Soleman tak pernah menyangka bahwa “pada akhirnya” ia
kembali mengumandangkan adzan. Menurut kalkulasi Soleman sendiri, kurang lebih
15 tahun ia “cuti” mengumandangkan adzan. Radang tenggorokan sukses “mempensiun
dinikan” Soleman.
Radang tenggorokan dan campak menyerang Soleman secara
bersamaan. Satu minggu ia opname di Rumah Sakit. Sesudah sembuh, Soleman
beberapa kali sempat mengumandangkan adzan di masjid kampungnya. Pada adzan
yang ke sekian kalinya, seorang tetangga menegurnya: kamu adzan atau menangis?
Memang Soleman merasa ada yang berbeda pada pita
suaranya, tapi ia tak pernah mengira bahwa perbedaan itu sedemikian besarnya. Mengumandangkan
adzan adalah satu hal, dan menangis adalah satu hal yang lain. Jadi, jika suara
adzannya dinilai seperti suara orang menangis, Soleman tidak punya pilihan lain
selain mengundurkan diri dari “jabatan” muadzin.
Padahal sungguh, sebelum radang tenggorokan itu datang,
seorang ibu tetangga ibunya berkata kepada ibu Soleman, “Setiap kali mendengar
suara adzan Soleman, saya tidak bisa untuk tidak meneteskan air mata. Suara
adzan Soleman memang tidak terlalu merdu, namun entah bagaimana, suara adzannya
senantiasa membetot rasa haru keluar dari dalam kalbu.”
Itu baru pengakuan lisan. Pengakuan berbentuk tulisan
tentang “haru-birunya” suara Soleman berupa dua lembar piagam penghargaan juara
lomba qiraat Alquran tingkat Kecamatan. Dua piagam itu didapat Soleman
masing-masingnya saat Soleman masih duduk di kelas 3 dan kelas 5 Sekolah Dasar.
Maka sungguh Soleman tak pernah menyangka bahwa “pada
akhirnya” ia kembali mengumandangkan adzan. Dan “pada akhirnya” itu terjadi
tidak di kampungnya sendiri.
Bermula dengan pertemanan Soleman dengan seseorang yang
kebetulan rumah kontrakannya berada tepat di sebelah masjid, kemudian tak
kunjung ada orang yang lain yang mengumandangkan adzan Isya’ padahal
masjid-masjid yang lain sudah melantunkan “puji-pujian”, teman Soleman
mendorong Soleman untuk mengumandangkan adzan. Sebuah dorongan yang wajar
mengingat teman Soleman yang satu ini tahu dari Pesantren mana Soleman berasal.
Dengan terus terang Soleman mengaku bahwa dulunya ia
pernah “berprofesi” sebagai muadzin yang kemudian “pensiun dini” karena radang
tenggorokan. Mendengar pengakuan Soleman, teman Soleman menyatakan bahwa ia
sebenarnya juga bisa mengumandangkan adzan, namun “tidak bagus”.
Mereka berdua kemudian terdiam agak lama. Namun entah
malaikat siapa namanya yang menggerakkan kaki mereka berdua, tanpa ada aba-aba
tiba-tiba mereka secara hampir serentak melangkahkan kaki menuju masjid: teman
Soleman menyalakan lampu dan pengeras suara, Soleman memegang pengeras suara
dan mengumandangkan adzan: Allahu akbar ... Allahu akbar ...
Sepanjang kumandang adzan, dalam diri Soleman berkembang
dua perasaan: 1. Ia seperti bayi baru, 2. Ia seperti bapak yang sedang
menggumamkan adzan di telinga bayinya yang baru lahir.
Begitulah, sebagaimana keburukan yang berteman dengan
keburukan akan menghasilkan keburukan, kebaikan pun bila berteman dengan
kebaikan akan menghasilkan kebaikan. Tanpa dorongan tulus dari temannya, kecil
kemungkinan Soleman akan “pada akhirnya” kembali mengumandangkan adzan.
Maka semoga Soleman senantiasa “dipertemankan” dengan
kebaikan beserta orang-orangnya, karena tanpa itu, betapa sia-sia potensi
kebaikan yang terpendam dalam diri Soleman. Semoga Tuhan mengabulkan.
Sakura 225, 25 Juni 2012 – 15:20
0 comments:
Post a Comment