Friday, December 28, 2012

Presiden RC 100


I
Jelas saya berhak misuh. Sebagai koordinator yang berarti sebagai yang pangkatnya lebih tinggi dan yang levelnya lebih senior, tidak wajar jika ia masih memerlukan saya sekadar untuk bertandang ke rumah kader-kader. Lha wong saya saja yang bukan koordinator, baik ketika bertugas di wilayah R maupun di wilayah S yang sekarang ini, mengunjungi untuk pertama kali satu persatu rumah kader-kader itu tanpa diantar oleh siapapun. Bahkan juga tanpa petunjuk dari orang-orang yang semestinya memberi petunjuk dan yang semestinya mengantarkan saya.

Bukankah tugasnya kini lebih mudah? Saya sudah memberinya petunjuk masing-masing jalan menuju ke rumah masing-masing kader. Selanjutnya tinggal berjalan mengikuti apa kata petunjuk.

Untunglah di dalam kepala saya selalu ada alasan untuk meminimalisir kuantitas dan intensitas pisuhan. Tak apalah. Memang terkadang ada orang yang tua umurnya namun abg mentalnya. Salah satu bentuk mental abg adalah cari untung dan cari muka. Seakan-akan ia yang bekerja, padahal tidak sama sekali. Sudah begitu, masih minta “jatah” lebih banyak dengan dasar bahwa ia satu tingkat di atas saya. 

II
Setelah dua kader desa terdatangi dan terlewati, tibalah kini kami di desa T. Sebuah desa terpelosok dibanding 9 desa yang lain di wilayah tugas kami. Kader kami di desa ini seorang istri kepala desa, sehingga bagi saya pribadi, perlu sedikit berhati-hati dalam berkomunikasi dibanding 9 kader yang lain. Apalagi, dalam kunjungan kami kali ini, kader kami didampingi oleh suaminya.

Untungnya, kami adalah juga aparat pemerintah. Sehingga sesama aparat pemerintah harus saling berhati-hati. Sekali tak berhati-hati, bisa berantakanlah skema dan rencana kerja kami (tampaknya, kata “kami” dalam kalimat ini lebih tepat diganti dengan “saya”).
Untungnya lagi, tidak sebagaimana hari sebelumnya, saya tidak bertandang sendiri. Ada koordinator sekaligus senior saya. Sehingga saya menjadi cukup leluasa untuk menggeluti hobi saya: diam.



III
Setelah sejenak basa-basi yang diikuti beberapa kalimat tentang proyeksi calon akseptor, tentang adik Kepala Desa yang sedang dioperasi, dan tentang satu dua nama perempuan yang dipromosikan kepada saya, tiba-tiba tibalah kami (kata “kami” di sini tampaknya lebih tepat diganti dengan “mereka”) pada perbincangan tentang mujarabnya air sendang di desa itu. Sendang itu diberi nama Sendang Putri. Sebuah nama yang tentu saja tidak membutuhkan akta kelahiran, KK, dan e-ktp.

Air sendang itu tidak hanya mujarab sebagai obat. Tetapi juga sebagai syarat utama bagi para pejabat yang berkeinginan untuk naik “pangkat”. Mantan Gubernur Jateng sekaligus mantan Mendagri konon berhasil menjadi Mendagri setelah beberapa hari sebelumnya mandi di sendang itu. Ada juga mantan Bupati yang dulu berhasil menjadi Bupati karena beberapa hari sebelumnya melakukan hal (kata “hal” di sini tampaknya lebih tepat diganti dengan “kebodohan) yang sama. Begitu juga dengan seorang mantan Sekda yang dulu berhasil menjadi Sekda “sebab” air sendang itu.

Tak kuasa saya membayangkan bagaimana orang-orang hebat itu mandi di tempat terbuka dengan kemungkinan besar dilakukan pada malam hari. Yang terbayangkan justru sebuah parodi: Seluruh warga desa T suatu hari nanti pasti menjadi pejabat tinggi, sebab seluruh warga desa T pasti sudah pernah mandi di sendang itu. Sedikit harapan lagi dari saya: semoga Presiden RI periode 2014 dan seterusnya nanti adalah salah seorang dari warga desa T.

IV
Mendadak saya hentikan ekspresi palsu yang saya pasang di tampang saya. Tampang saya yang semula saya “sederhanakan” agar tampak seia-sekata dengan mereka tentang sendang itu, berubah teksturnya begitu Bapak kepala Desa bilang bahwa Kepala Departemen Agama Kabupaten B yang sekarang ini, berhasil naik pangkat menjadi Kepala setelah beberapa hari sebelumnya mandi di sendang itu.

Kepala Departemen Agama? Departemen Agama? Kepala? Agama? Kepalanya atau agamanyakah yang hilang, sehingga bodoh dan tunduk kepada sendang, hanya demi mendapatkan sesuatu yang tak begitu bermutu itu?

Maka jelaslah sudah. Sebab utama ketidakberesan negeri ini, atau yang lebih sempit lagi, sebab utama ketidakberesan kabupaten ini, tak lain adalah karena pejabat-pejabatnya memegang jabatannya tidak berdasarkan "SK Atasan" (kata “Atasan” di sini lebih tepat diganti dengan “Tuhan”) melainkan berdasarkan SK Sendang.

V
Setelah berpamitan, saya datang ke sendang. Tidak untuk melakukan kebodohan yang sama karena saya sama sekali tidak berminat menjadi pejabat apalagi menjadi pejabat yang bodoh, melainkan untuk mengantarkan koordinator sekaligus senior saya. Tidak perlu heran, jangankan datang ke sendang yang tuan rumahnya tidak jelas itu, datang ke rumah yang tuan rumahnya dan arah jalannya sudah jelas pun ia masih perlu diantar.

Dari bawah sebuah pohon sangat besar, saya melihat ia melepas sepatu dan kaos kakinya kemudian membasuh seluruh anggota badannya yang memungkinkan untuk dibasuh. Sementara itu, di sebelahnya ada seorang bapak sedang mencuci sepeda motornya.

Semoga sepeda motor bapak itu berhasil menjadi Presiden RC100.

Cepu, 26 Desember 2012 – 22:28

1 comments:

Post a Comment