Friday, December 7, 2012

Hudzaifah


I

Aku mengutus si Fulan kepada kalian dan mengintruksikan kepadanya untuk tugas demikian.


II

Kalian harus mendengarnya dan mematuhinya. Berikan kepadanya apa saja yang ia minta dari kalian.


Menurut Ibnu Sirin dan dikutip Mustafa Azami kemudian saya kutip lagi dalam tulisan ini, I dan II adalah dua jenis surat dari “Presiden” Umar ibn al-Khattab kepada seluruh rakyat di masing-masing “propinsi” atau “kabupaten” atau “kecamatan” di mana seorang “Gubernur” atau “Bupati” atau “Camat” ditempatkan. Sungguh sebuah perwujudan bentuk penghormatan dari seorang pemimpin terhadap yang dipimpin sekaligus sebuah kenyataan yang berkebalikan dengan “presiden-presiden” kita saat ini.

Tetapi tunggu dulu. Mengapa ada “jurang yang menganga” antara surat I dan surat II? Surat I menunjukkan ajakan bahkan intruksi kepada rakyat agar di samping siap untuk dipimpin, juga agar turut bersama-sama mengawasi “alif” atau “bukan alif”-nya si Gubernur” atau “Bupati” atau “Camat” yang ditempatkan oleh Presiden. Sementara surat II menunjukkan besarnya kepercayaan “Presiden” kepada “Gubernur” atau “Bupati” atau “Camat” yang ia tempatkan, sehingga rakyat tidak perlu bertambah kerjaan lagi. Pilih kasihkah “Presiden” Umar? Atau jangan-jangan surat II itu dikhususkan bagi anggota partai tertentu?

Surat II memang khusus. Khususnya khusus. Karena surat II hanya berlaku atas satu orang saja: Hudzaifah ibnu al-Yaman. Famili Umar ibn al-Khattab-kah Hudzaifah? Atau pernah berhutang jasakah Umar ibn al-Khattab kepada Hudzaifah?

Memang, terhadap informasi apapun dari siapapun dalam bentuk bagaimanapun, kewajiban kita adalah tidak langsung mempercayainya. Tapi, terhadap sahabat Hudzaifah ibn al-Yaman, kecurigaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan tersebut di depan merupakan kewaspadaan yang tidak diperlukan. Keberatan macam apakah yang membuat seseorang merasa perlu mencurigai seseorang yang oleh al-amin Muhammad saw. dipercaya untuk menjadi “brankas” nama-nama orang munafik?

Orang bisa berubah. Tetapi tidak Hudzaifah. Ada banyak orang yang ketika “bukan siapa-siapa” begitu sederhana dan bersahaja, mendadak berlagak bak raja setelah menjadi “siapa-siapa”. Ada banyak orang yang hidup jujur dan tidak pernah mencuri ketika tidak punya apa-apa, tetapi mendadak menjadi pembohong kalap dan maling kelas kakap justru ketika segala benda dan segala fatamorgana sudah tergenggam di tangannya.

Semoga saya (juga siapa saja yang bersedia) tertular istiqamahnya Hudzaifah, seorang yang “kepergian” dan “kedatangannya” tidak diselingi oleh setetes pun perubahan; seorang yang ketika menjadi rakyat tidak punya apa-apa dan ketika menjadi pejabat juga tetap tidak punya apa-apa.

Mustafa Azami menuturkan, “Begitu Umar melihat (keadaan) Hudzaifah masih seperti yang beliau lihat ketika pergi untuk untuk menunaikan tugasnya ke Mada’in, beliau langsung menghampirinya dan merangkulnya, “Kamu adalah saudaraku. Aku adalah saudaramu.”

Alhasil, bersaudaralah Umar ibn al-Khattab dan Hudzaifah ibn al-Yaman. Padahal antara keduanya tidak ada persambungan garis silsilah. Dan atas Hudzaifah, surat II itu pun sangat sah.

Semoga segera lahir ribuan Hudzaifah dari rahim ibu pertiwi yang hampir memasuki periode menopause ini.

Sakura 225, 6 Desember 2012 – 23.48

0 comments:

Post a Comment