu sama sekali di luar rencana jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjangku. Juga di luar segala langkah-langkahku.

Kusebut diriku ini kere karena nyatanya aku ini hanya anak sepasang guru (agama) yang karirnya berhenti di II/a karena dimutasi ke sebuah dunia yang segala atribut dunia (selain amal shalih) tiada lagi berguna. Karena selesai di II/a, uang pensiunan yang diwariskan kepadaku pun hanya cukup untuk sekadar makan dengan jenis dan pola makan yang juga sekadarnya.

Saudara-saudara kandungku? Ketujuh-tujuhnya dalam pemahaman yang sama bahwa mereka tidak berhak atas warisan pensiunan itu, meskipun ketujuh-tujuhnya, waktu itu, sedang dalam kondisi ekonomi yang sekadar cukup untuk makan sekadarnya.

Pensiunan II/a di masa lalu tidak sama dengan II/a di masa sekarang apalagi II/a di masa depan. Bahkan untuk biaya Sekolah Menengah Pertamaku, satu dari tujuh saudaraku merelakan sebagian besar dari pendapatannya yang kecil untuk menutupnya. Jadi sungguh sebuah kenekadan jika saudaraku ini pada suatu hari menanyaiku, “Jadi melaksanakan cita-cita ibu, atau masuk SMA saja?”

Yang dimaksud saudaraku sebagai cita-cita ibu adalah Gontor. Ya, aku sendiri menjadi saksi bahwa pada suatu senja ibuku berkata kepada seorang tetangga, “Anakku yang bungsu akan kusekolahkan di Gontor.”

Nekad, ya, nekad. Karena nama besar Gontor juga sebanding dengan biayanya yang lumayan besar, setidaknya menurut ukuran kondisi ekonomiku saat itu. Karena itulah aku memilih untuk masuk SMA saja. Aku tak akan pernah bisa sengaja tega menjadi sumber derita bagi sesama manusia, apalagi bagi saudara kandungku sendiri.

Satu bulan beseragam putih abu-abu, di kepalaku ada sesuatu yang bukan aku. Akibatnya, aku tak masuk sekolah selama dua minggu. Di kemudian hari baru kusadari betapa dewasa dan bijaksananya saudara kandungku yang satu ini. Tampaknya dia begitu percaya bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Sang Waktu. Atau barangkali waktu itu ia memang sudah tahu bahwa sedang ada sesuatu di dalam kepalaku yang bukan aku.

Selama dua minggu itu, tak sekalipun ia memarahiku. Ia hanya bertanya mengapa aku tidak masuk sekolah, dan ketika kujawab bahwa aku tak lagi bersemangat memakai seragam putih abu-abu, dia diam saja. Setelah genap dua minggu, baru saudaraku ini kembali menanyaiku, tepatnya memberiku pilihan: terus berseragam putih abu-abu atau pindah ke Gontor.

Aku ingin memilih yang terakhir, tapi jelas itu tak mungkin. Sehingga kemudian aku mengambil pilihan ketiga: aku akan pindah ke sebuah pesantren yang bukan Gontor; tepatnya sebuah pesantren yang tidak membutuhkan banyak biaya atau gratis. Dia diam. Bahkan ketika aku berangkat ke pesantren yang gratis itu, dia juga diam. Seakan-akan ia sudah tahu bahwa bukan pesantren semacam itu yang “digariskan” untukku menuntut ilmu.

Satu bulan kemudian, benarlah dia dengan segala visinya. Aku tak kerasan dengan situasi yang aneh dan membingungkan yang menjadi kultur di pesantren gratisan itu. Aku ini ingin mempelajari ilmu agama, bukan ingin menjadi orang sakti apalagi menjadi dukun.

Aku melarikan diri dari pesantren yang tak jauh beda dengan perguruan silat Kera Sakti atau dengan Persaudaraan Setia Hati Winongo, dua “pesantren” yang mana aku pernah sebentar menjadi santri di dalamnya. Dalam pelarian diriku, saudara kandungku ini “menangkapku” dan menggiringku ke pinggir lapangan sepakbola yang di kemudian hari kuketahui bahwa itu adalah lapangan sepakbola Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Sebuah lapangan yang di kemudian hari juga menjadi tempat yang sering kukunjungi di bawah bendera Darma Jaya FC, satu dari empat klub sepakbola resmi Gontor di samping Meteor, Newputra, dan Darussalam.

Maka selamat tinggal putih abu-abu. Selamat tinggal pula pesantren yang aneh nan membingungkan. Dan persetan dengan kondisi ekonomi yang cuma cukup untuk sekadar makan. Sebuah ketetapan hati yang di kemudian hari dikuatkan oleh petuah Kyai Hasan, “Orang yang niatnya murni menuntut ilmu, rezekinya dijamin oleh Allah.”

Sakura 225, 25 Oktober 2012 – 23:54

Wednesday, October 24, 2012

Yang Sedikit Dosanya


Pukul 13.30. Usai melepas sepatu dan berwudhu, iqamat lirih saya lantunkan. Di dalam mushala kantor yang dengan sengaja diletakkan di bagian paling ekor gedung kantor dan berdampingan dengan kamar mandi itu hanya ada saya dan seorang teman saya yang datang ke kantor “induk” dari wilayah yang berbeda namun dengan keperluan yang sama: mengumpulkan lembar-lembar laporan dan SPJ.

Setelah iqamat lirih selesai saya lantunkan, di luar dugaan saya, teman saya yang lima tahun lebih tua dari saya, sudah beranak dua, dan yang juga salah seorang tokoh penting NU di wilayahnya itu mendorong saya ke depan.

Dia : Yang sedikit dosanya yang semestinya menjadi imam.

Saya : Sampean itu ada-ada saja. Memangnya, tentang kualitas dan kuantitas dosa; tentang banyak-sedikitnya dosa, ada manusia yang mengetahuinya?

Akhirnya, entah untuk kali yang ke berapa, dia menjadi imam saya. Dan tak pernah satu kali pun saya pernah menjadi imamnya. Hal ini bukan karena saya tidak cukup mampu menjadi imam, tetapi setiap kali berurusan dengan orang-orang NU, saya selalu merasa malu untuk “berjalan” di depan mereka. Bukankah orang-orang NU selalu lebih benar dari orang-orang non-NU apalagi dari orang-orang yang tidak NU dan tidak non-NU seperti saya ini.

Tapi di luar rasa malu saya itu, saya sungguh bersyukur mempunyai teman seperti dia. Seorang teman yang dari balik selimut tebal NU masih bersedia memandang benar-salah dan pahala-dosa secara lebih adil. Dari balik selimut tebal itu ia tahu bahwa memalsu tandatangan, membodohi masyarakat, menyakiti pikiran-perasaan, dan menelan hak orang lain adalah jauh lebih besar dosanya daripada tidak qunut Shubuh dan tidak mengikuti kenduri.

Kantor Selatan BPMPKB Blora, 22 Oktober 2012

Orang Tunggangan

Saya : Kelompok yang kemarin dikumpulkan dan dikunjungi oleh tim dari Propinsi itu sebenarnya aktif atau tidak? 

Dia : Saya sebenarnya tidak termasuk dalam kelompok itu. Saya ini Cuma dijadikan bempernya orang yang berkepentingan dalam hal itu. Jadi kalau ada kegiatan-kegiatan tertentu terkait eksistensi kelompok tersebut, partisipasi saya adalah agar kelompok itu seolah-olah ada. 

Saya : Jadi, Anda, juga kelompok tersebut, baru akan ada kalau sedang ada pantauan atau kunjungan dari “atas”? 

Dia : Ya begitulah kurang dan lebihnya. Zaman sekarang ini, Mas, kerja harus “seperti itu”. Kalau tidak, orang-orang macam kita ini, apalagi orang-orang macam saya ini, hanya akan menanggung resiko: ditunggangi. 

Halaman Kantor Kecamatan Sambong, 15 Oktober 2012

Mengada-ada


Saya mendengar seseorang di dekat saya sedang bercakap-cakap lewat HP. Dalam Percakapan yang entah dengan siapa itu, yang sedang dibahas tampaknya adalah tentang pengadaan seragam baru di mana “mereka” menjadi berkewajiban untuk membayar.

Dia : Biar mereka datang dan melihat dan menentukan sendiri. Nanti kalau saya yang menentukan, saya khawatir mereka akan menuduh saya mengada-ada.

Saya : (Dalam hati) Tentu saja apa yang engkau khawatirkan itu wajar adanya, karena mereka tahu dan sudah cukup bukti bahwa engkau sudah terlalu sering mengada-ada, khususnya mengada-ada dalam rangka meraup keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan bersama atau kegiatan instansi.

Belakang Meja Kerja, 15 Oktober 2012

Saturday, October 20, 2012

Download Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI)


Download Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam
Semester I


Download Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam
Semester II


Download Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam
Semester III

1. Tafsir Hadits - Materi Kuliah PAI
2. Psikologi Perkembangan Peserta Didik - Materi Kuliah PAI
3. Sosiologi Pendidikan - Materi Kuliah PAI
4. Statistik - Materi Kuliah PAI
5. Ushul Fiqh - Materi Kuliah PAI
6. Manajemen Pendidikan - Materi Kuliah PAI

Download Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam
Semester IV

4. Fiqh


Download Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam
Semester V


---------------------------------------------------------------

*Catatan (ujung kuku ibu jari) Kaki: Link download tersebut di atas hanyalah republish dari sini.
 

Menuju Wujud



Dalam sujud
Aku hilang wujud
Dari balik gelap kabut
Datangmu kusambut

Dalam gelap kabut
Engkau hilang wujud
Menjelma suara lembut
Namaku kausebut

Aku dan engkau bersujud
Di dalam gelap kabut
Dengan selamat datang mari kita sambut
Aku dan engkau  menuju wujud

Sakura 225, 20 Oktober 2012 – 03:03

Tetap Saja


Di dalam syahadat 
Mereka tetap saja 
Tak percaya 
Bahwa Engkau ada sebagai satu-satunya 

Di dalam syahadat 
Mereka tetap saja 
Menuhankan manusia dan sebagainya 
Padahal Muhammad menyebut diri sebagai hanya 

Di dalam Idul Adha 
Mereka tetap saja 
Berlomba 
Yang terbanyak kambingnya yang menjadi juara 

Di dalam Idul Adha 
Mereka tetap saja buta 
Kambing jadi lebih penting dibanding 
Ketauhidan Ibrahim dan kesabaran putranya 

Sakura 225, 20 Oktober 2012 – 02:46

Kriminalisasi Penafsiran

Dia : Saya perlu bersiap-siap untuk menjadi khatib Shalat Id (‘Id Adha). Apakah engkau mempunyai buku kumpulan khutbah? 

Saya : Tidak. Saya senantiasa berusaha menyusun sendiri kalimat-kalimat yang akan saya sampaikan kepada orang lain. Kalimat-kalimat yang senantiasa lahir dari rahim Pengetahuan-Pengalaman atau Pengalaman-Pengetahuan, kanak-kanak di alam Perenungan, dewasa di alam Pemahaman, dan kemudian tua di alam Penyampaian. 

Dia : Baiklah, kalau begitu saya akan mencoba untuk menyusun naskah khutbah sendiri. Untuk temanya, bagaimana kalau kisah perintah penyembelihan Ismail saya hubungkan dengan perintah untuk mentaati orang tua? 

Saya : Tidak bisa. Itu namanya hubungan yang dipaksakan. Bisa juga disebut sebagai kriminalisasi penafsiran. Tidak, sekali-kali tidak. Ismail berkata, “Jika itu memang perintah Allah, laksanakanlah, sehingga semoga aku termasuk sebagai orang yang sabar.” Perhatikan: “Jika itu memang perintah Allah”. Jadi yang ditaati oleh Ismail bukan bapaknya, melainkan Allahnya. 

Dia tertegun. Saya terkejut. Di atas jelas bukan kata-kata saya. Jadi siapakah yang menggerakkan lisan saya?

Tukbuntung, 18 Oktober 2012

Sunday, October 14, 2012

Penyakit Dalam

"Hampir saja Umayyah bin Abi ash-Shalt masuk Islam."

Lantunkan lagi, lantunkan lagi, lantunkan lagi. Demikian Muhammad saw. meminta asy-Syayid yang saat itu sedang diboncengnya di atas punggung unta untuk meneruskan lantunan bait-bait puisi Umayyah bin  Abi ash-Shalt. Setiap kali asy-Syayid berhenti pada satu bait, Muhammad saw. memintanya untuk meneruskan ke bait berikutnya, bait berikutnya, dan bait berikutnya hingga genap asy-Syayid melantunkan seratus bait puisi Umayyah bin Abi ash-Shalt.

Siapakah Umayyah bin Abi ash-Shalt dan sekuat apakah puisinya hingga Muhammad saw. berkenan meluangkan waktu untuk menikmati seratus bait puisinya?

Jika ada waktu luang, cobalah tanyakan pertanyaan di atas kepada beberapa kyai di sekitar Anda. Dan kemungkinan terbesar jawaban yang akan Anda dapatkan adalah gelengan kepala. Atau angkatan bahu: mana gua tahu?

Kitab Sahih Muslim pun tidak menyediakan ruang untuk menjawab pertanyaan di atas. Inilah alasan mengapa sikap terbaik adalah keterbukaan; kemauan untuk menelaah segala sesuatu tidak hanya dari satu sumber. Sebuah sikap dan kemauan yang akan mematangkan dan mendewasakan pengetahuan.

Menilik kepada riwayat lain di mana Muhammad saw. begitu kecewa kepada seorang khatib yang menganggap sepele pemilihan kata di mana "Allah dan Rasul-Nya" diringkas menjadi "keduanya", bisa didapatkan simpulan bahwa ketauhidan lah yang membuat Muhammad saw. berkenan meluangkan waktu untuk mendengarkan seratus bait puisi Umayyah bin Abi ash-Shalt.

Karena seratus bait puisi Umayyah bin Abi ash-Shalt itu memuat hasrat yang kuat terhadap ketauhidan. Satu di antaranya adalah apa yang oleh Muhammad saw. disebut sebagai ucapan penyair yang paling benar: Ketahuilah, apa saja selain Allah adalah bathil.

Maka, di situlah letak kekuatan puisi  Umayyah bin Abi ash-Shalt: tauhidullah.

Lantas bagaimana dengan Umayyah bin Abi ash-Shalt, pencipta seratus bait puisi itu? Muhammad saw. menyebutnya dengan "iman lidahnya kafir hatinya". Fakta bahwa Muhammad saw. lah yang dipilih menjadi rasulullah dan bukannya dia membuat Umayyah bin Abi ash-Shalt dijangkiti penyakit dalam berupa iri dan dengki. Pengetahuan yang ia dapat dari kitab-kitab ahli kitab tentang akan datangnya seorang utusan Allah membuat ia berharap bahwa dialah utusan itu.

Ketika ternyata Muhammad saw., limpahan pengetahuan ternyata gagal membuat Umayyah bin Abi ash-Shalt berendah hati untuk mengakui Muhammad saw. sebagai Nabi. Sia-sialah seratus bait puisinya yang dikagumi kekuatannya oleh Muhammad saw. di kemudian hari.

Jadi begitulah. Kebenaran adalah sesuatu yang sebenarnya bisa dilihat oleh siapapun. Hanya saja, kebanyakan kita memilih untuk menjadi Umayyah; memilih untuk menderita "penyakit dalam".

Sakura 225, 14 Oktober 2012 - 23:22

Tabungan Kemenangan


Dengan menyatu diri dalam putaran
Tak pernah akan kukuatirkan
Tentang segala yang diakhirkan
Sebagaimana tak pernah kupintakan
Agar segalanya diawalkan

Dengan menyeru diri lewat getaran
Tak pernah akan kutanyakan
Tentang segala yang dirahasiakan
Sebagaimana tak pernah kusebarkan
Rahasia yang pada ubun-ubunku ditancapkan

Dengan mengaku diri sebagai ketiadaan
Tak pernah akan kukembalikan
Segala yang kepada diriku pernah dilemparkan
: Kepada waktu batu-batu kutabungkan
Tanpa batu waktu-waktuku dimenangkan

Sakura 225, 14 Oktober 2012 – 00:42

Saturday, October 13, 2012

Benih Muhammad


Empat lebih seperempat
Dan lembar-lembar baju disengat
Dalam hangat tertumpuk beberapa lipat
Dan gerak menyisakan keringat

Seperempat lebih seperempat
Semangkok makanan instan disikat
Dalam lapar ditemukan nikmat
Dan serakah tidak mendapat tempat

Wahai jiwa yang dewasamu tebarkan pikat
Tidak di bibir kutanam shalawat
Tapi di suatu tempat yang tak terlihat
Bukankah menanam benih adalah
Meletakannya di bawah kerapatan tanah?

Sakura 225, 13 Oktober 2012 – 17:07

Tuesday, October 9, 2012

Khianat


Setelah mengucapkan salam, Khubaib bin Adi bergumam, “Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka semua, dan janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara mereka tetap hidup.”

Kemudian Khubaib melantunkan syair:

Berbagai kekuatan telah berkumpul di sekitarku
Dan memanggil kabilah-kabilah mereka
Mereka mengumpulkan anak-anak dan wanita mereka
Dan aku didekatkan ke tiang tinggi yang dijaga
Kepada Allah aku mengadukan keterasingan dan kesedihanku
Serta kematianku yang diinginkan banyak orang
Wahai Dzat Pemilik Arsy! Sabarkanlah aku atas apa yang diinginkan dariku
Mereka memotong-motong badanku dan sudah tidak ada lagi keinginanku
Mereka menyuruhku memilih antara kekafiran dan kematian
Sungguh kedua mataku menangis tanpa air mata
Aku tidak peduli ketika aku dibunuh selama dalam keadaan muslim
Di belahan bumi mana pun aku mati di jalan Allah
Itu semua di jalan Allah, bila Ia berkehendak,
Ia memberkahi tubuhku yang dipotong-potong


Sebagian besar anggota pasukan pemanah memilih untuk menolak taat. Dari atas bukit mereka melihat betapa menggiurkannya rampasan perang. Takut tak kebagian, mereka pun turun. Sebuah sebab yang berakibat fatal. Namun juga sebuah sebab yang mendatangkan limpahan hikmat.

Mengenang Uhud adalah mengenang kalahnya kebenaran dalam sebuah pertandingan “terbuka”. Pertandingan yang jelas bahwa itu memang sebuah pertandingan. Sehingga mengenang Uhud adalah juga mengenang kemenangan sikap fair play atas kebenaran sekaligus atas ketidakbenaran.

Adapun jika kemudian pasukan Muhammad dinyatakan kalah oleh sejarah, sesungguhnya kekalahan itu bukan untuk merendahkan, melainkan sebuah metode ekstrim dari-Nya dalam rangka memilah dan memastikan tentang siapa yang benar-benar Muslim dan siapa yang ternyata munafik. Sejatinya Muslim akan memandang “kekalahan” itu sebagai ujian “kenaikan kelas” sehingga tetap teguh mentaati Muhammad, dan sebaliknya, Sejatinya Munafiq akan memandang “kekalahan” itu sebagai pembenaran terhadap kebukan mukminan yang bercokol dalam hati busuk mereka.

Maka kalah di Uhud bukanlah sebuah masalah. Bukankah mengakui kesalahan sekaligus mengakui kekalahan dalam sebuah “pertandingan” yang adil adalah perwujudan sikap jantan? Dan ujian, bukankah itu merupakan konsekuensi keMusliman?

Maka Muhammad tidak gundah meski “kekalahan” di Uhud itu demikian “dahsyat”. Kegundahan muncul justru ketika enam orang sahabat yang berangkat menunaikan amanat justru dibunuh oleh kelompok yang meminta kehadiran mereka sebagai pengajar agama bagi orang-orang dalam kelompok mereka.

“Ini merupakan awal pengkhianatan,” kata sahabat ketiga ketika ia tetap menolak untuk menyerahkan diri sebagai tawanan. Empat sahabat dibunuh di tempat (ar-Raji’), sementara Khubaib bin Adi dan Zaid bin Ad-Datsinnah ditawan untuk dibunuh di tempat lain (Mekkah).

Peristiwa (baca: pengkhianatan) serupa juga terjadi di tempat lain. Tujuh puluh sahabat dikirim ke Najd atas permintaan penduduk Najd sendiri yang meminta dikirimkan kepada mereka pengajar-pengajar agama. Dalam perjalanan menuju Najd, tepatnya di Bi’r Ma’unah, pembantaian terjadi. Kecuali Ka’ab bin Zaid bin an-Najjar yang berpura-pura mati, tak ada yang selamat dalam pembantaian berbasis siasat dan khianat ini.

Dari tuturan sejarah ditemukan adanya perbedaan sikap Muhammad antara sikapnya terhadap “kekalahan” di Uhud dengan “kekalahan” di ar-Raji’ dan Bi’r Ma’unah. Sebuah perbedaan sikap yang menunjukkan kegundahan Muhammad terhadap aplikasi dan konsekuensi dari sikap khianat.

Tidak seperti usai “kekalahan” di Uhud, usai tragedi ar-Raji’ dan Bi’r Ma’unah, tiga puluh Shubuh berturut-turut Muhammad memanjatkan doa Qunut: “Ya Allah! Selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang mukmin yang lemah! Dahsyatkanlah tekanan-Mu terhadap kabilah Mudharr, dan jadikanlah tahun-tahun mereka seperti tahun-tahun derita yang dialami oleh Yusuf. Ya Allah! Kutuklah suku Ri’lan, suku Dzakwan, dan suku Ushaiyyah, karena mereka mendurhakai Allah dan rasul-Nya.”

Sebagai respon terhadap kegundahan Muhammad yang terwujud dalam doa Qunut tersebut, turunlah Ali Imran ayat 128: Kamu tidak berwenang sedikitpun mencampuri urusan itu, karena mungkin Allah akan menerima tobat mereka atau menyiksa mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang dzalim.

Maka berhentilah Qunut. Maka bergantilah gundah menjadi pasrah. Maka berjayalah orang-orang yang pasrah atas orang-orang dzalim. Secermat apapun tipu muslihat diprogram dan diaplikasikan oleh orang-orang khianat.

Sakura 225, 9 Oktober 2012 – 21:33

Sunday, October 7, 2012

Satu dari Beberapa Riwayat tentang Bacaan dalam Shalat


حدثنا محمد ابن أبى بكر المقدمى. حدثنا يوسف الماجشون. حدثنى أبى عن عبد الرحمن الأعرج، عن عبيد الله بن أبى رافع، عن علي بن أبى طالب، عن رسول الله صلى الله عليه و سلم؛ أنه كان إذا قام إلى الصلاة قال ((وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِى فَطَرَ السماواتِ و الأرْضِ حنِيْفاً و ما أنا مِن المشركين. إنّ صلاتى و نُسُوكِى و مَحْياىَ و مماتِى لله رب العالمين لا شريك له و بذلك أُمِرْتُ و أنا من المسلمين. اللهم أنت المَلِكُ لا إله إلا أنت. أنت ربِّى و أنا عبدُك. ظلمْتُ نفْسِى و اعْترفْتُ بذنْبِى فاغْفِرْلى ذُنُوْبِى جمِيْعا. إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت. و اهدنى لأحسن الأخلاق لا يهدى لأحسنها إلا أنت. و اصْرِفْ عنِّى سيِّىءَها لا يَصْرْفُ عنى سيىءها إلا أنت. لبيك! و سعديك! و الخيرُ كلُّه فى يديك. و الشر ليس إليك. أنا بك و إليك. تباركت و تعاليت. أستغفرك و أتوب إليك)).

و إذا ركع قال ((اللهم لك ركعتُ! و بك آمنْتُ. و لك أسلمتُ. خشَع لك سمْعِى و بصَرى و مُخـِّى و عَظْمِى و عَصَبى)).

و إذا رفع قال ((اللهم! ربنا لك الحمد مِلْءَ السماوات و ملء الأرض و ملء ما بينهما و ملء شِـئْتَ مِن شىءٍ بعْدُ)).

و إذا سجَد قال ((اللهم! لك سجَدْتُ. و بِك آمنت. و لك أسْلمْت. سجَد وجْهى للذى خلَقهُ و صوّرهُ، و شَقَّ سَمْعَه و بصَره. تبارك الله أحسنُ الخالقين)).

ثم يكون من آخر ما يقول بين التشهد و التسليم ((اللهم! اغْفرلى ما قدَّمْتُ و ما أخرت. و ما أسررْت و ما أعلنْت. و ما أسرفْت. و ما أنت أعلم به منى. أنت المُقدِّمُ و أنت المؤخِّر. لا إله إلا أنت)).

***

صحيح مسلم للإمام أبى الحسين مسلم بن الحجاجالقشيرى النيسابورىّ. الجزء الأول. 1991. بيروت: دار الكتب العلمية. ص. 534-536. 
***

Muhammad bin Abi Bakr al-Muqaddami – Yusuf al-Majisyun – Bapaknya Yusuf al-Majisyun – Abdurrahman al-A’raj – Ubaidillah bin Abi Rafi’- Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah saw., bahwasanya ketika beliau berdiri melakukan shalat beliau mengucapkan: “Kuhadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan beberapa langit dan bumi dengan penyerahan diri sepenuhnya, dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibdahku, hidupku, matiku, adalah bagi Allah, Tuhan alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku diperintahkan demikian itu, serta aku aku adalah golongan orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Ya Allah! Engkaulah Maharaja, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau Tuhanku, aku hamba-Mu, aku telah berbuat dzalim terhadap diriku sendiri, aku akui dosaku, maka ampunilah segala dosaku, karena tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Bimbinglah aku kepada sebaik-baik akhlak, karena tidak ada yang membimbing ke arah itu kecuali Engkau. Hindarkanlah aku dari dari sejelek-jelek akhlak, karena hanya Engkaulah yang kuasa menghindarkannya. Aku datangi panggilan-Mu, sedangkan kejelekan tidak berasal dari-Mu.Aku ada karena-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Maha Suci Engkau, aku memohon ampunan dan bertobat kepada-Mu.”

Apabila beliau rukuk, beliau mengucapkan, “Ya Allah! Aku rukuk kepada-Mu, aku beriman dengan-Mu, aku berserah diri kepada-Mu. Pendengaranku, penglihatanku, pikiranku, tulangku, dan semua anggota tubuhku merunduk kepada-Mu.”

Ketika bersujud beliau mengucapkan, “Ya Allah! Kepada-Mu aku bersujud, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Tuhan yang telah menciptakan wajah, yang telah membuat pendengaran dan penglihatan di kepala. Maha Suci Allah, Dia-lah sebaik-baik pencipta.”

Kemudian di akhir antara tahiyyat dan salam beliau mengucapkan, “Ya Allah! Ampunilah dosa yang telah dan belum aku perbuat, dosa yang samar dan dosa yang jelas, dosa karena aku berbuat melampaui batas, dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkaulah yang mengakhirkan. Tiada Tuhan selain Engkau.
      

Ketika Pemeluk Ketakutan kepada yang Dipeluk: Refleksi terhadap Bunyi “keTuhanan, dengan Kewadjiban Mendjalankan Sjari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknja”

Tak ada yang perlu disesali dari sejarah. Sebesar dan separah apapun kebenaran dalam sejarah itu telah diubah. Demi kepentingan segelintir rubah. Demikianlah selayaknya sikap kita, terutama umat Islam, terhadap Piagam Jakarta. Meskipun yang telah diubah itu sebenarnya bisa kembali diubah ke arah yang tepat.

Arah yang tepat dan bukannya arah yang benar, karena isi Piagam Jakarta itu sebenarnya sudah benar. Ke Tuhan, ke manusia, ke rakyat sudah tercantum di sana. Maka Piagam Jakarta benarlah sudah. Apalagi, dalam rangka ke Tuhan; dalam rangka menuju Tuhan, metode menuju-Nya pun disertakan: dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja.

Piagam Jakarta sudah benar namun kemudian menjadi kurang tepat seiring diadakannya perubahan dengan menghapus metode menuju Tuhan. Padahal, negeri dengan penduduk mayoritas pemeluk Islam ini bisa dipastikan bahwa tidak seluruh penduduknya yang memeluk Islam tahu “cara menuju Tuhan”.

Alhasil, jadilah Indonesia seperti sekarang: terombang-ambing, melayang-layang.

Ada yang menyatakan bahwa penghapusan (baca: perubahan) itu demi Persatuan Indonesia. Argumentasi ini benar, tapi tidak tepat. Sesungguhnyalah yang mempersatukan Indonesia adalah Islam, dan bukan nasionalisme. Belanda datang dengan tujuan utama tidak untuk menjajah dan menjarah kekayaan alam Indonesia, melainkan untuk menjajah dan menjarah keyakinan terdalam mayoritas rakyat Indonesia: Islam, sehingga perlawanan terhadap Belanda pun, jika dipelajari lebih mendalam, lebih berbasis semangat “jihad” daripada semangat nasionalisme. Dari Perang Badar rakyat Islam Indonesia belajar bahwa kedzaliman harus dilawan dan bahwa kecanggihan senjata dan jumlah pasukan bukan faktor utama penentu kemenangan.

Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan Persatuan Indonesia.

Tapi “kehatia-hatian” para founding father Indonesia tampaknya lupa kepada sungguh-sungguhnya kenyataan tersebut. Akhirnya, akar “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” pun tercabut. Sehingga kini keadaan Indonesia bagai gajah bermental semut.

Yang menyedihkan, ketika “akar” tersebut coba dikemukakan faktanya di kemudian hari, sekelompok pemeluk Islam mati-matian membela keputusan penncabutan akar tersebut. Dengan dalih yang tidak lebih canggih dari dalih dulu kala: demi Persatuan Indonesia.

Tidak berhenti di situ, “sekelompok” yang ternyata berjumlah sangat besar itu bahkan balik melabeli pihak-pihak yang mencoba mengembalikan “akar” itu ke tempat semula dengan label “perlu diwaspadai”.

Mulialah “sekelompok” itu atas kewaspadaan mereka terhadap pihak-pihak yang mereka anggap sebagai perongrong Persatuan Indonesia.

Tetapi, sudah tepatkah kewaspadaan “sekelompok” itu, “sekolompok” yang nyatanya adalah pemeluk Islam? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa “kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” sama sekali tidak bersinggungan dengan Persatuan Indonesia? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu, bahwa “kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu “Negara Islam”? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa mereka sesungguhnya telah tertipu dan terpengaruh oleh isu-isu dan propaganda-propaganda anti Islam yang salah satu bentuknya berupa lahirnya terorisme yang tak lain adalah hasil persetubuhan Polisi Dunia dengan Pelacur Bangsa? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa Persatuan Indonesia, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, justru hanya bisa terwujud dengan sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya jika pemeluk-pemeluk Islam “dikenai” kewajiban untuk menjalankan syariat Islam?

Pada sebagian besar hari, saya berada di tengah-tengah para aparat Pemerintah Republik Indonesia. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan bahwa hanya saya sendiri dari sekian banyak aparat itu yang berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat Dhuhur. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan aparat-aparat itu mencuri di siang hari. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan aparat menipu rakyat. Pada sebagian besar hari pula saya mendengar aparat-aparat itu menceritakan kisah perzinaan mereka, juga kisah perzinaan aparat yang lain.

Ironisnya, aparat-aparat yang saya saksikan dan saya dengarkan itu, berdasarkan KTP, semuanya pemeluk Islam.

Mendirikan shalat, tidak “mencuri”, tidak menipu, tidak semena-mena, tidak berzina, merupakan bagian dari syariat islam yang diwajibkan bagi pemeluk-pemeluknya. Jadi, kalau “sekelompok” itu takut setengah mati kepada bunyi “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja”, ada dua kesimpulan yang bisa dikemukakan. Pertama, “Sekelompok” itu (termasuk yang mendukungnya maupun yang didukungnya) bisa jadi adalah juga pencuri, penipu, dan pezina. Kedua, itulah komedi akhir hari, hari di mana orang Islam takut kepada Islam.

Dan kalau aparat-aparatnya, pemimpin-pemimpinnya, ulama-ulamanya tak lagi “mendirikan” shalat, menjadikan pencurian dan penipuan sebagai kebaikan, dan mennganggap perzinaan sebagai hal yang lumrah dan wajar, masih bersatukah Indonesia kini?

Sakura 225, 07 Oktober 2012 – 01:30