Friday, November 16, 2012

Sebenarnya Kasihan

Para pedagang berjalan yang silih berganti masuk ke gedung kantor ini kiranya salah mengira. Melihat megahnya gedung serta melihat seragam para penghuni gedung, mereka berharap untuk sedikit mengusir murung: beberapa buah atau beberapa jenis barang dagangan mereka laku.

Kiranya bukan hanya kiranya. Lebih dari itu, mereka benar-benar salah mengira. Karena hanya ada dua macam orang penghuni gedung ini. Macam yang pertama adalah orang yang gengsi jika membeli barang “jalanan”, dan macam yang kedua adalah orang yang gajinya habis duluan sehingga, jangankan untuk membeli barang jalanan, untuk sekadar makan-minum pun orang macam ini secara terpaksa maupun secara sukacita berlomba-lomba menggasak hak orang banyak.

Terkecuali mungkin Soleman. Karena Soleman bukan orang yang suka macam-macam, suka dengan macam-macam, terlebih lagi dimacam-macamkan.

Maka alangkah malangnya perempuan pedagang berjalan yang datang barusan ini. Di samping barang dagangannya yang berupa kaos kaki dan kaos dalam itu tak laku, ia juga harus rela menerima apa yang oleh Soleman disebut sebagai pelecehan.

Perempuan itu tentu hanya bermaksud menerapkan teori pemasaran ketika ia melontarkan pernyataan yang sangat umum dan sangat mendasar di kalangan para pedagang, “Dilihat boleh, dipegang tak bayar.”

“Kalau yang dipegang penjualnya, bayar nggak?” respon seorang pejabat eselon menengah yang kebetulan ada di ruang kerja Soleman. Perempuan itu pun menjawab sekenanya sambil tersenyum, “Tidak bayar, Pak, tapi cuma dipegang saja, lho.”

Soleman memprediksikan, jika ia tidak sedang di situ, pelecehan itu akan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi intensitasnya yang sekaligus lebih menjijikkan.

Tapi mungkin memang begitulah mentalitas kebanyakan orang Indonesia saat ini. Orang terhormat merasa belum terhormat kalau sehari saja tidak melecehkan orang lain, sedangkan orang biasa merasa rendah diri dengan ke-biasaan-nya.

Kesimpulan Soleman yang lain: Jika orang yang tua saja terbukti gagal dan tidak selamat akhlaknya, maka jangan heran jika generasi muda, jika masing-masing anak mereka, berakhlak tidak hanya tidak selamat bahkan berakhlak celaka.

Soleman bukan anti orang tua. Hanya saja, tidak sekali dua kali saja Soleman dicelakai oleh orang-orang tua. Sehingga, kepada peribahasa “banyak makan asam garam” itu Soleman perlu untuk bersikap ekstrawaspada, karena peribahasa itu ternyata masih ada kelanjutannya: banyak makan asam garam dalam menyiasati dan mencelakai generasi muda.

Di sela-sela perenungan dalam keramaiannya tersebut di depan, sayup-sayup Soleman mendengar perempuan pedagang berjalan itu mohon diri. Selepas kepergiannya, orang tua yang tak selamat akhlaknya itu berujar kepada Soleman, “Sebenarnya saya kasihan kepada pedagang berjalan itu, tapi mau bagaimana lagi, barang dagangannya terbatas.”

Soleman tersentak. Sebenarnya kasihan? Siapa yang sebenarnya perlu dikasihani? Lelaki tua ini atau perempuan pedagang berjalan itu? Yang mana yang sebenarnya perlu dikasihani, orang yang melecehkan atau yang dilecehkan? Yang menghina atau yang dihina? Yang memukuli atau yang dipukuli? Yang menyingkirkan atau yang disingkirkan? Yang melukai atau yang dilukai? Yang mencuri atau yang dicuri? Yang menipu atau yang ditipu? Yang mengakali atau yang diakali?

“Saudara-saudaraku para generasi muda,” tiba-tiba Soleman naik ke meja, berdiri tegak lurus, memandang lurus ke depan, dan mengacungkan jari teluncuknya lurus ke langit, “sebenarnya kasihan generasi tua kita. Jadi mari bersama-sama kita didik mereka dengan sebaik-baiknya. Survei membuktikan bahwa orang-orang tua lebih dekat dengan kematian dibanding dengan orang-orang muda. Semoga dengan pendidikan yang kita berikan kepada generasi tua kita, mereka bisa lahir dengan selamat di alam kuburnya.”

Sakura 225, 13 Nopember 2012 – 13:55

1 comments:

Post a Comment