I
Aku mengutus si Fulan kepada kalian dan mengintruksikan kepadanya untuk tugas demikian.
II
Kalian harus mendengarnya dan mematuhinya. Berikan kepadanya apa saja yang ia minta dari kalian.
Tetapi tunggu dulu. Mengapa ada
“jurang yang menganga” antara surat I dan surat II? Surat I menunjukkan ajakan
bahkan intruksi kepada rakyat agar di samping siap untuk dipimpin, juga agar turut
bersama-sama mengawasi “alif” atau “bukan alif”-nya si Gubernur” atau “Bupati”
atau “Camat” yang ditempatkan oleh Presiden. Sementara surat II menunjukkan besarnya
kepercayaan “Presiden” kepada “Gubernur” atau “Bupati” atau “Camat” yang ia
tempatkan, sehingga rakyat tidak perlu bertambah kerjaan lagi. Pilih kasihkah “Presiden”
Umar? Atau jangan-jangan surat II itu dikhususkan bagi anggota partai tertentu?
Surat II memang khusus. Khususnya
khusus. Karena surat II hanya berlaku atas satu orang saja: Hudzaifah ibnu al-Yaman.
Famili Umar ibn al-Khattab-kah Hudzaifah? Atau pernah berhutang jasakah Umar
ibn al-Khattab kepada Hudzaifah?
Memang, terhadap informasi
apapun dari siapapun dalam bentuk bagaimanapun, kewajiban kita adalah tidak
langsung mempercayainya. Tapi, terhadap sahabat Hudzaifah ibn al-Yaman, kecurigaan
yang berupa pertanyaan-pertanyaan tersebut di depan merupakan kewaspadaan yang
tidak diperlukan. Keberatan macam apakah yang membuat seseorang merasa perlu
mencurigai seseorang yang oleh al-amin Muhammad saw. dipercaya untuk menjadi “brankas”
nama-nama orang munafik?
Orang bisa berubah. Tetapi
tidak Hudzaifah. Ada banyak orang yang ketika “bukan siapa-siapa” begitu
sederhana dan bersahaja, mendadak berlagak bak raja setelah menjadi “siapa-siapa”.
Ada banyak orang yang hidup jujur dan tidak pernah mencuri ketika tidak punya
apa-apa, tetapi mendadak menjadi pembohong kalap dan maling kelas kakap justru
ketika segala benda dan segala fatamorgana sudah tergenggam di tangannya.
Semoga saya (juga siapa saja
yang bersedia) tertular istiqamahnya Hudzaifah, seorang yang “kepergian” dan “kedatangannya”
tidak diselingi oleh setetes pun perubahan; seorang yang ketika menjadi rakyat
tidak punya apa-apa dan ketika menjadi pejabat juga tetap tidak punya apa-apa.
Mustafa Azami menuturkan, “Begitu
Umar melihat (keadaan) Hudzaifah masih seperti yang beliau lihat ketika pergi
untuk untuk menunaikan tugasnya ke Mada’in, beliau langsung menghampirinya dan
merangkulnya, “Kamu adalah saudaraku. Aku adalah saudaramu.”
Alhasil, bersaudaralah Umar ibn
al-Khattab dan Hudzaifah ibn al-Yaman. Padahal antara keduanya tidak ada
persambungan garis silsilah. Dan atas Hudzaifah, surat II itu pun sangat sah.
Semoga segera lahir ribuan Hudzaifah
dari rahim ibu pertiwi yang hampir memasuki periode menopause ini.
Sakura 225, 6 Desember 2012 –
23.48
0 comments:
Post a Comment