Monday, June 25, 2012

Adzan Pertama


Soleman tak pernah menyangka bahwa “pada akhirnya” ia kembali mengumandangkan adzan. Menurut kalkulasi Soleman sendiri, kurang lebih 15 tahun ia “cuti” mengumandangkan adzan. Radang tenggorokan sukses “mempensiun dinikan” Soleman.

Radang tenggorokan dan campak menyerang Soleman secara bersamaan. Satu minggu ia opname di Rumah Sakit. Sesudah sembuh, Soleman beberapa kali sempat mengumandangkan adzan di masjid kampungnya. Pada adzan yang ke sekian kalinya, seorang tetangga menegurnya: kamu adzan atau menangis?

Memang Soleman merasa ada yang berbeda pada pita suaranya, tapi ia tak pernah mengira bahwa perbedaan itu sedemikian besarnya. Mengumandangkan adzan adalah satu hal, dan menangis adalah satu hal yang lain. Jadi, jika suara adzannya dinilai seperti suara orang menangis, Soleman tidak punya pilihan lain selain mengundurkan diri dari “jabatan” muadzin.

Padahal sungguh, sebelum radang tenggorokan itu datang, seorang ibu tetangga ibunya berkata kepada ibu Soleman, “Setiap kali mendengar suara adzan Soleman, saya tidak bisa untuk tidak meneteskan air mata. Suara adzan Soleman memang tidak terlalu merdu, namun entah bagaimana, suara adzannya senantiasa membetot rasa haru keluar dari dalam kalbu.”

Itu baru pengakuan lisan. Pengakuan berbentuk tulisan tentang “haru-birunya” suara Soleman berupa dua lembar piagam penghargaan juara lomba qiraat Alquran tingkat Kecamatan. Dua piagam itu didapat Soleman masing-masingnya saat Soleman masih duduk di kelas 3 dan kelas 5 Sekolah Dasar.

Maka sungguh Soleman tak pernah menyangka bahwa “pada akhirnya” ia kembali mengumandangkan adzan. Dan “pada akhirnya” itu terjadi tidak di kampungnya sendiri.

Bermula dengan pertemanan Soleman dengan seseorang yang kebetulan rumah kontrakannya berada tepat di sebelah masjid, kemudian tak kunjung ada orang yang lain yang mengumandangkan adzan Isya’ padahal masjid-masjid yang lain sudah melantunkan “puji-pujian”, teman Soleman mendorong Soleman untuk mengumandangkan adzan. Sebuah dorongan yang wajar mengingat teman Soleman yang satu ini tahu dari Pesantren mana Soleman berasal.

Dengan terus terang Soleman mengaku bahwa dulunya ia pernah “berprofesi” sebagai muadzin yang kemudian “pensiun dini” karena radang tenggorokan. Mendengar pengakuan Soleman, teman Soleman menyatakan bahwa ia sebenarnya juga bisa mengumandangkan adzan, namun “tidak bagus”.

Mereka berdua kemudian terdiam agak lama. Namun entah malaikat siapa namanya yang menggerakkan kaki mereka berdua, tanpa ada aba-aba tiba-tiba mereka secara hampir serentak melangkahkan kaki menuju masjid: teman Soleman menyalakan lampu dan pengeras suara, Soleman memegang pengeras suara dan mengumandangkan adzan: Allahu akbar ... Allahu akbar ...

Sepanjang kumandang adzan, dalam diri Soleman berkembang dua perasaan: 1. Ia seperti bayi baru, 2. Ia seperti bapak yang sedang menggumamkan adzan di telinga bayinya yang baru lahir.

Begitulah, sebagaimana keburukan yang berteman dengan keburukan akan menghasilkan keburukan, kebaikan pun bila berteman dengan kebaikan akan menghasilkan kebaikan. Tanpa dorongan tulus dari temannya, kecil kemungkinan Soleman akan “pada akhirnya” kembali mengumandangkan adzan.

Maka semoga Soleman senantiasa “dipertemankan” dengan kebaikan beserta orang-orangnya, karena tanpa itu, betapa sia-sia potensi kebaikan yang terpendam dalam diri Soleman. Semoga Tuhan mengabulkan.

Sakura 225, 25 Juni 2012 – 15:20

0 comments:

Post a Comment