Entah siapa yang mendidikku dulu sehingga kini menjadi manusia paling rewel. Aku sering kewalahan menghadapi diriku sendiri. Yang Nadjib tentram-tentram dan dingin saja, yang Ainun bisa santun dan akomodatif. Tapi si Emha ini mblunat, mbrengkel, ngeyel tak karuan. < Jamaah Kaffah, Puasa Itu Puasa, hlm. 88 >
Membaca
pernyataan Emha (kini Muhammad) tersebut di depan, seakan saya sendirilah yang
menulis pernyataan itu. Bedanya, Emha dilahirkan dan menjadi menjadi penulis
dan menjadi manusia jauh lebih dahulu daripada saya yang entah bisa berhasil
menjadi penulis dan entah berhasil menjadi manusia atau tidak.
Kalimat pertama
yang berisi pertanyaan tentang siapa yang mendidik, tak lain adalah pertanyaan
saya juga. Sebuah pertanyaan yang sekaligus adalah sebuah jawaban: ketika
seseorang memperlakukan siapa saja dan apa saja yang “dihidangkan” ke “meja”
kehidupannya sebagai guru atau sebagai buku pelajaran atau sebagai alat peraga,
tak soal hidangan itu enak atau tak enak dalam hal rasa, tak masalah hidangan
itu baik atau buruk dalam hal bentuk, tak beda hidangan itu mengenyangkan atau
justru semakin membuat lapar dalam hal kadar, pertanyaan “entah siapa yang
mendidik” menjadi sebuah pertanyaan yang wajar terlontar.
Pada puncak
sekaligus pada dasarnya akhirnya adalah pengakuan terhadap keutuhan, terhadap
lingkaran, terhadap garis edar, dan terutama sikap terhadap pertanyaan afahasibtum
annamaa khalaqnakum ‘abatsa. Tidak ada yang sia-sia dalam segenap “karya
cipta” Tuhan, sehingga tiap-tiap dari segenap itu adalah guru, adalah pendidik.
Dari sini sesuatu dapat ditarik: ketika seorang guru ternyata gagal atau bahkan
dengan sengaja berniat untuk tidak mendatangkan sekaligus tidak menjadi manfaat
bagi murid-muridnya, ketika itu pula si guru menyatakan dirinya sebagai bukan
“karya cipta” Tuhan, dan ketika seseorang secara terbuka maupun tertutup
menyatakan diri sebagai bukan “karya cipta” Tuhan, ia hanya perlu satu langkah
lagi untuk bisa sejajar dengan langkah kaki para peragu Tuhan.
Jadi, “entah
siapa” tidak berarti Emha atau saya atau siapa saja yang seide dalam hal ini
mensekunderkan atau bahkan meminggirkankan siapa atau apa saja yang menjadi
software yang terinstall. Justru sebaliknya, “entah siapa” adalah pengakuan,
adalah kesaksian, adalah syahadat tentang “tidak ada sesuatu selain pendidikan,
tidak ada pendidikan selain totalitas sebagaimana yang diaplikasikan oleh para
utusan, dan pada akhirnya, tidak ada tuhan selain Tuhan”.
Aku sering
kewalahan menghadapi diriku sendiri, kata Emha selanjutnya. Dan begitulah yang
juga saya rasakan. Yang H bisa biasa-biasa saja, bisa tentram, dingin, santun,
maupun akomodatif. Tapi yang F ini mblunat, mbrengkel, ngeyel tak karuan.
H yang berarti
keinginan yang kuat, cita-cita yang tinggi, atau harapan yang besar, sejauh
yang bisa saya rasakan dengan indera "suruh temu rose", sampai dengan saat
ini enjoy-enjoy saja. Melihat ada orang punya mobil mahal, si H cuma
bilang, “Lihatlah, ada manusia dinaiki dan disetir mobil.” Sehabis mengunyah
satu porsi makanan kelas atas, si H cuma bilang, “Tunggulah beberapa saat, dan
apa yang kau kunyah barusan tak akan berbeda dengan sepiring nasi berlauk tempe
goreng dan sambal bawang.” Mendengar ada orang naik pangkat atau menjadi
pejabat berkat jasa kerabat, si H cuma bilang, “Dunia tak sama dengan akhirat,
dan derajat jauh lebih bernilai daripada pangkat dan martabat.”
Maka saya
tinggal bertarung menghadapi F. Repotnya, F ini meski tak bersenjata, tenaga
dalamnya lebih membunuh daripada senjata apapun. Berkali-kali saya mati terkena
aliran tenaga dalamnya, tetapi berkali-kali pula saya dihidupkan kembali oleh F
ini. F yang berarti pembeda, penyaring, atau pengadil ini kekuatannya hampir
seperti wasit dalam pertandingan sepakbola yang seorang diri bisa mengalahkan
22 pemain di dalam lapangan plus 2 pelatih yang berdiri di luar lapangan.
Sebagai pemain
dan sesekali sebagai pelatih, saya sering protes kepada F, mengapa ia tak
berdamai saja dengan kecurangan, dengan atraksi jegal-menjegal (tackling),
dengan kepura-puraan (diving). Atau mengapa tidak ia biarkan saja
permainan terus berjalan meskipun bola keluar lapangan. Atau mengapa tidak
sahkan saja gol demi gol meski jelas-jelas offside.
Mula-mula, F
berkenan mendengarkan celoteh remeh ini dengan sabar dan seksama. Tetapi begitu
saya sampai pada “mengapa tidak berdamai saja”, “mengapa tidak dibiarkan saja”,
“mengapa tidak disahkan saja”, merah hitamlah mukanya dan bergemuruhlah
suaranya, “Mengapa tidak kau potong saja kelelakianmu? Belum sampaikah kepadamu
pengertian mengapa ada lelaki yang bisa berdiri tegak lurus dan ada lelaki yang
justru sebaliknya? Bukankah mereka yang tidak bisa berdiri tegak lurus itu
diliputi oleh berlapis-lapis kesedihan? Begitulah seharusnya engkau. Adaku
adalah untuk melapisimu dengan kesedihan setiap kali kau lihat kecurangan,
keculasan, kepura-puraan, ataupun segala hal yang segaris lurus dengan
keadaan-keadaan itu, dengan harapan, dari lapisan kesedihan itu bisa kau
lahirkan kesadaran personal untuk kau ubah menjadi penyadaran komunal. Jadi mblunat,
mbrengkel, ngeyel tak karuanku ini tak lain adalah gairah yang sedang
mengejawantah. Tanpa gairah, engkau tak akan bisa berdiri tegak lurus. Dan
ketika engkau tak bisa berdiri tegak lurus, tak ada kepuasan yang bisa engkau
berikan. Sedangkan jika engkau tak bisa mempersembahkan kepuasan, masih
pantaskah engkau berdoa memohon keridhaan?”
Gemuruh suara F
membuat saya seperti seorang penjaga gawang yang menyaksikan gawangnya sedang
dijadikan lumbung gol. Di depan saya, lapangan kesunyian terhampar. Tuhan, untuk
bisa “memuaskan-Mu”, tampaknya saya masih perlu ridha-Mu untuk lebih dulu bisa
memuaskan seorang perempuan. Dan saya sungguh bermohon, perempuan itu mbok ya yang
masih perawan.
Amiin, jawab F dan H
berbarengan.
Sakura 225, 06
Nopember 2012 – 00:37
0 comments:
Post a Comment