Soleman tak pernah menyangka bahwa “pada akhirnya” “berita”
tentang bakal adanya dua macam siasat atau tipu daya terhadapnya yang ia “dengar”
dua tahun yang lalu itu terbukti kebenarannya. Tak tanggung-tanggung, siasat
atau tipu daya terhadapnya itu datang dari orang yang sebelumnya ia hormati dan
ia percaya sebagai orang yang dapat dipercaya.
Orang itu ia hormati karena orang itu adalah atasannya
sendiri. Orang itu ia percaya sebagai orang yang dapat dipercaya karena orang
itu terlihat hampir selalu shalat dhuhur berjamaah di masjid. Selain itu, orang
itu adalah seorang wakil ketua sebuah yayasan pendidikan milik salah satu ormas
Islam besar di Indonesia. Sejauh pengetahuan Soleman, ormas Islam tersebut
terkenal dengan “kemurnian” dan “kesungguh-sungguhan” anggota-anggotanya.
Orang yang ia hormati dan ia percaya itu pun sering
berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain untuk berceramah dan berkhutbah.
Jadi tidak ada alasan bagi Soleman untuk tidak menghormati dan tidak
mempercayainya.
Tetapi tidak tertutup kemungkinan seorang pemilik pisau
teriris tangannya oleh pisaunya sendiri. Dan tidak ada jaminan orang yang
senantiasa menghormati dan berbaik sangka kepada orang lain akan mendapatkan
perlakuan yang serupa dari orang-orang yang ia hormati dan ia baik sangkai. Dan
inilah yang dialami oleh Soleman, baru-baru ini.
Hasil siasat atau tipu daya itu luar biasa dahsyatnya.
Andai Tuhan tidak menyelamatkan Soleman, hampir bisa dipastikan “kehidupan”
Soleman hancur berantakan, atau setidaknya posisi Soleman akan seperti seekor
ayam jantan yang terpaksa harus bertarung sampai akhir kehidupan dengan
segerombolan serigala, dalam sebuah sangkar!
Hasil dari siasat atau tipu daya itu, berdasarkan
perenungan Soleman, setidaknya terdiri dari tiga unsur: tragedi, ironi, dan
komedi. Sebuah drama kehidupan yang mustahil terjadi tapi niscaya terjadi.
Soleman bahkan berpikiran seakan-akan Tuhan memberinya sebuah bahan tulisan
untuk ia tuangkan dalam bentuk novel yang berpeluang menggemparkan dunia
perbukuan, atau setidaknya dunia pernovelan.
Tiga unsur tersebut di antaranya juga tersusun atas
keluguan Soleman dan kelicik picikan para penipunya. Ya, para penipu, karena
usut punya usut, siasat atau tipu daya itu dirancang tidak hanya oleh orang
yang ia hormati dan ia percayai saja, melainkan juga beberapa orang lainnya.
Dari beberapa orang penipu itu, dua orang di antaranya adalah aktor dan faktor
utama. Dua aktor dan faktor utama inilah yang kemudian menghasilkan kesimpulan
sementara yang “meluruskan” “berita” yang Soleman dengar dua tahun yang lalu:
bukan dua macam tipu daya melainkan dua orang yang bekerja sama dan
bahu-membahu merancang siasat dan menjalankan tipu daya terhadapnya.
Tidak sepenuhnya “berita” itu salah. Bisa jadi yang
menimpa Soleman benar-benar dua macam tipu daya. Satu tipu daya adalah yang
terjadi baru-baru ini, satu tipu daya yang lain terjadi sudah cukup lama, yaitu
tipu daya tentang uang. Tapi bagi Soleman, tipu daya tentang uang ini tidak ia
anggap sebagai tipu daya karena adanya tipu daya tentang uang ini justru “menyelamatkan”
Soleman dari “api dunia” dan “api akhirat”.
Lagipula, insya Allah Soleman bukan jenis orang yang bisa
dengan mudah disilaukan oleh “cahaya” uang.
Maka para penipu itu sungguh-sungguh salah prediksi.
Mereka mengira bahwa Soleman adalah orang yang seperti orang pada umumnya,
orang yang bisa “dibentuk” dan “dibekuk” dengan uang. Sungguh tak ada guna
mereka mengiming-imingi Soleman dengan uang, dalam berbagai bentuknya. Karena Soleman
ternyata adalah orang yang tidak umum.
Ketidakumuman Soleman berpangkal pada dua hal: iman dan
amin. Atau percaya dan dapat dipercaya. Soleman percaya bahwa Tuhan itulah
sejatinya cahaya, sementara uang justru adalah kebalikannya. Dan untuk keimanan
macam ini, Soleman tak henti berjuang untuk dapat dipercaya sebagai orang yang bertugas
memantulkan cahaya ke ruang-ruang yang digelapkan oleh kemilau uang.
Iman dan Amin. Percaya dan dapat dipercaya. Orang baru layak
disebut beriman jika ia terbukti sebagai orang yang dapat dipercaya. Atas dua
hal pangkal ini, Soleman tidak boleh disalahkan jika kemudian ia menanggalkan
rasa hormatnya dan rasa percayanya kepada orang yang selama ini ia hormati dan
ia percayai.
Soleman benar-benar meragukan keimanan orang itu, meski
orang itu berceramah dan berkhutbah ke sana kemari dan selalu shalat berjamaah
setiap hari. Bahkan meskipun ada “bekas sujud” di itu dahi.
Sakura 225, 27 Juni 2012 – 13:56
0 comments:
Post a Comment