Thursday, September 27, 2012

Di Ketiaknya Aku Berlindung


Engkau telah mendapatkan pelajaran besar bahwa apa yang tampak baik di permukaan matamu tidak bisa dijadikan pegangan. Ya, engkau telah mendapatkan pelajaran itu. Maksudku, engkau sudah pernah membaca teks pelajaran itu, tapi konteks pelajaran besar itu, ya baru kemarin itu engkau dapatkan.

Maka Ibrahim-lah engkau. Maksudku, engkau seperti Ibrahim yang ilmu kepasrahannya diteguhkan dengan kenyataan bahwa burung yang disembelih dan dipotong-potong dan masing-masing bagiannya diletakkan di tempat terpisah dan berjauhan pun bisa digabungkan kembali dan dihidupkan.

Maka burung yang disembelih dan dipotong-potong dan disaling jauhkan itulah engkau. Maksudku, engkau seperti burung yang disembelih itu. Jalur udara dan jalur makan-minummu dipotong. Harapan-harapan dan cita-cita dalam kepalamu dipotong seiring dengan terpisahnya kepala dari lehermu. Atau leher dari kepalamu. Darah gairahmu menetes keluar hingga tetes penghabisan. Otot-otot daya ciptamu lemas kemudian membeku. Urat-urat kesadaranmu kaget kemudian pingsan. Tapi insya Allah tidak lama, karena juga tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk menggabungkan dan menghidupkan kembali burung Ibrahim.

Maka Musa-lah Engkau. Maksudku, engkau seperti Musa yang pingsan di hadapan wajah Tuhan. Tetapi setelah bangun, tiba-tiba tongkatmu menjadi menjadi ular raksasa. Dan dari ketiakmu memancar cahaya.

Tetapi, seperti tidak berarti sama. Maka engkau bukan Ibrahim, bukan pula Musa. Kalau burung, mungkin iya. Dan karena engkau burung, maka terimalah kenyataan yang telah terjadi: engkau diburu dan dijadikan sasaran peluru.

Tentang burung, ada tiga pilihan untukmu. Pertama, berlatihlah terbang secepat buraq. Kedua, tirulah tongkat Musa: ketika pemburu membidikmu, berubahlah jadi ular untuk kemudian memangsa pemburumu. Ketiga, bersaranglah di ketiak Musa.

Tentu engkau memilih yang pertama atau yang kedua. Karena, bukankah kesaktian merupakan hal yang diidam-idamkan banyak orang? Apalagi jika kesaktian itu didapatkan dengan cuma-cuma; didapatkan dengan tanpa pengorbanan apa-apa. Tetapi bukan kesaktian semacam itu yang dikehendaki Tuhan untukmu. Biarlah yang burung tetap burung, biarlah yang ular tetap ular. Sedangkan buraq, biarlah kecepatan itu ia miliki sendirian. Tak usah dengki tak usah iri. Masing-masing disediakan jatahnya sendiri.

Maka, wahai burung, bersaranglah di ketiak Musa. Pada zaman puncak gelap gulita ini, jangankan engkau, cahaya pun memilih untuk berlindung di ketiak Musa.

Sakura 225, 11 September 2012 – 16:11

0 comments:

Post a Comment