Tuesday, November 27, 2012

Tinggal Menunggu


Sebenarnya Aqua galonnya Soleman masih sisa seperempat bagian. Tapi berhubung Soleman kadung pernah mendengar saran disliwar-sliweri wae: nek jodo lak kecanthol dewe, dan didukung adanya satu galon Aqua cadangan, berangkatlah Soleman ke toko itu.

Tapi dasar Soleman, sebelum berangkat ia masih saja sempat “bercakap-cakap” dengan Tuhannya, “Ya Allah, dalam urusan semacam ini sudah dua kali aku terperosok ke dalam lubang, bahkan meski aku sudah sedemikian berhati-hati dan meski kutempuh jalan itu dengan setulus hati. Maka, Ya Allah, kalau ternyata yang ini adalah lubang ketiga, hadanglah aku dari jalan ini.”

Setelah dirasa “Kawan Bercakap” Soleman mengiyakan, berangkatlah Soleman. Di genggaman tangannya selembar seratus ribuan. Tujuan: Aqua galon asli, dua buah mie Sarimi kuah, dan satu bungkus Surya 12.

Sampai di teras toko, seorang bocah berdiri. “Misi” Soleman seperti dipermudah. Ia tak perlu bersuara untuk memanggil pemilik toko yang berada di dalam rumah karena tanpa disuruh, si bocah berteriak, “Bude, ada orang beli.”

Terdengar suara sahutan dari Soleman. Suara yang tidak akrab bagi telinga Soleman, tapi juga tidak asing. Suara yang masih lekat di ingat, suara yang masih sisa di rasa. Suaranya. Bukan suara yang lain.

Setelah sempat sejenak bercanda dengan si bocah, Soleman pun segera pasang “kuda-kuda”. Sepasang matanya ia bisiki, “Tatap wajahnya lekat-lekat.” Sepasang telinganya is bisiki, “Tangkap baik-baik isyarat dari gelombang-gelombang suaranya.” Dan lisannya ia marahi, “Jangan goblok terus dong kalau lagi negoisasi urusan ginian. Kalau kamu goblok terus, kapan aku bisa naik kelas?”

Benarlah Soleman tentang suara itu. Keluarlah siapa yang memang ia harapkan untuk keluar. Seulas senyum menghampiri kuda-kuda Soleman. Pemilik senyum manis itu kemudian bertanya selayaknya seorang penjual bertanya kepada pembeli, “Beli apa, Mas?”

Mas. Ya, Mas. Bukan Pak. Terima kasih Soleman kepada si ibu yang telah mengoreksi kesalahan putrinya satu bulan yang lalu.

Soleman pun menyampaikan hajatnya. Ketika sedang mengambilkan satu persatu hajat Soleman, keluarlah si ibu dan berkata kepada putrinya, “Mas ini lho, Dik, yang kemarin ibu ceritakan kalau dulu pengabdiannya di Banyuwangi.”

Soleman pun menanggapi, “Putranya yang meninggal itu berarti kakaknya atau adiknya ...?”

Soleman menggantung pertanyannya. Kuda-kuda lisan Soleman ternyata belum sepenuhnya kokoh. Lagipula, itu sebenarnya pertanyaan bodoh. Kalau berdasar cerita si ibu dua malam kemarin, anak kecil pun bisa menyimpulkan kalau yang meninggal itu adalah kakaknya si titik-titik.

Beruntung si ibu tak begitu peduli dengan kebodohan Soleman. Atau memang pura-pura tak peduli karena mungkin kepedulian si ibu terkonsentrasi pada misinya yang mungkin juga misi putrinya. Si ibu menjawab, “Kakaknya si ...”

Sambil menjawab, si ibu masuk ke dalam rumah dan keluar lagi ke toko membawa sebuah vandel OPPM berisi nama dan foto almarhum putranya beserta qism-nya dan tahun bertugasnya: 2007. Sedang Soleman mengabdi di Banyuwangi tahun 2003. Berarti kira-kira  marhalah aswad juga, tapi beda satu putaran periode. Sementara itu, pertanyaan bodoh Soleman ternyata tidak sebodoh yang Soleman kira. Pertanyaan itu, meskipun bodoh, menghasilkan sebuah nama. Si titik-titik tak lagi si titik-titik. Nama yang manis. Semanis senyumnya.

Entah sengaja entah saking terlalu berkonsentrasi dengan “misinya”, si ibu mengambilkan sebungkus Surya, padahal sebungkus Surya yang lain sudah dimasukkan putrinya ke dalam kresek hitam bersama dua buah Sarimi kuah. Sebuah adegan yang membuat Soleman tersenyum yang kemudian dibalas dengan senyum manis si titik-titik.

Karena ada keperluan lain, si ibu kembali masuk ke dalam rumah. Tinggallah Soleman berdua di toko itu. Lagi-lagi terbukti reflek Soleman payah. Padahal ada tenggang waktu cukup lumayan untuk membuka percakapan. Setelah terdiam agak lama, sementara si titik-titik sedang “menyusun” uang kembalian, lisan Soleman hanya bisa bertanya, “Kuliahnya sedang libur, ya?”

Si titik-titik, lagi-lagi dengan seulas senyum manisnya yang tampak malu-malu, menjawab, “Libur ... ehm ... Tinggal menunggu wisuda kok, Mas.”

Lisan Soleman macet. Padahal si titik-titik seperti sengaja menahan uang kembalian tetap di tangannya, menunggu kalimat Soleman selanjutnya. Diamnya Soleman akhirnya membuat si titik-titik mengulurkan uang kembalian yang segera diterima oleh Soleman. Setelah itu, tak ada hal lain yang pantas Soleman kerjakan selain pamitan, yang ditanggapi oleh si titik-titik dengan, “Terimakasih, Mas.”

Tetapi sebenarnya Soleman, tepatnya, lisan Soleman, tidak segoblok itu. Ia terdiam karena terpukau oleh kalimat “tinggal menunggu”.

Tinggal menunggu. Sebuah kalimat yang dirasakan oleh Soleman sebagai kalimat yang datang dari langit, hanya saja kebetulan dititipkan lewat lisan si titik-titik.

Tiba di rumah kontrakan, Soleman segera men-turn on-kan PC-nya. Satu tujuannya: mendengarkan dan menikmati Rencana Besar.mp3-nya Padi.

Sakura 225, 27 Nopember 2012 – 00:07

0 comments:

Post a Comment