Tuesday, November 6, 2012

Antara Gairah, Kepuasan, dan Keridhaan


Entah siapa yang mendidikku dulu sehingga kini menjadi manusia paling rewel. Aku sering kewalahan menghadapi diriku sendiri. Yang Nadjib tentram-tentram dan dingin saja, yang Ainun bisa santun dan akomodatif. Tapi si Emha ini mblunat, mbrengkel, ngeyel tak karuan. < Jamaah Kaffah, Puasa Itu Puasa, hlm. 88 >

Membaca pernyataan Emha (kini Muhammad) tersebut di depan, seakan saya sendirilah yang menulis pernyataan itu. Bedanya, Emha dilahirkan dan menjadi menjadi penulis dan menjadi manusia jauh lebih dahulu daripada saya yang entah bisa berhasil menjadi penulis dan entah berhasil menjadi manusia atau tidak.

Kalimat pertama yang berisi pertanyaan tentang siapa yang mendidik, tak lain adalah pertanyaan saya juga. Sebuah pertanyaan yang sekaligus adalah sebuah jawaban: ketika seseorang memperlakukan siapa saja dan apa saja yang “dihidangkan” ke “meja” kehidupannya sebagai guru atau sebagai buku pelajaran atau sebagai alat peraga, tak soal hidangan itu enak atau tak enak dalam hal rasa, tak masalah hidangan itu baik atau buruk dalam hal bentuk, tak beda hidangan itu mengenyangkan atau justru semakin membuat lapar dalam hal kadar, pertanyaan “entah siapa yang mendidik” menjadi sebuah pertanyaan yang wajar terlontar.

Pada puncak sekaligus pada dasarnya akhirnya adalah pengakuan terhadap keutuhan, terhadap lingkaran, terhadap garis edar, dan terutama sikap terhadap pertanyaan afahasibtum annamaa khalaqnakum ‘abatsa. Tidak ada yang sia-sia dalam segenap “karya cipta” Tuhan, sehingga tiap-tiap dari segenap itu adalah guru, adalah pendidik. Dari sini sesuatu dapat ditarik: ketika seorang guru ternyata gagal atau bahkan dengan sengaja berniat untuk tidak mendatangkan sekaligus tidak menjadi manfaat bagi murid-muridnya, ketika itu pula si guru menyatakan dirinya sebagai bukan “karya cipta” Tuhan, dan ketika seseorang secara terbuka maupun tertutup menyatakan diri sebagai bukan “karya cipta” Tuhan, ia hanya perlu satu langkah lagi untuk bisa sejajar dengan langkah kaki para peragu Tuhan.

Jadi, “entah siapa” tidak berarti Emha atau saya atau siapa saja yang seide dalam hal ini mensekunderkan atau bahkan meminggirkankan siapa atau apa saja yang menjadi software yang terinstall. Justru sebaliknya, “entah siapa” adalah pengakuan, adalah kesaksian, adalah syahadat tentang “tidak ada sesuatu selain pendidikan, tidak ada pendidikan selain totalitas sebagaimana yang diaplikasikan oleh para utusan, dan pada akhirnya, tidak ada tuhan selain Tuhan”.

Aku sering kewalahan menghadapi diriku sendiri, kata Emha selanjutnya. Dan begitulah yang juga saya rasakan. Yang H bisa biasa-biasa saja, bisa tentram, dingin, santun, maupun akomodatif. Tapi yang F ini mblunat, mbrengkel, ngeyel tak karuan.

H yang berarti keinginan yang kuat, cita-cita yang tinggi, atau harapan yang besar, sejauh yang bisa saya rasakan dengan indera "suruh temu rose", sampai dengan saat ini enjoy-enjoy saja. Melihat ada orang punya mobil mahal, si H cuma bilang, “Lihatlah, ada manusia dinaiki dan disetir mobil.” Sehabis mengunyah satu porsi makanan kelas atas, si H cuma bilang, “Tunggulah beberapa saat, dan apa yang kau kunyah barusan tak akan berbeda dengan sepiring nasi berlauk tempe goreng dan sambal bawang.” Mendengar ada orang naik pangkat atau menjadi pejabat berkat jasa kerabat, si H cuma bilang, “Dunia tak sama dengan akhirat, dan derajat jauh lebih bernilai daripada pangkat dan martabat.”

Maka saya tinggal bertarung menghadapi F. Repotnya, F ini meski tak bersenjata, tenaga dalamnya lebih membunuh daripada senjata apapun. Berkali-kali saya mati terkena aliran tenaga dalamnya, tetapi berkali-kali pula saya dihidupkan kembali oleh F ini. F yang berarti pembeda, penyaring, atau pengadil ini kekuatannya hampir seperti wasit dalam pertandingan sepakbola yang seorang diri bisa mengalahkan 22 pemain di dalam lapangan plus 2 pelatih yang berdiri di luar lapangan.

Sebagai pemain dan sesekali sebagai pelatih, saya sering protes kepada F, mengapa ia tak berdamai saja dengan kecurangan, dengan atraksi jegal-menjegal (tackling), dengan kepura-puraan (diving). Atau mengapa tidak ia biarkan saja permainan terus berjalan meskipun bola keluar lapangan. Atau mengapa tidak sahkan saja gol demi gol meski jelas-jelas offside.

Mula-mula, F berkenan mendengarkan celoteh remeh ini dengan sabar dan seksama. Tetapi begitu saya sampai pada “mengapa tidak berdamai saja”, “mengapa tidak dibiarkan saja”, “mengapa tidak disahkan saja”, merah hitamlah mukanya dan bergemuruhlah suaranya, “Mengapa tidak kau potong saja kelelakianmu? Belum sampaikah kepadamu pengertian mengapa ada lelaki yang bisa berdiri tegak lurus dan ada lelaki yang justru sebaliknya? Bukankah mereka yang tidak bisa berdiri tegak lurus itu diliputi oleh berlapis-lapis kesedihan? Begitulah seharusnya engkau. Adaku adalah untuk melapisimu dengan kesedihan setiap kali kau lihat kecurangan, keculasan, kepura-puraan, ataupun segala hal yang segaris lurus dengan keadaan-keadaan itu, dengan harapan, dari lapisan kesedihan itu bisa kau lahirkan kesadaran personal untuk kau ubah menjadi penyadaran komunal. Jadi mblunat, mbrengkel, ngeyel tak karuanku ini tak lain adalah gairah yang sedang mengejawantah. Tanpa gairah, engkau tak akan bisa berdiri tegak lurus. Dan ketika engkau tak bisa berdiri tegak lurus, tak ada kepuasan yang bisa engkau berikan. Sedangkan jika engkau tak bisa mempersembahkan kepuasan, masih pantaskah engkau berdoa memohon keridhaan?”

Gemuruh suara F membuat saya seperti seorang penjaga gawang yang menyaksikan gawangnya sedang dijadikan lumbung gol. Di depan saya, lapangan kesunyian terhampar. Tuhan, untuk bisa “memuaskan-Mu”, tampaknya saya masih perlu ridha-Mu untuk lebih dulu bisa memuaskan seorang perempuan. Dan saya sungguh bermohon, perempuan itu mbok ya yang masih perawan.

Amiin, jawab F dan H berbarengan.

Sakura 225, 06 Nopember 2012 – 00:37

0 comments:

Post a Comment