Pencarian tak kenal lelah akan
hikmah membuat seseorang menjadi atopos, “tak dapat dikelompokkan”.
< Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, hlm. 137 >
< Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, hlm. 137 >
Hikmah adalah tentang
wawasan—bukan pengumpulan informasi, tulis si “lengan kokoh” sebelum ia sampai
pada kesimpulan bahwa adanya orang-orang yang “tak dapat dikelompokkan”
merupakan konsekuensi dari proses pencarian hikmah yang terus-menerus dan
total.
Dengan kata lain, seseorang
bisa disebut berwawasan sedikit atau bahkan sama sekali tidak berwawasan jika
seseorang itu berhenti, merasa puas, atau merasa nyaman pada satu kelompok. Ini
tak lain juga merupakan konsekuensi dari ketidaksediaan seseorang itu untuk
terus mencari: ia merasa sudah menemukan, padahal, seperti ketidakmungkinan
seorang kapten kapal memandu kapal yang tidak bergerak, bagaimana seseorang
bisa disebut menemukan sedangkan ia tidak melakukan pencarian?
Seseorang yang lain bertanya,
“Apakah hikmah adalah sesuatu yang hilang, sehingga kita harus mencarinya?”
Tidak, hikmah tidak pernah
hilang. Hanya saja, hikmah tidak pernah bilang-bilang kalau ia ada, dan
hikmah juga tidak pernah memberitahu kita bahwa ia berjumlah tak berbilang. Ia
(hikmah) memang sengaja begitu, sengaja diam, untuk melihat siapa-siapa yang
mencarinya dan untuk menilai kualitas masing-masing pencarinya.
Jadi, ketika seseorang tidak
mencarinya, hikmah pun tak akan peduli kepadanya. Konsekuensi dari
ketidakpedulian ini adalah kejahiliyyahan: huruf A berhenti sebagai huruf A, padahal
hikmah dari adanya huruf A adalah demi terciptanya kata, terciptanya kalimat,
terciptanya paragraf, terciptanya buku, dan pada puncaknya, terbacanya alam
semesta.
Iqra’, kata Tuhan. Rattil,
kata Tuhan juga. Iqra’ mengarahkan pada perlunya pencarian, rattil
mengarahkan pada perlunya kesinambungan. Maka, jika di sekitar kita ada orang
yang menolak untuk menjadi bagian dari kelompok apa saja, sudut pandang kita
perlu digeser: ia bukan orang yang menyimpan kebencian dan memendam dendam
kepada kelompok apa saja itu, melainkan ia adalah seorang atopos.
Sesederhana itu. Dan terhadap atopos,
jangan terapkan rumus apapun selain rumus kesederhanaan hidup yang berbunyi
“hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas dijalani”.
Sakura 225, 10 Nopember 2012 –
17:03
0 comments:
Post a Comment