Jelas Soleman terlambat. Pukul
06.00 semestinya ia sudah berangkat. Tapi sebuah keadaan memaksanya baru bisa
berangkat pukul 06.30. Padahal, jarak kota C ke kota 35 KM panjangnya, sebuah
ukuran yang dalam kecepatan normal membutuhkan waktu 1 jam. Jika pun kecepatan
dipercepat, mentok di 45 menit. Jadi, Soleman baru akan tiba di kota B
pukul 07.15, terlambat lima belas menit dari yang diintruksikan: ikut apel pagi
di kantor induk pukul 07.00, dalam rangka serah terima SK fungsional.
Tanpa kekhawatiran sedikit pun,
meski kali ini ia sedang langsung “berurusan” dengan kepala dinasnya,
berangkatlah Soleman. Tapi bukan berarti Soleman berangkat untuk terlambat
tanpa dasar: Lha wong yang rumahnya dekat saja banyak yang terlambat
bahkan banyak yang tak ikut apel, apalagi yang rumahnya jauh. Dan, mengapa
kalau yang tua-tua itu SK fungsionalnya diantarkan ke kantor cabangnya
masing-masing, kok saya dan satu teman saya mesti mengambil sendiri dan
diwajibkan ikut apel pagi?
Satu dasar lagi: Lha wong
dipanggil menghadap Tuhan saja saya ini sering terlambat, apalagi kalau cuma sekadar
dipanggil kepala dinas.
Pukul 07.11 Soleman berhenti di
seberang jalan depan kantor induk. Di seberang sana, ia lihat beberapa orang
berdiri dan bercakap-cakap. Tak terkecuali kepala dinasnya. Berarti apel pagi
sudah selesai. Tak ada pilihan lain selain langsung menyalami kepala dinasnya
dan menyampaikan alasan, “Pagi ini jalan raya cukup padat.”
Ruang dan waktu bergeser.
Soleman dan seorang temannya sesama penerima SK fungsional duduk di dalam ruang
kepala dinas. Acaranya: mendengarkan pesan dan arahan dari kepala dinas.
Panjang lebar kepala dinas menyampaikan pesan dan memberikan arahan, tapi hanya
satu yang palin diingat Soleman, “SK fungsional kalian baru keluar setelah saya
menjadi kepala di sini, kan? Ketika kepalanya belum dan bukan saya, SK
fungsional kalian tidak keluar kan?”
Soleman jadi teringat kepada
Tuhan, “Bukankah AKU Tuhanmu?”
Tapi bukan masalah. Jangankan
sekadar mengaku sebagai yang paling berjasa, lha wong Firaun yang
mengaku sebagai Tuhan saja tetap disayang Tuhan dengan cara memberinya waktu
untuk sadar dan dengan mengirimkan kepadanya seorang Musa untuk membantu proses
kesadarannya, yang ternyata dua cara itu tidak berguna sehingga Tuhan “menyayangnya”
dengan cara menenggelamkannya ke dalam samudera.
Konteksnya berbeda, tapi hakikatnya
sama antara kepala dinasnya Soleman dengan “kepala dinasnya” Musa: keduanya
sama-sama membutuhkan dan memaksakan pengakuan sebagai pihak “yang paling”.
Orang Jawa bilang: golek jeneng.
Pamrih, itulah inti dan
pokoknya. Dan kecenderungan inilah yang mau tidak mau harus diakui sebagai
salah satu sebab dari bobroknya sistem kepemerintahan, sebab bagian terbesar
dari komponen sistem itu mempunya prinsip yang sama: golek jeneng—dengan
metode pencarian yang membabi-buta, membabi-tuli, menganjing-gila, mengkuda-lumping,
dan mentikus-curut.
Ternyata tidak hanya kepala
dinasnya Soleman saja yang pagi itu sedang golek jeneng. Seorang kepala
bidang yang bertugas mengurus SK fungsional, dalam sebuah “pencariannya”
menyatakan bahwa dirinyalah “orang lapangan” yang pertama kali begini, begini,
dan begini. Mendengar pernyataannya, Soleman tiba-tiba merasa bahwa orang itu dan
orang sebelum itu perlu segera dimonumenkan untuk mengenang segala
jasa-jasanya.
Setelah orang itu pergi,
Soleman berkata kepada temannya, “Saya tidak bisa memberi mereka “jeneng”
sebagaimana yang mereka butuhkan, jadi mari kita iuran untuk memberi mereka “jenang”.
Jenang yang dimaksud Soleman adalah seratus
ribu dan seratus ribu dan dua puluh ribu dan dua puluh ribu yang
masing-masingnya dimasukkan ke dalam amplop dan digenggamkan ke tangan
masing-masing para “pencari” yang sungguh tak tahu diri itu.
Maka benarlah orang-orang bijak
itu ketika berkata, “Bersedekahlah kepada orang-orang kaya, karena merekalah
yang paling miskin di antara orang-orang miskin.”
Sakura 225, 25 Nopember 2012 –
15:13
0 comments:
Post a Comment