Seorang
mahasiswi, oleh ketidakpercayaan dirinya kepada dirinya sendiri dan terutama
kepada kasih-sayang Tuhan terhadap orang-orang yang mau mendayagunakan akal
pikirannya, datang kepada seorang “kyai”. “Besok saya ujian,” kata si
mahasiswi, “jadi saya minta tolong agar saya berhasil dalam ujian itu.”
Si
“kyai” manggut-manggut. Dan entah atas dasar apa, dengan begitu percaya dirinya
si “kyai” membekali si mahasiswi dengan “sesuatu”, “Bacalah surat Anu 7 kali
sebelum engkau mengerjakan soal-soal ujian.”
Besoknya,
karena sangat tidak percaya dirinya, si mahasiswi tidak sempat makan pagi. Rasa
gugupnya membuat surat Anu lebih bergizi dibanding sepiring nasi. Sejak bangun
pagi, itu surat Anu sudah ia baca. Dalam perjalanan menuju ruang kuliah,
mulutnya juga tetap komat-kamit membaca surat Anu itu.
Surat
Anu itu ternyata benar-benar ampuh. Tak lama setelah soal ujian dibagikan, si
mahasiswi bertingkah tak wajar. Teman-temannya sepakat bahwa ia kesurupan.
Sementara teman-temannya yang tahu tentang surat Anu 7 kali sepakat bahwa si
mahasiswi kesurupan karena tidak mengikuti petunjuk si “kyai”, “Lha wong
disuruh membaca 7 kali thok kok dibaca berkali-kali.”
Tapi
selalu, di antara banyak yang sepakat akan ada satu yang tak sepakat. Jangankan
di antara manusia, di antara malaikat dan di hadapan Tuhan langsung,
ketidaksepakatan tentang kemuliaan Adam (manusia) pun terjadi. Pada “waktu
itu”, Iblis terbukti keliru. Tapi pada waktu ini, benarlah Iblis: lihatlah
manusia yang hampir semuanya berlomba-lomba menghinakan kemanusiaan dirinya
sendiri.
Satu
yang tidak sepakat itu berkata kepada dirinya sendiri, “Lha wong mau
ujian kok minta tolong kepada “kyai”. Lha wong dikasih akal
pikiran kok minta bacaan. Lha wong ada air jernih kok milih air
comberan. Lha wong ada Ilahi kok minta tolong kyai. Lha wong ada iyya-Ka
nasta’in lha kok iyya-kyai nas’tain.”
Gumam
diri sejenak berhenti. Seteguk kopi mengalir membasahi pori-pori. Selanjutnya,
“Karena tidak mengikuti petunjuk kyai yang cuma menyuruhnya membaca 7 kali?
Hei, kebenaran macam apakah itu? Mengapa banyak orang itu tidak berpikir bahwa bahwa
kesurupannya si mahasisiwi itu karena pasukan jin kiriman si “kyai” itu marah
sebab “7” sebagai kemauannya itu tidak dituruti? Sejauh yang kuketahui, kalau 7
kali itu benar dari Tuhan, yang mewujud adalah ekstase semisal tarian Rumi atau
kebesaran jiwa Rabiah. Petunjuk Tuhan mewujud dalam bentuk keindahan dan
kedamaian. Sedangkan kesurupan, adakah satu senti saja dari adegan kesurupan
itu yang disebut sebagai keindahan dan kedamaian? Jadi, masih akan ngototkah
kalian bahwa si “kyai” itu adalah “wasilah” menuju Tuhan? Kalau kalian percaya
adanya waliyullah, akan tidak percayakah kalian kalau waliyyusysyaithan dan
waliyyuljin pun ada? Waliyullah ataukah waliyyuljin kah si kyai itu, menurut
kalian? Oh, waliyullah ya? Ya sudah kalau itu menurut kalian. Kalau
begitu, tolong sebutkan kepadaku ciri-ciri ke-waliyullah-an si “kyai”
itu kepadaku satu persatu, sehingga bisa kujelaskan pula secara satu-persatu
ke- waliyyuljin-an si “kyai” itu kepada kalian.”
Sementara
itu, si mahasiswi yang kesurupan itu, karena dirasa mengganggu jalannya ujian,
akhirnya “disingkirkan”. Seakan-akan semua sepakat: para jin dilarang ikut
ujian, sebab ujian itu hanya diperuntukkan bagi para setan.
Sakura
225, 15 Nopember 2012 – 14:52
0 comments:
Post a Comment