Maqaama-m-Mahmuuda

Wa mina-l-laili fatahajjad bihi naafilata-l-laka, 'asaa an yab'atsaka Rabbuka maqaama-m-mahmuuda.

Di Antara Kalimat-kalimat

Yang terpenting adalah apa yang tetap tak terkatakan, atau apa yang mungkin terbaca di antara kalimat-kalimat.

Anak Kehidupan

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu ... Mereka adalah putra-putri kehidupan ... Kau bisa berikan kasih sayangmu ... Tapi tidak pikiranmu.

Kesalingsepakatan dan Ketidaksepakatan

Jadi, sebuah telatah pas untuk seorang penulis muda mengembangkan diri adalah situasi penuh percakapan, diskusi, cara-cara menunjukkan kesalingsepakatan, dan yang paling penting adalah cara tidak bersepakat.

Kesetiaan + Keteguhan + Konsistensi = Cara + Bentuk + Jalan

Kesetiaan akan mengilhami cara. Keteguhan memberi petunjuk tentang bentuk-bentuk. Konsistensi melahirkan jalan.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Jangan biarkan daya mati jerat nurani. Jangan biarkan amarah membakar hati. Jangan biarkan keangkuhan menindas pekerti. Jangan biarkan bisikan setan meracuni diri. Jangan jumawa saat masih berkuasa. Jangan menepuk dada saat berjaya. Kejayaan itu fana kekuasaan itu hampa. Di atas langit masih ada langit..

Mendingan Setan

Kita memang harus berlindung kepada Tuhan dari orang-orang yang kepalanya pura-pura nyunggi Kitab Suci, yang bibirnya akting mencipok-cipoki ayat-ayatnya, tetapi itu semata-mata demi persekongkolannya dengan sang perut, kemudian mereka nanti bagi hasil dari penipuan-penipuannya. Orang yang begini masih mendingan setan atau demit.

Pasrah kepada Tuhan

"Menunduk-nunduk" itu bisa berarti sungguh-sungguh menunduk-nunduk, tetapi bisa juga berarti kekalahan dan kepatuhan di bawah suatu tiran kekuasaan yang tak semestinya dipatuhi ... Pasrah kepada Tuhan itu begitu nyaman. Ia sungguh-sungguh menyediakan kebahagiaan.

Saling ... Tanpa ... Tidak Akan ...

Persahabatan ini ... Tak lekang oleh waktu ... Saling memberi ... Tanpa rasa pamrih ... Saling menjaga ... Saling memahami ... Persaudaraan ini ... Lebih indah dari pelangi ... Saling mengingatkan ... Tanpa rasa benci ... Sahabat sejati ... Tak akan mengkhianati ....

Kebahagiaan

Kebahagiaan terbesar akan datang jika seseorang bertindak tidak demi kebahagiaan pribadinya.

Keberadaan

Mengingat (dan mencatat) yang sedang mereka perbincangkan adalah keberadaanku.

Alat dan Peluang, Kepekaan dan Pengetahuan

Angin tinggal menghembuskan cinta, pepohonan tinggal berdiri setia, tetapi manusia memiliki alat dan peluang untuk mengasah kepekaan dan pengetahuannya.

Di Tengah

Aku saat itu sedang belajar Memahami inti Kewajaran hidup dan kewajaran alam Berada di tengah-tengahnya Tidak merasa terjepit Tidak juga leluasa bergerak.

Ketahanan Terhadap Waktu

Kebiasaan-kebiasaan konsumtif membikin kita lebih banyak pasif. Langkah-langkah sering kurang kreatif-reputatif. Bahkan dalam menempuh cita-cita pun kalau bisa yang simpel saja. Jalan pintas. Praktis saja. Tidak mengeksplor pentingnya latihan ketahanan terhadap waktu.

Petarung Hidup

Kita bukanlah orang yang mudah menyerah ... Kita bukan orang yang mudah dikalahkan ... Kita pernah jatuh jatuh jatuh tersungkur ... Tapi bangkit lagi melangkah lebih pasti ...

Mudkhala Shidqin

Rabbii adkhilnii mudkhala shidqin wa akhrijnii mukhraja shidqin waj'alnii min-l-ladunka shulthaana-n-nashiira.

Qul!

Qul: Allahumma maalika-l-mulki tu'ti-l-mulka man tasyaa-u wa tanzi'u-l-mulka min-m-man tasyaa-u, wa tu'izzu man tasyaa-u wa tudzillu man tasyaa-u, bi yadika-l-khair, innaka 'alaa kulli syai-i-n-qadiir. Tuuliju-l-laila fi-n-nahaari wa tuuliju-n-nahaara fi-l-laili, wa tukhriju-l-hayya mina-l-mayyiti wa tukhriju-l-mayyita mina-l-hayyi, wa tarzuqu man tasyaa-u bighairi hisaab.

Mengolah

Di antara langit dan bumi: mengolah hidup; Di antara hitam dan putih: mengolah kepastian; Di antara suka dan duka: mengolah ketenangan; Di antara hidup dan mati: mengolah kegagahan..

Tuesday, November 27, 2012

Tinggal Menunggu


Sebenarnya Aqua galonnya Soleman masih sisa seperempat bagian. Tapi berhubung Soleman kadung pernah mendengar saran disliwar-sliweri wae: nek jodo lak kecanthol dewe, dan didukung adanya satu galon Aqua cadangan, berangkatlah Soleman ke toko itu.

Tapi dasar Soleman, sebelum berangkat ia masih saja sempat “bercakap-cakap” dengan Tuhannya, “Ya Allah, dalam urusan semacam ini sudah dua kali aku terperosok ke dalam lubang, bahkan meski aku sudah sedemikian berhati-hati dan meski kutempuh jalan itu dengan setulus hati. Maka, Ya Allah, kalau ternyata yang ini adalah lubang ketiga, hadanglah aku dari jalan ini.”

Setelah dirasa “Kawan Bercakap” Soleman mengiyakan, berangkatlah Soleman. Di genggaman tangannya selembar seratus ribuan. Tujuan: Aqua galon asli, dua buah mie Sarimi kuah, dan satu bungkus Surya 12.

Sampai di teras toko, seorang bocah berdiri. “Misi” Soleman seperti dipermudah. Ia tak perlu bersuara untuk memanggil pemilik toko yang berada di dalam rumah karena tanpa disuruh, si bocah berteriak, “Bude, ada orang beli.”

Terdengar suara sahutan dari Soleman. Suara yang tidak akrab bagi telinga Soleman, tapi juga tidak asing. Suara yang masih lekat di ingat, suara yang masih sisa di rasa. Suaranya. Bukan suara yang lain.

Setelah sempat sejenak bercanda dengan si bocah, Soleman pun segera pasang “kuda-kuda”. Sepasang matanya ia bisiki, “Tatap wajahnya lekat-lekat.” Sepasang telinganya is bisiki, “Tangkap baik-baik isyarat dari gelombang-gelombang suaranya.” Dan lisannya ia marahi, “Jangan goblok terus dong kalau lagi negoisasi urusan ginian. Kalau kamu goblok terus, kapan aku bisa naik kelas?”

Benarlah Soleman tentang suara itu. Keluarlah siapa yang memang ia harapkan untuk keluar. Seulas senyum menghampiri kuda-kuda Soleman. Pemilik senyum manis itu kemudian bertanya selayaknya seorang penjual bertanya kepada pembeli, “Beli apa, Mas?”

Mas. Ya, Mas. Bukan Pak. Terima kasih Soleman kepada si ibu yang telah mengoreksi kesalahan putrinya satu bulan yang lalu.

Soleman pun menyampaikan hajatnya. Ketika sedang mengambilkan satu persatu hajat Soleman, keluarlah si ibu dan berkata kepada putrinya, “Mas ini lho, Dik, yang kemarin ibu ceritakan kalau dulu pengabdiannya di Banyuwangi.”

Soleman pun menanggapi, “Putranya yang meninggal itu berarti kakaknya atau adiknya ...?”

Soleman menggantung pertanyannya. Kuda-kuda lisan Soleman ternyata belum sepenuhnya kokoh. Lagipula, itu sebenarnya pertanyaan bodoh. Kalau berdasar cerita si ibu dua malam kemarin, anak kecil pun bisa menyimpulkan kalau yang meninggal itu adalah kakaknya si titik-titik.

Beruntung si ibu tak begitu peduli dengan kebodohan Soleman. Atau memang pura-pura tak peduli karena mungkin kepedulian si ibu terkonsentrasi pada misinya yang mungkin juga misi putrinya. Si ibu menjawab, “Kakaknya si ...”

Sambil menjawab, si ibu masuk ke dalam rumah dan keluar lagi ke toko membawa sebuah vandel OPPM berisi nama dan foto almarhum putranya beserta qism-nya dan tahun bertugasnya: 2007. Sedang Soleman mengabdi di Banyuwangi tahun 2003. Berarti kira-kira  marhalah aswad juga, tapi beda satu putaran periode. Sementara itu, pertanyaan bodoh Soleman ternyata tidak sebodoh yang Soleman kira. Pertanyaan itu, meskipun bodoh, menghasilkan sebuah nama. Si titik-titik tak lagi si titik-titik. Nama yang manis. Semanis senyumnya.

Entah sengaja entah saking terlalu berkonsentrasi dengan “misinya”, si ibu mengambilkan sebungkus Surya, padahal sebungkus Surya yang lain sudah dimasukkan putrinya ke dalam kresek hitam bersama dua buah Sarimi kuah. Sebuah adegan yang membuat Soleman tersenyum yang kemudian dibalas dengan senyum manis si titik-titik.

Karena ada keperluan lain, si ibu kembali masuk ke dalam rumah. Tinggallah Soleman berdua di toko itu. Lagi-lagi terbukti reflek Soleman payah. Padahal ada tenggang waktu cukup lumayan untuk membuka percakapan. Setelah terdiam agak lama, sementara si titik-titik sedang “menyusun” uang kembalian, lisan Soleman hanya bisa bertanya, “Kuliahnya sedang libur, ya?”

Si titik-titik, lagi-lagi dengan seulas senyum manisnya yang tampak malu-malu, menjawab, “Libur ... ehm ... Tinggal menunggu wisuda kok, Mas.”

Lisan Soleman macet. Padahal si titik-titik seperti sengaja menahan uang kembalian tetap di tangannya, menunggu kalimat Soleman selanjutnya. Diamnya Soleman akhirnya membuat si titik-titik mengulurkan uang kembalian yang segera diterima oleh Soleman. Setelah itu, tak ada hal lain yang pantas Soleman kerjakan selain pamitan, yang ditanggapi oleh si titik-titik dengan, “Terimakasih, Mas.”

Tetapi sebenarnya Soleman, tepatnya, lisan Soleman, tidak segoblok itu. Ia terdiam karena terpukau oleh kalimat “tinggal menunggu”.

Tinggal menunggu. Sebuah kalimat yang dirasakan oleh Soleman sebagai kalimat yang datang dari langit, hanya saja kebetulan dititipkan lewat lisan si titik-titik.

Tiba di rumah kontrakan, Soleman segera men-turn on-kan PC-nya. Satu tujuannya: mendengarkan dan menikmati Rencana Besar.mp3-nya Padi.

Sakura 225, 27 Nopember 2012 – 00:07

Sunday, November 25, 2012

Jeneng dan Jenang


Jelas Soleman terlambat. Pukul 06.00 semestinya ia sudah berangkat. Tapi sebuah keadaan memaksanya baru bisa berangkat pukul 06.30. Padahal, jarak kota C ke kota 35 KM panjangnya, sebuah ukuran yang dalam kecepatan normal membutuhkan waktu 1 jam. Jika pun kecepatan dipercepat, mentok di 45 menit. Jadi, Soleman baru akan tiba di kota B pukul 07.15, terlambat lima belas menit dari yang diintruksikan: ikut apel pagi di kantor induk pukul 07.00, dalam rangka serah terima SK fungsional.

Tanpa kekhawatiran sedikit pun, meski kali ini ia sedang langsung “berurusan” dengan kepala dinasnya, berangkatlah Soleman. Tapi bukan berarti Soleman berangkat untuk terlambat tanpa dasar: Lha wong yang rumahnya dekat saja banyak yang terlambat bahkan banyak yang tak ikut apel, apalagi yang rumahnya jauh. Dan, mengapa kalau yang tua-tua itu SK fungsionalnya diantarkan ke kantor cabangnya masing-masing, kok saya dan satu teman saya mesti mengambil sendiri dan diwajibkan ikut apel pagi?

Satu dasar lagi: Lha wong dipanggil menghadap Tuhan saja saya ini sering terlambat, apalagi kalau cuma sekadar dipanggil kepala dinas.

Pukul 07.11 Soleman berhenti di seberang jalan depan kantor induk. Di seberang sana, ia lihat beberapa orang berdiri dan bercakap-cakap. Tak terkecuali kepala dinasnya. Berarti apel pagi sudah selesai. Tak ada pilihan lain selain langsung menyalami kepala dinasnya dan menyampaikan alasan, “Pagi ini jalan raya cukup padat.”

Ruang dan waktu bergeser. Soleman dan seorang temannya sesama penerima SK fungsional duduk di dalam ruang kepala dinas. Acaranya: mendengarkan pesan dan arahan dari kepala dinas. Panjang lebar kepala dinas menyampaikan pesan dan memberikan arahan, tapi hanya satu yang palin diingat Soleman, “SK fungsional kalian baru keluar setelah saya menjadi kepala di sini, kan? Ketika kepalanya belum dan bukan saya, SK fungsional kalian tidak keluar kan?”

Soleman jadi teringat kepada Tuhan, “Bukankah AKU Tuhanmu?”

Tapi bukan masalah. Jangankan sekadar mengaku sebagai yang paling berjasa, lha wong Firaun yang mengaku sebagai Tuhan saja tetap disayang Tuhan dengan cara memberinya waktu untuk sadar dan dengan mengirimkan kepadanya seorang Musa untuk membantu proses kesadarannya, yang ternyata dua cara itu tidak berguna sehingga Tuhan “menyayangnya” dengan cara menenggelamkannya ke dalam samudera.

Konteksnya berbeda, tapi hakikatnya sama antara kepala dinasnya Soleman dengan “kepala dinasnya” Musa: keduanya sama-sama membutuhkan dan memaksakan pengakuan sebagai pihak “yang paling”. Orang Jawa bilang: golek jeneng.

Pamrih, itulah inti dan pokoknya. Dan kecenderungan inilah yang mau tidak mau harus diakui sebagai salah satu sebab dari bobroknya sistem kepemerintahan, sebab bagian terbesar dari komponen sistem itu mempunya prinsip yang sama: golek jeneng—dengan metode pencarian yang membabi-buta, membabi-tuli, menganjing-gila, mengkuda-lumping, dan mentikus-curut.

Ternyata tidak hanya kepala dinasnya Soleman saja yang pagi itu sedang golek jeneng. Seorang kepala bidang yang bertugas mengurus SK fungsional, dalam sebuah “pencariannya” menyatakan bahwa dirinyalah “orang lapangan” yang pertama kali begini, begini, dan begini. Mendengar pernyataannya, Soleman tiba-tiba merasa bahwa orang itu dan orang sebelum itu perlu segera dimonumenkan untuk mengenang segala jasa-jasanya.

Setelah orang itu pergi, Soleman berkata kepada temannya, “Saya tidak bisa memberi mereka “jeneng” sebagaimana yang mereka butuhkan, jadi mari kita iuran untuk memberi mereka “jenang”.

Jenang yang dimaksud Soleman adalah seratus ribu dan seratus ribu dan dua puluh ribu dan dua puluh ribu yang masing-masingnya dimasukkan ke dalam amplop dan digenggamkan ke tangan masing-masing para “pencari” yang sungguh tak tahu diri itu.

Maka benarlah orang-orang bijak itu ketika berkata, “Bersedekahlah kepada orang-orang kaya, karena merekalah yang paling miskin di antara orang-orang miskin.”

Sakura 225, 25 Nopember 2012 – 15:13

Saturday, November 24, 2012

Kalimat Berisyarat


Soleman ternyata tidak sendirian. Berawal dari sekadar tujuan membeli Aqua galon (asli), seperempat kilogram gula, dan satu sachet kopi Kapal Api di toko rumahan yang merupakan satu-satunya toko di perumahan tempat Soleman berdomisili sementara ini, kemudian bersambung dengan sebuah percakapan cukup panjang yang mulanya sekadar berasal dari pertanyaan tentang daerah asal Soleman yang ternyata dulu pernah dilewati oleh ibu pemilik toko, tahulah Soleman bahwa di perumahan itu ia (dalam hal salah satu statusnya sebagai alumni Gontor) berteman.

“Oh, kota M, ya? Dulu saya pernah melewati kota itu,” kata si ibu.

Kok pernah melewati, apa ada saudara ibu di sana?” Soleman menanggapi.

“Dulu waktu masih di Aceh, sekitar tahun 2001, anak saya mondok di Gontor. ”

Soleman ber-ooo sambil mengangguk-anggukkan kepala. Artinya ia tak perlu bertanya lagi tentang kota M dan kota P. Namun kesimpulan ini berakibat fatal. Karena tak ada lagi pertanyaan yang perlu ia ajukan, secara tak sadar Soleman menyampaikan kenyataan yang selama ini berusaha mati-matian ia sembunyikan dari pendengaran siapapun, “2001? Berarti saya kelas lima waktu itu. Dan sekarang anak ibu itu di mana?”

Di luar dugaan, si ibu ternyata tidak kaget dengan kenyataan diri Soleman. Dan pertanyaan Soleman dijawab dengan sebuah foto dalam pigura yang diambil dari dalam rumah, “Namanya AW. Meninggal karena kecelakaan menabrak pohon waktu sedang melaksanakan tugas kepondokan. Dan ini fotonya, barangkali jenengan pernah mengetahuinya.”

Soleman merasa pernah mendengar nama itu. Adapun tentang wajahnya, Soleman, seperti di lain-lain kesempatan, berspekulasi, “Anak ibu dulu asramanya di bagian utara, ya?”

Spekulasi Soleman diiyakan oleh si ibu. Padahal Soleman tidak benar-benar tahu. Merasa “pintu telah terbuka”, si ibu mengalirkan semacam cerita pendek yang didengarkan dengan seksama oleh Soleman.

Cerita pendek itu akhirnya diakhiri dengan satu kalimat berisyarat, “Dua pergi satu, tinggal satu yang cewek yang sekarang sedang menyelesaikan skripsi.”

Sebenarnya Soleman ingin menanggapi. Namun ada dua kendala. Pertama, reflek Soleman dalam hal yang menyangkut “percewekan” sangat payah. Kedua, di dalam sana ada si bapak yang salah statusnya adalah—kata teman Soleman—kepalanya intel wilayah C.

Maka tak lain tindakan Soleman selain segera mohon diri. Si ibu melangkah dari dalam ke teras toko, sebuah langkah yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang penjual kepada seorang pembeli. Soleman masih ingat langkah itu, persis langkah si ibu beberapa malam yang lalu ketika si ibu “mengabarkan” bahwa anaknya sudah hampir sampai di stasiun dan sedang akan dijemput oleh si bapak. Langkah itu, ya Allah, kata Soleman, seperti langkah seorang ibu yang sedang melepas kepergian anak kandungnya.

Sakura 225, 24 Nopember 2012 – 17:00

Wednesday, November 21, 2012

Download MP3 Gontor: Sekadar Ikut Menyebar





Buka Puasa 6B 676 di rumah Ust. Ali Syarqowi (01)


Buka Puasa 6B 676 di rumah Ust. Ali Syarqowi (02)


Cara download di filekom: klik "Free Download" ---> lihat gambar di bawah:




Friday, November 16, 2012

Atopos


Pencarian tak kenal lelah akan hikmah membuat seseorang menjadi atopos, “tak dapat dikelompokkan”. 
< Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, hlm. 137 >

Hikmah adalah tentang wawasan—bukan pengumpulan informasi, tulis si “lengan kokoh” sebelum ia sampai pada kesimpulan bahwa adanya orang-orang yang “tak dapat dikelompokkan” merupakan konsekuensi dari proses pencarian hikmah yang terus-menerus dan total.

Dengan kata lain, seseorang bisa disebut berwawasan sedikit atau bahkan sama sekali tidak berwawasan jika seseorang itu berhenti, merasa puas, atau merasa nyaman pada satu kelompok. Ini tak lain juga merupakan konsekuensi dari ketidaksediaan seseorang itu untuk terus mencari: ia merasa sudah menemukan, padahal, seperti ketidakmungkinan seorang kapten kapal memandu kapal yang tidak bergerak, bagaimana seseorang bisa disebut menemukan sedangkan ia tidak melakukan pencarian?

Seseorang yang lain bertanya, “Apakah hikmah adalah sesuatu yang hilang, sehingga kita harus mencarinya?”

Tidak, hikmah tidak pernah hilang. Hanya saja, hikmah tidak pernah bilang-bilang kalau ia ada, dan hikmah juga tidak pernah memberitahu kita bahwa ia berjumlah tak berbilang. Ia (hikmah) memang sengaja begitu, sengaja diam, untuk melihat siapa-siapa yang mencarinya dan untuk menilai kualitas masing-masing pencarinya.

Jadi, ketika seseorang tidak mencarinya, hikmah pun tak akan peduli kepadanya. Konsekuensi dari ketidakpedulian ini adalah kejahiliyyahan: huruf A berhenti sebagai huruf A, padahal hikmah dari adanya huruf A adalah demi terciptanya kata, terciptanya kalimat, terciptanya paragraf, terciptanya buku, dan pada puncaknya, terbacanya alam semesta.

Iqra’, kata Tuhan. Rattil, kata Tuhan juga. Iqra’ mengarahkan pada perlunya pencarian, rattil mengarahkan pada perlunya kesinambungan. Maka, jika di sekitar kita ada orang yang menolak untuk menjadi bagian dari kelompok apa saja, sudut pandang kita perlu digeser: ia bukan orang yang menyimpan kebencian dan memendam dendam kepada kelompok apa saja itu, melainkan ia adalah seorang atopos.

Sesederhana itu. Dan terhadap atopos, jangan terapkan rumus apapun selain rumus kesederhanaan hidup yang berbunyi “hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas dijalani”.

Sakura 225, 10 Nopember 2012 – 17:03

Percakapan



Kepada engkau yang belum juga mengerti
Bahwa hidup adalah untuk mengerti
Tentang betapa tak bergunanya harga diri
Yang nilainya tidak berdasarkan mata-Ilahi
Aku katakan, “Tanggalkan pakaian kesombongan
Karena kesombongan adalah pakaian Tuhan.”

Kepada engkau yang belum juga mengerti
Bahwa hidup adalah untuk mengerti
Tentang betapa tak bergunanya harga diri
Yang nilainya tidak berdasarkan mata-Ilahi
Aku katakan, “Tinggalkan lubang-lubang siasat
Karena lubang dan siasat adalah rumah gerombolan setan.”

Saudaraku, kehidupan bukanlah tentang kalah menang
Dan langit-bumi bukanlah mengenai atas dan bawah
Adapun rasa malu bukanlah bagian dari iman
Kalau dipertahankan hanya karena membela kepalsuan

Saudaraku, kehidupan adalah percakapan
Tentang ketidaktahuan mengenai masa depan
Adapun masa depan ada di belakang Tuhan
Yang sengaja disembunyikan: agar lahir percakapan

Saudaraku, jika surat ini gagal untuk membuatmu mengerti
Aku pun tak akan berdoa agar engkau mengerti
Sebab kemengertianmu atau ketidakmengertianmu bukanlah wilayahku
Namun jika itu adalah kepura-pura tidak mengertian, musnahlah wilayahmu

Sakura 225, 10 Nopember 2012 – 17:29

Sebenarnya Kasihan

Para pedagang berjalan yang silih berganti masuk ke gedung kantor ini kiranya salah mengira. Melihat megahnya gedung serta melihat seragam para penghuni gedung, mereka berharap untuk sedikit mengusir murung: beberapa buah atau beberapa jenis barang dagangan mereka laku.

Kiranya bukan hanya kiranya. Lebih dari itu, mereka benar-benar salah mengira. Karena hanya ada dua macam orang penghuni gedung ini. Macam yang pertama adalah orang yang gengsi jika membeli barang “jalanan”, dan macam yang kedua adalah orang yang gajinya habis duluan sehingga, jangankan untuk membeli barang jalanan, untuk sekadar makan-minum pun orang macam ini secara terpaksa maupun secara sukacita berlomba-lomba menggasak hak orang banyak.

Terkecuali mungkin Soleman. Karena Soleman bukan orang yang suka macam-macam, suka dengan macam-macam, terlebih lagi dimacam-macamkan.

Maka alangkah malangnya perempuan pedagang berjalan yang datang barusan ini. Di samping barang dagangannya yang berupa kaos kaki dan kaos dalam itu tak laku, ia juga harus rela menerima apa yang oleh Soleman disebut sebagai pelecehan.

Perempuan itu tentu hanya bermaksud menerapkan teori pemasaran ketika ia melontarkan pernyataan yang sangat umum dan sangat mendasar di kalangan para pedagang, “Dilihat boleh, dipegang tak bayar.”

“Kalau yang dipegang penjualnya, bayar nggak?” respon seorang pejabat eselon menengah yang kebetulan ada di ruang kerja Soleman. Perempuan itu pun menjawab sekenanya sambil tersenyum, “Tidak bayar, Pak, tapi cuma dipegang saja, lho.”

Soleman memprediksikan, jika ia tidak sedang di situ, pelecehan itu akan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi intensitasnya yang sekaligus lebih menjijikkan.

Tapi mungkin memang begitulah mentalitas kebanyakan orang Indonesia saat ini. Orang terhormat merasa belum terhormat kalau sehari saja tidak melecehkan orang lain, sedangkan orang biasa merasa rendah diri dengan ke-biasaan-nya.

Kesimpulan Soleman yang lain: Jika orang yang tua saja terbukti gagal dan tidak selamat akhlaknya, maka jangan heran jika generasi muda, jika masing-masing anak mereka, berakhlak tidak hanya tidak selamat bahkan berakhlak celaka.

Soleman bukan anti orang tua. Hanya saja, tidak sekali dua kali saja Soleman dicelakai oleh orang-orang tua. Sehingga, kepada peribahasa “banyak makan asam garam” itu Soleman perlu untuk bersikap ekstrawaspada, karena peribahasa itu ternyata masih ada kelanjutannya: banyak makan asam garam dalam menyiasati dan mencelakai generasi muda.

Di sela-sela perenungan dalam keramaiannya tersebut di depan, sayup-sayup Soleman mendengar perempuan pedagang berjalan itu mohon diri. Selepas kepergiannya, orang tua yang tak selamat akhlaknya itu berujar kepada Soleman, “Sebenarnya saya kasihan kepada pedagang berjalan itu, tapi mau bagaimana lagi, barang dagangannya terbatas.”

Soleman tersentak. Sebenarnya kasihan? Siapa yang sebenarnya perlu dikasihani? Lelaki tua ini atau perempuan pedagang berjalan itu? Yang mana yang sebenarnya perlu dikasihani, orang yang melecehkan atau yang dilecehkan? Yang menghina atau yang dihina? Yang memukuli atau yang dipukuli? Yang menyingkirkan atau yang disingkirkan? Yang melukai atau yang dilukai? Yang mencuri atau yang dicuri? Yang menipu atau yang ditipu? Yang mengakali atau yang diakali?

“Saudara-saudaraku para generasi muda,” tiba-tiba Soleman naik ke meja, berdiri tegak lurus, memandang lurus ke depan, dan mengacungkan jari teluncuknya lurus ke langit, “sebenarnya kasihan generasi tua kita. Jadi mari bersama-sama kita didik mereka dengan sebaik-baiknya. Survei membuktikan bahwa orang-orang tua lebih dekat dengan kematian dibanding dengan orang-orang muda. Semoga dengan pendidikan yang kita berikan kepada generasi tua kita, mereka bisa lahir dengan selamat di alam kuburnya.”

Sakura 225, 13 Nopember 2012 – 13:55

Waliyyullah atau Waliyyuljin atau Waliyyusysyaithan

Seorang mahasiswi, oleh ketidakpercayaan dirinya kepada dirinya sendiri dan terutama kepada kasih-sayang Tuhan terhadap orang-orang yang mau mendayagunakan akal pikirannya, datang kepada seorang “kyai”. “Besok saya ujian,” kata si mahasiswi, “jadi saya minta tolong agar saya berhasil dalam ujian itu.”

Si “kyai” manggut-manggut. Dan entah atas dasar apa, dengan begitu percaya dirinya si “kyai” membekali si mahasiswi dengan “sesuatu”, “Bacalah surat Anu 7 kali sebelum engkau mengerjakan soal-soal ujian.”

Besoknya, karena sangat tidak percaya dirinya, si mahasiswi tidak sempat makan pagi. Rasa gugupnya membuat surat Anu lebih bergizi dibanding sepiring nasi. Sejak bangun pagi, itu surat Anu sudah ia baca. Dalam perjalanan menuju ruang kuliah, mulutnya juga tetap komat-kamit membaca surat Anu itu.

Surat Anu itu ternyata benar-benar ampuh. Tak lama setelah soal ujian dibagikan, si mahasiswi bertingkah tak wajar. Teman-temannya sepakat bahwa ia kesurupan. Sementara teman-temannya yang tahu tentang surat Anu 7 kali sepakat bahwa si mahasiswi kesurupan karena tidak mengikuti petunjuk si “kyai”, “Lha wong disuruh membaca 7 kali thok kok dibaca berkali-kali.”

Tapi selalu, di antara banyak yang sepakat akan ada satu yang tak sepakat. Jangankan di antara manusia, di antara malaikat dan di hadapan Tuhan langsung, ketidaksepakatan tentang kemuliaan Adam (manusia) pun terjadi. Pada “waktu itu”, Iblis terbukti keliru. Tapi pada waktu ini, benarlah Iblis: lihatlah manusia yang hampir semuanya berlomba-lomba menghinakan kemanusiaan dirinya sendiri.

Satu yang tidak sepakat itu berkata kepada dirinya sendiri, “Lha wong mau ujian kok minta tolong kepada “kyai”. Lha wong dikasih akal pikiran kok minta bacaan. Lha wong ada air jernih kok milih air comberan. Lha wong ada Ilahi kok minta tolong kyai. Lha wong ada iyya-Ka nasta’in lha kok iyya-kyai nas’tain.”

Gumam diri sejenak berhenti. Seteguk kopi mengalir membasahi pori-pori. Selanjutnya, “Karena tidak mengikuti petunjuk kyai yang cuma menyuruhnya membaca 7 kali? Hei, kebenaran macam apakah itu? Mengapa banyak orang itu tidak berpikir bahwa bahwa kesurupannya si mahasisiwi itu karena pasukan jin kiriman si “kyai” itu marah sebab “7” sebagai kemauannya itu tidak dituruti? Sejauh yang kuketahui, kalau 7 kali itu benar dari Tuhan, yang mewujud adalah ekstase semisal tarian Rumi atau kebesaran jiwa Rabiah. Petunjuk Tuhan mewujud dalam bentuk keindahan dan kedamaian. Sedangkan kesurupan, adakah satu senti saja dari adegan kesurupan itu yang disebut sebagai keindahan dan kedamaian? Jadi, masih akan ngototkah kalian bahwa si “kyai” itu adalah “wasilah” menuju Tuhan? Kalau kalian percaya adanya waliyullah, akan tidak percayakah kalian kalau waliyyusysyaithan dan waliyyuljin pun ada? Waliyullah ataukah waliyyuljin kah si kyai itu, menurut kalian? Oh, waliyullah ya? Ya sudah kalau itu menurut kalian. Kalau begitu, tolong sebutkan kepadaku ciri-ciri ke-waliyullah-an si “kyai” itu kepadaku satu persatu, sehingga bisa kujelaskan pula secara satu-persatu ke- waliyyuljin-an si “kyai” itu kepada kalian.” 

Sementara itu, si mahasiswi yang kesurupan itu, karena dirasa mengganggu jalannya ujian, akhirnya “disingkirkan”. Seakan-akan semua sepakat: para jin dilarang ikut ujian, sebab ujian itu hanya diperuntukkan bagi para setan.

Sakura 225, 15 Nopember 2012 – 14:52

Tuesday, November 6, 2012

Antara Gairah, Kepuasan, dan Keridhaan


Entah siapa yang mendidikku dulu sehingga kini menjadi manusia paling rewel. Aku sering kewalahan menghadapi diriku sendiri. Yang Nadjib tentram-tentram dan dingin saja, yang Ainun bisa santun dan akomodatif. Tapi si Emha ini mblunat, mbrengkel, ngeyel tak karuan. < Jamaah Kaffah, Puasa Itu Puasa, hlm. 88 >

Membaca pernyataan Emha (kini Muhammad) tersebut di depan, seakan saya sendirilah yang menulis pernyataan itu. Bedanya, Emha dilahirkan dan menjadi menjadi penulis dan menjadi manusia jauh lebih dahulu daripada saya yang entah bisa berhasil menjadi penulis dan entah berhasil menjadi manusia atau tidak.

Kalimat pertama yang berisi pertanyaan tentang siapa yang mendidik, tak lain adalah pertanyaan saya juga. Sebuah pertanyaan yang sekaligus adalah sebuah jawaban: ketika seseorang memperlakukan siapa saja dan apa saja yang “dihidangkan” ke “meja” kehidupannya sebagai guru atau sebagai buku pelajaran atau sebagai alat peraga, tak soal hidangan itu enak atau tak enak dalam hal rasa, tak masalah hidangan itu baik atau buruk dalam hal bentuk, tak beda hidangan itu mengenyangkan atau justru semakin membuat lapar dalam hal kadar, pertanyaan “entah siapa yang mendidik” menjadi sebuah pertanyaan yang wajar terlontar.

Pada puncak sekaligus pada dasarnya akhirnya adalah pengakuan terhadap keutuhan, terhadap lingkaran, terhadap garis edar, dan terutama sikap terhadap pertanyaan afahasibtum annamaa khalaqnakum ‘abatsa. Tidak ada yang sia-sia dalam segenap “karya cipta” Tuhan, sehingga tiap-tiap dari segenap itu adalah guru, adalah pendidik. Dari sini sesuatu dapat ditarik: ketika seorang guru ternyata gagal atau bahkan dengan sengaja berniat untuk tidak mendatangkan sekaligus tidak menjadi manfaat bagi murid-muridnya, ketika itu pula si guru menyatakan dirinya sebagai bukan “karya cipta” Tuhan, dan ketika seseorang secara terbuka maupun tertutup menyatakan diri sebagai bukan “karya cipta” Tuhan, ia hanya perlu satu langkah lagi untuk bisa sejajar dengan langkah kaki para peragu Tuhan.

Jadi, “entah siapa” tidak berarti Emha atau saya atau siapa saja yang seide dalam hal ini mensekunderkan atau bahkan meminggirkankan siapa atau apa saja yang menjadi software yang terinstall. Justru sebaliknya, “entah siapa” adalah pengakuan, adalah kesaksian, adalah syahadat tentang “tidak ada sesuatu selain pendidikan, tidak ada pendidikan selain totalitas sebagaimana yang diaplikasikan oleh para utusan, dan pada akhirnya, tidak ada tuhan selain Tuhan”.

Aku sering kewalahan menghadapi diriku sendiri, kata Emha selanjutnya. Dan begitulah yang juga saya rasakan. Yang H bisa biasa-biasa saja, bisa tentram, dingin, santun, maupun akomodatif. Tapi yang F ini mblunat, mbrengkel, ngeyel tak karuan.

H yang berarti keinginan yang kuat, cita-cita yang tinggi, atau harapan yang besar, sejauh yang bisa saya rasakan dengan indera "suruh temu rose", sampai dengan saat ini enjoy-enjoy saja. Melihat ada orang punya mobil mahal, si H cuma bilang, “Lihatlah, ada manusia dinaiki dan disetir mobil.” Sehabis mengunyah satu porsi makanan kelas atas, si H cuma bilang, “Tunggulah beberapa saat, dan apa yang kau kunyah barusan tak akan berbeda dengan sepiring nasi berlauk tempe goreng dan sambal bawang.” Mendengar ada orang naik pangkat atau menjadi pejabat berkat jasa kerabat, si H cuma bilang, “Dunia tak sama dengan akhirat, dan derajat jauh lebih bernilai daripada pangkat dan martabat.”

Maka saya tinggal bertarung menghadapi F. Repotnya, F ini meski tak bersenjata, tenaga dalamnya lebih membunuh daripada senjata apapun. Berkali-kali saya mati terkena aliran tenaga dalamnya, tetapi berkali-kali pula saya dihidupkan kembali oleh F ini. F yang berarti pembeda, penyaring, atau pengadil ini kekuatannya hampir seperti wasit dalam pertandingan sepakbola yang seorang diri bisa mengalahkan 22 pemain di dalam lapangan plus 2 pelatih yang berdiri di luar lapangan.

Sebagai pemain dan sesekali sebagai pelatih, saya sering protes kepada F, mengapa ia tak berdamai saja dengan kecurangan, dengan atraksi jegal-menjegal (tackling), dengan kepura-puraan (diving). Atau mengapa tidak ia biarkan saja permainan terus berjalan meskipun bola keluar lapangan. Atau mengapa tidak sahkan saja gol demi gol meski jelas-jelas offside.

Mula-mula, F berkenan mendengarkan celoteh remeh ini dengan sabar dan seksama. Tetapi begitu saya sampai pada “mengapa tidak berdamai saja”, “mengapa tidak dibiarkan saja”, “mengapa tidak disahkan saja”, merah hitamlah mukanya dan bergemuruhlah suaranya, “Mengapa tidak kau potong saja kelelakianmu? Belum sampaikah kepadamu pengertian mengapa ada lelaki yang bisa berdiri tegak lurus dan ada lelaki yang justru sebaliknya? Bukankah mereka yang tidak bisa berdiri tegak lurus itu diliputi oleh berlapis-lapis kesedihan? Begitulah seharusnya engkau. Adaku adalah untuk melapisimu dengan kesedihan setiap kali kau lihat kecurangan, keculasan, kepura-puraan, ataupun segala hal yang segaris lurus dengan keadaan-keadaan itu, dengan harapan, dari lapisan kesedihan itu bisa kau lahirkan kesadaran personal untuk kau ubah menjadi penyadaran komunal. Jadi mblunat, mbrengkel, ngeyel tak karuanku ini tak lain adalah gairah yang sedang mengejawantah. Tanpa gairah, engkau tak akan bisa berdiri tegak lurus. Dan ketika engkau tak bisa berdiri tegak lurus, tak ada kepuasan yang bisa engkau berikan. Sedangkan jika engkau tak bisa mempersembahkan kepuasan, masih pantaskah engkau berdoa memohon keridhaan?”

Gemuruh suara F membuat saya seperti seorang penjaga gawang yang menyaksikan gawangnya sedang dijadikan lumbung gol. Di depan saya, lapangan kesunyian terhampar. Tuhan, untuk bisa “memuaskan-Mu”, tampaknya saya masih perlu ridha-Mu untuk lebih dulu bisa memuaskan seorang perempuan. Dan saya sungguh bermohon, perempuan itu mbok ya yang masih perawan.

Amiin, jawab F dan H berbarengan.

Sakura 225, 06 Nopember 2012 – 00:37

Monday, November 5, 2012

Penyuluhan KB: Alat Kontrasepsi (Manusia)

Di bawah ini tersaji video animasi yang berisi penjelasan tentang masing-masing dari macam-macam alat kontrasepsi manusia. Adapun video animasi yang berisi penjelasan tentang alat kontrasepsi binatang sengaja tidak disajikan karena belum ada seorang waras pun yang bersedia menjadi gila dengan memproduksi alat-alat kontrasepsi binatang. 

Namun jika suatu hari nanti ternyata ada orang yang mencoba merealisasikan ide ini, sekadar saran, sebaiknya orang itu memfokuskan perhatiannya pada alat kontrasepsi untuk nyamuk, semut, kutu, dan tengu. Dengan catatan, prinsip "merencanakan" tidak sama dengan "membatasi" dan "mengendalikan jumlah" tidak sama dengan "menumpahkan darah" harus menjadi pegangan utamanya.

Alat Kontrasepsi 1


Alat Kontrasepsi 2


Alat Kontrasepsi 3



Alat Kontrasepsi 4



Alat Kontrasepsi 5 

 

Sunday, November 4, 2012

Penyuluhan KB: Alat Reproduksi Manusia

Alat Reproduksi Manusia 1



Alat Reproduksi Manusia 2



Alat Reproduksi Manusia 3



Alat Reproduksi Manusia 4



Alat Reproduksi Manusia 5




Saturday, November 3, 2012

Download Video: Pesan Kyai Syukri

Sejatinya Kita tak Punya Apa-apa, Sejatinya Kita tak Berbeda, Sejatinya Kita tak Berdaya


Ditanyakan kepadanya tentang domba yang lepas
Milikmu, atau milik saudaramu, atau milik serigala
Demikian jawab sang pembebas
Yang sekaligus memberitahu kita tentang hakikat segala

Sang pembebas seakan berkata
Jadilah samudera luas
Sebab tetapnya daratan tidaklah nyata
Sebab mulianya jiwa baru ada setelah angan-inginmu lepas

Domba yang lepas itu semula adalah milikmu
Tapi, adakah sehelai rambut pun di dunia ini yang benar-benar milikmu?
Seseorang bisa jadi adalah musuhmu
Tapi, adakah setetes darah pun di dunia ini yang tak sama dengan darahmu?
Serigala hanyalah seekor binatang
Tapi, adakah satu huruf pun di dunia ini yang sanggup menjamin utuh-teguhnya kemanusiaanmu?

Sakura 225, 03 Nopember 2012 – 17:17

Friday, November 2, 2012

Download Video: Pesan Kyai Imam Badri

Ayyub dan Yusuf-Nya


Dalam segala kehendak-Nya
Terjadilah apa saja
Sedikit yang terduga, banyak yang tak terduga
Dan kita tak henti menggumamkan kata semoga

Dalam segala kehendak-Nya
Terjadilah segalanya
Sedikit yang tak berbeda, banyak yang berbeda
Dan kita termangu di hadapan petunjuk dan goda

Kita pernah menduga
Bahwa sesuatu itu akan baik bagi kita
Tetapi ternyata kebaikan tidak terletak dalam dugaan-dugaan
Sebab dugaan lebih banyak lahir dari rahim godaan-godaan

Kita pernah menduga
Bahwa sesuatu itu akan buruk bagi kita
Tapi ternyata keburukan tidak terletak dalam dugaan
Sebab dugaan tak lain adalah keburukan itu sendiri

Sekali waktu kau duga aku baik
Dan lebih dari sekali waktu kau duga aku buruk
Maka tanyakanlah kepada Tuhan
Mengapa ia tugaskan malaikat tertinggi menjadi panglima setan

Anehnya, dalam itu dugaan
Engkau selalu hadir dalam kepalaku sebagai kebaikan
Bahkan meskipun yang kauhadirkan adalah godaan
Bahkan meskipun gerak-gerikmu di bawah kendali setan

Maka, jika
Telah lepas darimu dugaan-dugaan
Telah bebas dirimu dari kendali setan
Terimalah kehendak-Nya

Telah terbit beda
Beda di luar duga
Di luar dugamu
Di luar dugaku

Terimalah kehendak-Nya
Semoga kita adalah Ayyub dan Yusuf-Nya

Sakura 225, 26 Oktober 2012 – 02:33

Download Video: Pesan Kyai Hasan

Aku Syukuri


“Orang-orang yang berpenyakit janganlah menularkan penyakitnya kepada orang-orang yang sehat.”


Aku syukuri segala benturan
Seperti syukurnya batangan besi
Dalam proses pembentukan
Menjadi keris di tangan Sang Resi

Aku syukuri segala sebutan
Seperti syukurnya para pejalan
Dalam proses peniadaan diri
Menuju Ada Sejati

Aku syukuri segenap kejadian
Seperti syukurnya matahari
Dalam proses pembuktian
Kuasa Menggelapkan-Kuasa Mencahayai

Aku syukuri segenap buruk persangkaan
Seperti syukurnya malaikat tertinggi
Dalam proses pengerjaan ketaatan
Kepada Sang Raja, rela diiblis-setankan

Wahai engkau yang berpenyakit
Surat dan ayat apapun dan berapapun tombakmu
Aku syukuri tikaman-tikamanmu ke punggungku
Karena tikaman-tikamanmu itu tak lain
Langkah tertepat untuk tidak tertular
Tanpa aku harus bersusah-payah mewaspadai penyakit jiwamu
Adalah cara tercepat untuk mencapai peniadaan diriku
Tanpa aku harus membentur-benturkan jidatku ke lantai berkerakmu

Sakura 225, 01 Nopember 2012 – 23:23