Sebenarnya Aqua galonnya
Soleman masih sisa seperempat bagian. Tapi berhubung Soleman kadung pernah
mendengar saran disliwar-sliweri wae: nek jodo lak kecanthol dewe, dan
didukung adanya satu galon Aqua cadangan, berangkatlah Soleman ke toko itu.
Tapi dasar Soleman, sebelum
berangkat ia masih saja sempat “bercakap-cakap” dengan Tuhannya, “Ya Allah, dalam
urusan semacam ini sudah dua kali aku terperosok ke dalam lubang, bahkan meski
aku sudah sedemikian berhati-hati dan meski kutempuh jalan itu dengan setulus
hati. Maka, Ya Allah, kalau ternyata yang ini adalah lubang ketiga, hadanglah
aku dari jalan ini.”
Setelah dirasa “Kawan Bercakap”
Soleman mengiyakan, berangkatlah Soleman. Di genggaman tangannya selembar
seratus ribuan. Tujuan: Aqua galon asli, dua buah mie Sarimi kuah, dan satu
bungkus Surya 12.
Sampai di teras toko, seorang
bocah berdiri. “Misi” Soleman seperti dipermudah. Ia tak perlu bersuara untuk
memanggil pemilik toko yang berada di dalam rumah karena tanpa disuruh, si
bocah berteriak, “Bude, ada orang beli.”
Terdengar suara sahutan dari
Soleman. Suara yang tidak akrab bagi telinga Soleman, tapi juga tidak asing.
Suara yang masih lekat di ingat, suara yang masih sisa di rasa. Suaranya. Bukan
suara yang lain.
Setelah sempat sejenak bercanda
dengan si bocah, Soleman pun segera pasang “kuda-kuda”. Sepasang matanya ia
bisiki, “Tatap wajahnya lekat-lekat.” Sepasang telinganya is bisiki, “Tangkap
baik-baik isyarat dari gelombang-gelombang suaranya.” Dan lisannya ia marahi, “Jangan
goblok terus dong kalau lagi negoisasi urusan ginian. Kalau kamu goblok terus,
kapan aku bisa naik kelas?”
Benarlah Soleman tentang suara
itu. Keluarlah siapa yang memang ia harapkan untuk keluar. Seulas senyum
menghampiri kuda-kuda Soleman. Pemilik senyum manis itu kemudian bertanya
selayaknya seorang penjual bertanya kepada pembeli, “Beli apa, Mas?”
Mas. Ya, Mas. Bukan Pak. Terima
kasih Soleman kepada si ibu yang telah mengoreksi kesalahan putrinya satu bulan
yang lalu.
Soleman pun menyampaikan
hajatnya. Ketika sedang mengambilkan satu persatu hajat Soleman, keluarlah si
ibu dan berkata kepada putrinya, “Mas ini lho, Dik, yang kemarin ibu ceritakan
kalau dulu pengabdiannya di Banyuwangi.”
Soleman pun menanggapi, “Putranya
yang meninggal itu berarti kakaknya atau adiknya ...?”
Soleman menggantung
pertanyannya. Kuda-kuda lisan Soleman ternyata belum sepenuhnya kokoh.
Lagipula, itu sebenarnya pertanyaan bodoh. Kalau berdasar cerita si ibu dua
malam kemarin, anak kecil pun bisa menyimpulkan kalau yang meninggal itu adalah
kakaknya si titik-titik.
Beruntung si ibu tak begitu
peduli dengan kebodohan Soleman. Atau memang pura-pura tak peduli karena
mungkin kepedulian si ibu terkonsentrasi pada misinya yang mungkin juga misi
putrinya. Si ibu menjawab, “Kakaknya si ...”
Sambil menjawab, si ibu masuk
ke dalam rumah dan keluar lagi ke toko membawa sebuah vandel OPPM berisi nama dan
foto almarhum putranya beserta qism-nya dan tahun bertugasnya: 2007.
Sedang Soleman mengabdi di Banyuwangi tahun 2003. Berarti kira-kira marhalah aswad juga, tapi beda satu
putaran periode. Sementara itu, pertanyaan bodoh Soleman ternyata tidak sebodoh
yang Soleman kira. Pertanyaan itu, meskipun bodoh, menghasilkan sebuah nama. Si
titik-titik tak lagi si titik-titik. Nama yang manis. Semanis senyumnya.
Entah sengaja entah saking terlalu
berkonsentrasi dengan “misinya”, si ibu mengambilkan sebungkus Surya, padahal
sebungkus Surya yang lain sudah dimasukkan putrinya ke dalam kresek hitam
bersama dua buah Sarimi kuah. Sebuah adegan yang membuat Soleman tersenyum yang
kemudian dibalas dengan senyum manis si titik-titik.
Karena ada keperluan lain, si
ibu kembali masuk ke dalam rumah. Tinggallah Soleman berdua di toko itu.
Lagi-lagi terbukti reflek Soleman payah. Padahal ada tenggang waktu cukup
lumayan untuk membuka percakapan. Setelah terdiam agak lama, sementara si
titik-titik sedang “menyusun” uang kembalian, lisan Soleman hanya bisa
bertanya, “Kuliahnya sedang libur, ya?”
Si titik-titik, lagi-lagi dengan
seulas senyum manisnya yang tampak malu-malu, menjawab, “Libur ... ehm ...
Tinggal menunggu wisuda kok, Mas.”
Lisan Soleman macet. Padahal si
titik-titik seperti sengaja menahan uang kembalian tetap di tangannya, menunggu
kalimat Soleman selanjutnya. Diamnya Soleman akhirnya membuat si titik-titik
mengulurkan uang kembalian yang segera diterima oleh Soleman. Setelah itu, tak ada
hal lain yang pantas Soleman kerjakan selain pamitan, yang ditanggapi oleh si
titik-titik dengan, “Terimakasih, Mas.”
Tetapi sebenarnya Soleman,
tepatnya, lisan Soleman, tidak segoblok itu. Ia terdiam karena terpukau oleh
kalimat “tinggal menunggu”.
Tinggal menunggu. Sebuah
kalimat yang dirasakan oleh Soleman sebagai kalimat yang datang dari langit, hanya
saja kebetulan dititipkan lewat lisan si titik-titik.
Tiba di rumah kontrakan, Soleman segera men-turn on-kan PC-nya. Satu tujuannya: mendengarkan dan menikmati Rencana Besar.mp3-nya Padi.
Tiba di rumah kontrakan, Soleman segera men-turn on-kan PC-nya. Satu tujuannya: mendengarkan dan menikmati Rencana Besar.mp3-nya Padi.
Sakura 225, 27 Nopember 2012 –
00:07
0 comments:
Post a Comment