Soleman tidak pernah
benar-benar tahu mizan apa yang ada dalam lubuk akal dan lubuk hati
beberapa temannya itu. Tentangnya. Hanya satu yang tersisa: terharu. Maha Kuasa
Tuhan yang telah menautkan hati-hati dan akal-akal itu dengan rahman dan
rahim-Nya.
Pada momentum pertama, tiga
orang teman menemani Soleman. Sungguh sebuah pertunjukan kesejatian:
sesungguh-sungguhnya teman adalah yang ada dan sedia ketika sedang dalam
kesusahan.
Teman keempat, seorang guru
yang oleh suatu keadaan terpaksa harus pergi-pulang Madiun-Blora, berangkat
dari Madiun dengan tujuan mengajar di tempatnya bertugas. Tapi begitu
mengetahui momentum kesusahan Soleman, berbeloklah ia. Bergabung dengan tiga
teman Soleman yang telah lebih dulu menemani Soleman. Adapun teman kelima,
karena datang dari rute yang berbeda, baru bergabung setelah Soleman menjawab
sms-nya tentang apakah Soleman sudah sampai di tempat.
Soleman bukan
seorang penakut. Apalagi pengecut. Momentum kesusahan itu insya Allah
bisa ia hadapi sendirian. Bahkan, hingga detik-detik akhir menjelang
keberangkatan, tidak sepatah kata ajakan atau permohonan pun Soleman lontarkan
kepada teman-temannya yang baik-baik itu. Jadi itu murni inisiatif teman-teman
Soleman sendiri, yang “dipercikkan” oleh Entah Siapa.
Lebih lagi, kelima teman
Soleman itu bukan para pengangguran. Empat orang guru SD, satu orang pegawai
kantor Kesatuan Bangsa & Politik. Semoga Tuhan mengampuni dosa Soleman
beserta kelima temannya yang telah dengan sengaja meninggalkan apa-apa yang
semestinya tidak mereka tinggalkan.
Pada momentum kedua, karena kelima
teman Soleman melihat—berdasarkan momentum pertama—bahwa Soleman dalam “keadaan
aman”, mempercayakan “keamanan dan keselamatan” Soleman kepada salah satu dari
mereka. Sementara itu, teman kelima yang datang dari jalur yang berbeda,
seperti pada momentum pertama, menanyakan lewat sms apakah Soleman sudah sampai
di tempat, sambil juga mengabarkan bahwa teman keenam akan ikut menemani
Soleman.
Soleman tak percaya. Bagaimana
mungkin teman keenam itu akan ikut menemani, sedangkan banyak yang tahu, tidak
mudah untuk “kabur” dari kantor tempat di mana teman keenam itu bertugas.
Teman-teman Soleman ternyata
memang orang-orang yang tidak suka main-main. Teman keenam itu, seorang
penganut Katolik, datang bersama teman kelima. Setelah menjabat tangan Soleman,
ia berkata, “Seandainya momentum pertama itu aku tahu, niscaya aku datang untuk
menemanimu.”
Lagi-lagi Soleman terharu. Jasa
apakah yang telah Soleman berikan kepadanya, juga kepada teman-teman yang lain,
sehingga mereka bersikap seperti itu?
***
Karena belum juga Soleman
mendapat giliran, sementara teman kelima dan teman keenam itu sudah cukup lama
menemani Soleman yang sekaligus juga sudah cukup lama meninggalkan tempat
tugasnya masing-masing, kedua teman itu berpamitan untuk meninggalkan Soleman.
Soleman mengiyakan.
Namun sebuah keadaan memaksa
Soleman untuk meminta teman kelima kembali. Ibarat trisula, teman kelimanya itu
adalah salah satu dari dua ujung yang mengapit ujung tengah trisula.
Tidak berapa lama, datanglah
ia. Padahal ia sedang nikmat-nikmatnya makan siang bersama istrinya. Dan yang
lebih dari itu, ia sedang ditunggu oleh Wakil Bupati dalam kapasitasnya sebagai
orang partai.
Tapi teman kelima tahu mana
yang lebih perlu. Atau barangkali teman kelima itu sudah ketularan virus
Soleman: “meremehkan” kekuasaan. Wakil Bupati itu pun disemayani satu
setengah jam lagi. Sebuah perkiraan waktu yang dihitung berdasarkan momentum
kesusahan Soleman.
Sesampai di rumah kontrakan,
Soleman mengirim sms kepada teman kelima, “Mohon maaf karena telah menyita
waktumu hari ini, dan terimakasih karena baru kali ini seorang Soleman bisa
mengalahkan seorang wakil Bupati.”
Tak lama kemudian, sms balasan
masuk, “Diamput.”
Jangan sangka “diamput” sebagai
ungkapan kemarahan atau luapan kejengkelan. “Diamput” dalam sms itu justru menggambarkan
betapa akrabnya Soleman dengan temannya itu. Semua teman Soleman tampaknya
tahu, Soleman lebih gembira diakrabi dengan pisuhan berbasis ketulusan daripada
dengan pujian yang menipu dan menggelincirkan.
Sakura 225, 2 Desember 2012 –
16:13
0 comments:
Post a Comment