Sunday, November 25, 2012

Jeneng dan Jenang


Jelas Soleman terlambat. Pukul 06.00 semestinya ia sudah berangkat. Tapi sebuah keadaan memaksanya baru bisa berangkat pukul 06.30. Padahal, jarak kota C ke kota 35 KM panjangnya, sebuah ukuran yang dalam kecepatan normal membutuhkan waktu 1 jam. Jika pun kecepatan dipercepat, mentok di 45 menit. Jadi, Soleman baru akan tiba di kota B pukul 07.15, terlambat lima belas menit dari yang diintruksikan: ikut apel pagi di kantor induk pukul 07.00, dalam rangka serah terima SK fungsional.

Tanpa kekhawatiran sedikit pun, meski kali ini ia sedang langsung “berurusan” dengan kepala dinasnya, berangkatlah Soleman. Tapi bukan berarti Soleman berangkat untuk terlambat tanpa dasar: Lha wong yang rumahnya dekat saja banyak yang terlambat bahkan banyak yang tak ikut apel, apalagi yang rumahnya jauh. Dan, mengapa kalau yang tua-tua itu SK fungsionalnya diantarkan ke kantor cabangnya masing-masing, kok saya dan satu teman saya mesti mengambil sendiri dan diwajibkan ikut apel pagi?

Satu dasar lagi: Lha wong dipanggil menghadap Tuhan saja saya ini sering terlambat, apalagi kalau cuma sekadar dipanggil kepala dinas.

Pukul 07.11 Soleman berhenti di seberang jalan depan kantor induk. Di seberang sana, ia lihat beberapa orang berdiri dan bercakap-cakap. Tak terkecuali kepala dinasnya. Berarti apel pagi sudah selesai. Tak ada pilihan lain selain langsung menyalami kepala dinasnya dan menyampaikan alasan, “Pagi ini jalan raya cukup padat.”

Ruang dan waktu bergeser. Soleman dan seorang temannya sesama penerima SK fungsional duduk di dalam ruang kepala dinas. Acaranya: mendengarkan pesan dan arahan dari kepala dinas. Panjang lebar kepala dinas menyampaikan pesan dan memberikan arahan, tapi hanya satu yang palin diingat Soleman, “SK fungsional kalian baru keluar setelah saya menjadi kepala di sini, kan? Ketika kepalanya belum dan bukan saya, SK fungsional kalian tidak keluar kan?”

Soleman jadi teringat kepada Tuhan, “Bukankah AKU Tuhanmu?”

Tapi bukan masalah. Jangankan sekadar mengaku sebagai yang paling berjasa, lha wong Firaun yang mengaku sebagai Tuhan saja tetap disayang Tuhan dengan cara memberinya waktu untuk sadar dan dengan mengirimkan kepadanya seorang Musa untuk membantu proses kesadarannya, yang ternyata dua cara itu tidak berguna sehingga Tuhan “menyayangnya” dengan cara menenggelamkannya ke dalam samudera.

Konteksnya berbeda, tapi hakikatnya sama antara kepala dinasnya Soleman dengan “kepala dinasnya” Musa: keduanya sama-sama membutuhkan dan memaksakan pengakuan sebagai pihak “yang paling”. Orang Jawa bilang: golek jeneng.

Pamrih, itulah inti dan pokoknya. Dan kecenderungan inilah yang mau tidak mau harus diakui sebagai salah satu sebab dari bobroknya sistem kepemerintahan, sebab bagian terbesar dari komponen sistem itu mempunya prinsip yang sama: golek jeneng—dengan metode pencarian yang membabi-buta, membabi-tuli, menganjing-gila, mengkuda-lumping, dan mentikus-curut.

Ternyata tidak hanya kepala dinasnya Soleman saja yang pagi itu sedang golek jeneng. Seorang kepala bidang yang bertugas mengurus SK fungsional, dalam sebuah “pencariannya” menyatakan bahwa dirinyalah “orang lapangan” yang pertama kali begini, begini, dan begini. Mendengar pernyataannya, Soleman tiba-tiba merasa bahwa orang itu dan orang sebelum itu perlu segera dimonumenkan untuk mengenang segala jasa-jasanya.

Setelah orang itu pergi, Soleman berkata kepada temannya, “Saya tidak bisa memberi mereka “jeneng” sebagaimana yang mereka butuhkan, jadi mari kita iuran untuk memberi mereka “jenang”.

Jenang yang dimaksud Soleman adalah seratus ribu dan seratus ribu dan dua puluh ribu dan dua puluh ribu yang masing-masingnya dimasukkan ke dalam amplop dan digenggamkan ke tangan masing-masing para “pencari” yang sungguh tak tahu diri itu.

Maka benarlah orang-orang bijak itu ketika berkata, “Bersedekahlah kepada orang-orang kaya, karena merekalah yang paling miskin di antara orang-orang miskin.”

Sakura 225, 25 Nopember 2012 – 15:13

0 comments:

Post a Comment