I
Jelas saya berhak misuh.
Sebagai koordinator yang berarti sebagai yang pangkatnya lebih tinggi dan yang
levelnya lebih senior, tidak wajar jika ia masih memerlukan saya sekadar untuk
bertandang ke rumah kader-kader. Lha wong saya saja yang bukan koordinator,
baik ketika bertugas di wilayah R maupun di wilayah S yang sekarang ini,
mengunjungi untuk pertama kali satu persatu rumah kader-kader itu tanpa diantar
oleh siapapun. Bahkan juga tanpa petunjuk dari orang-orang yang semestinya
memberi petunjuk dan yang semestinya mengantarkan saya.
Bukankah tugasnya kini lebih
mudah? Saya sudah memberinya petunjuk masing-masing jalan menuju ke rumah
masing-masing kader. Selanjutnya tinggal berjalan mengikuti apa kata petunjuk.
Untunglah di dalam kepala saya
selalu ada alasan untuk meminimalisir kuantitas dan intensitas pisuhan. Tak
apalah. Memang terkadang ada orang yang tua umurnya namun abg mentalnya. Salah
satu bentuk mental abg adalah cari untung dan cari muka. Seakan-akan ia yang
bekerja, padahal tidak sama sekali. Sudah begitu, masih minta “jatah” lebih
banyak dengan dasar bahwa ia satu tingkat di atas saya.
II
Setelah dua kader desa
terdatangi dan terlewati, tibalah kini kami di desa T. Sebuah desa terpelosok
dibanding 9 desa yang lain di wilayah tugas kami. Kader kami di desa ini
seorang istri kepala desa, sehingga bagi saya pribadi, perlu sedikit
berhati-hati dalam berkomunikasi dibanding 9 kader yang lain. Apalagi, dalam
kunjungan kami kali ini, kader kami didampingi oleh suaminya.
Untungnya, kami adalah juga aparat
pemerintah. Sehingga sesama aparat pemerintah harus saling berhati-hati. Sekali
tak berhati-hati, bisa berantakanlah skema dan rencana kerja kami (tampaknya,
kata “kami” dalam kalimat ini lebih tepat diganti dengan “saya”).
Untungnya lagi, tidak sebagaimana
hari sebelumnya, saya tidak bertandang sendiri. Ada koordinator sekaligus
senior saya. Sehingga saya menjadi cukup leluasa untuk menggeluti hobi saya:
diam.
III
Setelah sejenak basa-basi yang
diikuti beberapa kalimat tentang proyeksi calon akseptor, tentang adik Kepala
Desa yang sedang dioperasi, dan tentang satu dua nama perempuan yang
dipromosikan kepada saya, tiba-tiba tibalah kami (kata “kami” di sini tampaknya
lebih tepat diganti dengan “mereka”) pada perbincangan tentang mujarabnya air
sendang di desa itu. Sendang itu diberi nama Sendang Putri. Sebuah nama yang
tentu saja tidak membutuhkan akta kelahiran, KK, dan e-ktp.
Air sendang itu tidak hanya
mujarab sebagai obat. Tetapi juga sebagai syarat utama bagi para pejabat yang
berkeinginan untuk naik “pangkat”. Mantan Gubernur Jateng sekaligus mantan
Mendagri konon berhasil menjadi Mendagri setelah beberapa hari sebelumnya mandi
di sendang itu. Ada juga mantan Bupati yang dulu berhasil menjadi Bupati karena
beberapa hari sebelumnya melakukan hal (kata “hal” di sini tampaknya lebih
tepat diganti dengan “kebodohan) yang sama. Begitu juga dengan seorang mantan
Sekda yang dulu berhasil menjadi Sekda “sebab” air sendang itu.
Tak kuasa saya membayangkan
bagaimana orang-orang hebat itu mandi di tempat terbuka dengan kemungkinan
besar dilakukan pada malam hari. Yang terbayangkan justru sebuah parodi:
Seluruh warga desa T suatu hari nanti pasti menjadi pejabat tinggi, sebab
seluruh warga desa T pasti sudah pernah mandi di sendang itu. Sedikit harapan
lagi dari saya: semoga Presiden RI periode 2014 dan seterusnya nanti adalah
salah seorang dari warga desa T.
IV
Mendadak saya hentikan ekspresi
palsu yang saya pasang di tampang saya. Tampang saya yang semula saya
“sederhanakan” agar tampak seia-sekata dengan mereka tentang sendang itu,
berubah teksturnya begitu Bapak kepala Desa bilang bahwa Kepala Departemen
Agama Kabupaten B yang sekarang ini, berhasil naik pangkat menjadi Kepala
setelah beberapa hari sebelumnya mandi di sendang itu.
Kepala Departemen Agama? Departemen
Agama? Kepala? Agama? Kepalanya atau agamanyakah yang hilang, sehingga bodoh
dan tunduk kepada sendang, hanya demi mendapatkan sesuatu yang tak begitu
bermutu itu?
Maka jelaslah sudah. Sebab
utama ketidakberesan negeri ini, atau yang lebih sempit lagi, sebab utama
ketidakberesan kabupaten ini, tak lain adalah karena pejabat-pejabatnya
memegang jabatannya tidak berdasarkan "SK Atasan" (kata “Atasan” di
sini lebih tepat diganti dengan “Tuhan”) melainkan berdasarkan SK Sendang.
V
Setelah berpamitan, saya datang
ke sendang. Tidak untuk melakukan kebodohan yang sama karena saya sama sekali
tidak berminat menjadi pejabat apalagi menjadi pejabat yang bodoh, melainkan
untuk mengantarkan koordinator sekaligus senior saya. Tidak perlu heran,
jangankan datang ke sendang yang tuan rumahnya tidak jelas itu, datang ke rumah
yang tuan rumahnya dan arah jalannya sudah jelas pun ia masih perlu diantar.
Dari bawah sebuah pohon sangat
besar, saya melihat ia melepas sepatu dan kaos kakinya kemudian membasuh
seluruh anggota badannya yang memungkinkan untuk dibasuh. Sementara itu, di
sebelahnya ada seorang bapak sedang mencuci sepeda motornya.
Semoga sepeda motor bapak itu
berhasil menjadi Presiden RC100.
Cepu, 26 Desember 2012 – 22:28
1 comments:
Kapan-kapan adus ahh..
Post a Comment