Para
pedagang berjalan yang silih berganti masuk ke gedung kantor ini kiranya salah
mengira. Melihat megahnya gedung serta melihat seragam para penghuni gedung,
mereka berharap untuk sedikit mengusir murung: beberapa buah atau beberapa
jenis barang dagangan mereka laku.
Kiranya
bukan hanya kiranya. Lebih dari itu, mereka benar-benar salah mengira. Karena
hanya ada dua macam orang penghuni gedung ini. Macam yang pertama adalah orang
yang gengsi jika membeli barang “jalanan”, dan macam yang kedua adalah orang
yang gajinya habis duluan sehingga, jangankan untuk membeli barang jalanan,
untuk sekadar makan-minum pun orang macam ini secara terpaksa maupun secara
sukacita berlomba-lomba menggasak hak orang banyak.
Terkecuali
mungkin Soleman. Karena Soleman bukan orang yang suka macam-macam, suka dengan
macam-macam, terlebih lagi dimacam-macamkan.
Maka
alangkah malangnya perempuan pedagang berjalan yang datang barusan ini. Di
samping barang dagangannya yang berupa kaos kaki dan kaos dalam itu tak laku,
ia juga harus rela menerima apa yang oleh Soleman disebut sebagai pelecehan.
Perempuan
itu tentu hanya bermaksud menerapkan teori pemasaran ketika ia melontarkan
pernyataan yang sangat umum dan sangat mendasar di kalangan para pedagang,
“Dilihat boleh, dipegang tak bayar.”
“Kalau
yang dipegang penjualnya, bayar nggak?” respon seorang pejabat eselon
menengah yang kebetulan ada di ruang kerja Soleman. Perempuan itu pun menjawab
sekenanya sambil tersenyum, “Tidak bayar, Pak, tapi cuma dipegang saja, lho.”
Soleman
memprediksikan, jika ia tidak sedang di situ, pelecehan itu akan berlanjut ke
tingkat yang lebih tinggi intensitasnya yang sekaligus lebih menjijikkan.
Tapi
mungkin memang begitulah mentalitas kebanyakan orang Indonesia saat ini. Orang
terhormat merasa belum terhormat kalau sehari saja tidak melecehkan orang lain,
sedangkan orang biasa merasa rendah diri dengan ke-biasaan-nya.
Kesimpulan
Soleman yang lain: Jika orang yang tua saja terbukti gagal dan tidak selamat
akhlaknya, maka jangan heran jika generasi muda, jika masing-masing anak
mereka, berakhlak tidak hanya tidak selamat bahkan berakhlak celaka.
Soleman
bukan anti orang tua. Hanya saja, tidak sekali dua kali saja Soleman dicelakai
oleh orang-orang tua. Sehingga, kepada peribahasa “banyak makan asam garam” itu
Soleman perlu untuk bersikap ekstrawaspada, karena peribahasa itu ternyata
masih ada kelanjutannya: banyak makan asam garam dalam menyiasati dan
mencelakai generasi muda.
Di
sela-sela perenungan dalam keramaiannya tersebut di depan, sayup-sayup Soleman
mendengar perempuan pedagang berjalan itu mohon diri. Selepas kepergiannya,
orang tua yang tak selamat akhlaknya itu berujar kepada Soleman, “Sebenarnya
saya kasihan kepada pedagang berjalan itu, tapi mau bagaimana lagi, barang
dagangannya terbatas.”
Soleman
tersentak. Sebenarnya kasihan? Siapa yang sebenarnya perlu dikasihani? Lelaki
tua ini atau perempuan pedagang berjalan itu? Yang mana yang sebenarnya perlu
dikasihani, orang yang melecehkan atau yang dilecehkan? Yang menghina atau yang
dihina? Yang memukuli atau yang dipukuli? Yang menyingkirkan atau yang
disingkirkan? Yang melukai atau yang dilukai? Yang mencuri atau yang dicuri?
Yang menipu atau yang ditipu? Yang mengakali atau yang diakali?
“Saudara-saudaraku
para generasi muda,” tiba-tiba Soleman naik ke meja, berdiri tegak lurus,
memandang lurus ke depan, dan mengacungkan jari teluncuknya lurus ke langit,
“sebenarnya kasihan generasi tua kita. Jadi mari bersama-sama kita didik mereka
dengan sebaik-baiknya. Survei membuktikan bahwa orang-orang tua lebih dekat
dengan kematian dibanding dengan orang-orang muda. Semoga dengan pendidikan
yang kita berikan kepada generasi tua kita, mereka bisa lahir dengan selamat di
alam kuburnya.”
Sakura
225, 13 Nopember 2012 – 13:55
1 comments:
Rasio nengdi??
Post a Comment