Soleman
ternyata tidak sendirian. Berawal dari sekadar tujuan membeli Aqua galon
(asli), seperempat kilogram gula, dan satu sachet kopi Kapal Api di toko rumahan
yang merupakan satu-satunya toko di perumahan tempat Soleman berdomisili sementara
ini, kemudian bersambung dengan sebuah percakapan cukup panjang yang mulanya sekadar
berasal dari pertanyaan tentang daerah asal Soleman yang ternyata dulu pernah
dilewati oleh ibu pemilik toko, tahulah Soleman bahwa di perumahan itu ia (dalam
hal salah satu statusnya sebagai alumni Gontor) berteman.
“Oh,
kota M, ya? Dulu saya pernah melewati kota itu,” kata si ibu.
“Kok pernah melewati, apa ada saudara ibu di sana?” Soleman menanggapi.
“Dulu
waktu masih di Aceh, sekitar tahun 2001, anak saya mondok di Gontor. ”
Soleman
ber-ooo sambil mengangguk-anggukkan kepala. Artinya ia tak perlu bertanya lagi
tentang kota M dan kota P. Namun kesimpulan ini berakibat fatal. Karena tak ada
lagi pertanyaan yang perlu ia ajukan, secara tak sadar Soleman menyampaikan
kenyataan yang selama ini berusaha mati-matian ia sembunyikan dari pendengaran
siapapun, “2001? Berarti saya kelas lima waktu itu. Dan sekarang anak ibu itu
di mana?”
Di
luar dugaan, si ibu ternyata tidak kaget dengan kenyataan diri Soleman. Dan
pertanyaan Soleman dijawab dengan sebuah foto dalam pigura yang diambil dari
dalam rumah, “Namanya AW. Meninggal karena kecelakaan menabrak pohon waktu
sedang melaksanakan tugas kepondokan. Dan ini fotonya, barangkali jenengan
pernah mengetahuinya.”
Soleman
merasa pernah mendengar nama itu. Adapun tentang wajahnya, Soleman, seperti
di lain-lain kesempatan, berspekulasi, “Anak ibu dulu asramanya di bagian utara, ya?”
Spekulasi
Soleman diiyakan oleh si ibu. Padahal Soleman tidak benar-benar tahu. Merasa “pintu
telah terbuka”, si ibu mengalirkan semacam cerita pendek yang didengarkan
dengan seksama oleh Soleman.
Cerita
pendek itu akhirnya diakhiri dengan satu kalimat berisyarat, “Dua pergi satu,
tinggal satu yang cewek yang sekarang sedang menyelesaikan skripsi.”
Sebenarnya
Soleman ingin menanggapi. Namun ada dua kendala. Pertama, reflek Soleman
dalam hal yang menyangkut “percewekan” sangat payah. Kedua, di dalam
sana ada si bapak yang salah statusnya adalah—kata teman Soleman—kepalanya intel
wilayah C.
Maka
tak lain tindakan Soleman selain segera mohon diri. Si ibu melangkah dari dalam
ke teras toko, sebuah langkah yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang penjual
kepada seorang pembeli. Soleman masih ingat langkah itu, persis langkah si ibu
beberapa malam yang lalu ketika si ibu “mengabarkan” bahwa anaknya sudah hampir
sampai di stasiun dan sedang akan dijemput oleh si bapak. Langkah itu, ya
Allah, kata Soleman, seperti langkah seorang ibu yang sedang melepas kepergian
anak kandungnya.
Sakura
225, 24 Nopember 2012 – 17:00
0 comments:
Post a Comment