Saturday, November 24, 2012

Kalimat Berisyarat


Soleman ternyata tidak sendirian. Berawal dari sekadar tujuan membeli Aqua galon (asli), seperempat kilogram gula, dan satu sachet kopi Kapal Api di toko rumahan yang merupakan satu-satunya toko di perumahan tempat Soleman berdomisili sementara ini, kemudian bersambung dengan sebuah percakapan cukup panjang yang mulanya sekadar berasal dari pertanyaan tentang daerah asal Soleman yang ternyata dulu pernah dilewati oleh ibu pemilik toko, tahulah Soleman bahwa di perumahan itu ia (dalam hal salah satu statusnya sebagai alumni Gontor) berteman.

“Oh, kota M, ya? Dulu saya pernah melewati kota itu,” kata si ibu.

Kok pernah melewati, apa ada saudara ibu di sana?” Soleman menanggapi.

“Dulu waktu masih di Aceh, sekitar tahun 2001, anak saya mondok di Gontor. ”

Soleman ber-ooo sambil mengangguk-anggukkan kepala. Artinya ia tak perlu bertanya lagi tentang kota M dan kota P. Namun kesimpulan ini berakibat fatal. Karena tak ada lagi pertanyaan yang perlu ia ajukan, secara tak sadar Soleman menyampaikan kenyataan yang selama ini berusaha mati-matian ia sembunyikan dari pendengaran siapapun, “2001? Berarti saya kelas lima waktu itu. Dan sekarang anak ibu itu di mana?”

Di luar dugaan, si ibu ternyata tidak kaget dengan kenyataan diri Soleman. Dan pertanyaan Soleman dijawab dengan sebuah foto dalam pigura yang diambil dari dalam rumah, “Namanya AW. Meninggal karena kecelakaan menabrak pohon waktu sedang melaksanakan tugas kepondokan. Dan ini fotonya, barangkali jenengan pernah mengetahuinya.”

Soleman merasa pernah mendengar nama itu. Adapun tentang wajahnya, Soleman, seperti di lain-lain kesempatan, berspekulasi, “Anak ibu dulu asramanya di bagian utara, ya?”

Spekulasi Soleman diiyakan oleh si ibu. Padahal Soleman tidak benar-benar tahu. Merasa “pintu telah terbuka”, si ibu mengalirkan semacam cerita pendek yang didengarkan dengan seksama oleh Soleman.

Cerita pendek itu akhirnya diakhiri dengan satu kalimat berisyarat, “Dua pergi satu, tinggal satu yang cewek yang sekarang sedang menyelesaikan skripsi.”

Sebenarnya Soleman ingin menanggapi. Namun ada dua kendala. Pertama, reflek Soleman dalam hal yang menyangkut “percewekan” sangat payah. Kedua, di dalam sana ada si bapak yang salah statusnya adalah—kata teman Soleman—kepalanya intel wilayah C.

Maka tak lain tindakan Soleman selain segera mohon diri. Si ibu melangkah dari dalam ke teras toko, sebuah langkah yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang penjual kepada seorang pembeli. Soleman masih ingat langkah itu, persis langkah si ibu beberapa malam yang lalu ketika si ibu “mengabarkan” bahwa anaknya sudah hampir sampai di stasiun dan sedang akan dijemput oleh si bapak. Langkah itu, ya Allah, kata Soleman, seperti langkah seorang ibu yang sedang melepas kepergian anak kandungnya.

Sakura 225, 24 Nopember 2012 – 17:00

0 comments:

Post a Comment