Tuesday, September 18, 2012

Maka Teruslah Bersabar

Soleman terperanjat. Secara hakikat, bisik suara dari seberang sana, tugasmu bukanlah bekerja. Lihatlah, pekerjaan macam apakah penyuluh keluarga berencana itu? Sesuaikah itu dengan proses perjalananmu dalam menuntut ilmu?

Tengoklah ke belakang. Empat tahun engkau ditempa dalam samudera bahasa Arab. Kemudian engkau berlabuh sejenak. Setelah itu, karena telah kau kuasai jalur layar samudera itu, engkau diberi jalur berikutnya. Empat tahun pula, dan kenyanglah engkau “makan” Alquran.

Memang jalur layar baru itu belum sepenuhnya kau kuasai. Tapi setidaknya, engkau sedikit lebih benar-benar tahu jalur itu daripada orang-orang yang sok tahu tentang Alquran itu. Engkau pernah berlayar di atas samudera Alquran, sedangkan kebanyakan mereka tahu samudera Alquran hanya dari qiila wa qaala; dari “katanya”.

Kembali kepada masalah pekerjaan, jika ada alasan bahwa dipilihnya sarjana agama untuk mengisi formasi penyuluh keluarga berencana adalah agar bisa lebih sukses dalam melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh agama yang salah satu metode pendekatannya adalah dengan “mempersembahkan” ayat-ayat Alquran yang proKB, maka alangkah murahnya “harga” Alquran. Sedangkan engkau tahu, dengan keras Tuhan mengecam sekaligus mengancam orang-orang yang “membeli” (dan kemudian “menjual”) ayat-ayat Alquran dengan ”harga yang murah”.

Alasan semacam itu teramat sangat remeh dan sepele. Sekaligus membingungkan. Bagaimana tidak. Kebanyakan tokoh-tokoh agama itu adalah batu: sekali mereka temukan ayat Alquran yang berdasarkan penafsiran mereka sendiri bersifat menguntungkan mereka, selamanya akan mereka genggam erat ayat itu. Tak ada sedikitpun ketertarikan mereka untuk memperlakukan ayat-ayat Alquran secara adil.

Karena batu, maka berbondong-bondonglah orang-orang tak berilmu memberhalakannya. Dasarnya sama: batu-batu itu menguntungkan mereka.

Jadi, tanpa bantuan dan kehendak Tuhan, apa daya seorang sarjana agama sepertimu untuk mengubah batu menjadi manusia? Sedangkan Musa saja terheran-heran melihat tongkatnya menjelma naga.

Maka semoga tidak salah kabar yang kuterima ini, bisik suara dari seberang sana itu sekali lagi. Tugasmu bukanlah bekerja sebagaimana lazimnya orang bekerja. Tugasmu yang sesungguhnya adalah berdakwah. Mengajak orang kembali kepada kebaikan-kebaikan yang bentuk dan modelnya terjabarkan dalam Alquran.

Itulah mungkin sebabnya engkau “diselundupkan” ke dalam sebuah sistem, yang dalam hal ini adalah sistem kepemerintahan sebuah daerah. Karena kebanyakan orang-orang yang berada dalam sistem itu sudah sejak lama pergi meninggalkan kebaikan. Tak percaya? Bukankah di manapun letakmu dalam lingkaran sistem itu, selalu kaualami kenyataan bahwa hak-hakmu dicuri pada siang hari dan pencurian itu dilakukan di depan matamu sendiri? Bukankah ada kenyataan yang baru saja terjadi bahwa engkau dijebak untuk tenggelam ke dasar sumur konspirasi tingkat tinggi?

Dakwah tidak harus dengan kata-kata. Keteguhan dan kerendahan hatimu, serta caramu “meremehkan” uang dan kekuasaan, dengan perkenan dan bantuan Tuhan, serta seiring dengan perjalanan waktu, akan dapat membuka mata sebagian dari mereka sehingga dengan terpaksa ataupun dengan sukarela mereka akan kembali kepada kebaikan-kebaikan yang telah dan terus diajarkan Tuhan melalui Alquran.

Ini hanya kabar. Dan kabar, sebagaimana harta ataupun segala yang bersifat fana, tidak pernah punya hak untuk dijadikan sumber kebanggaan. Justru waspadalah engkau: bekerja sebagaimana lazimnya orang bekerja adalah hal yang lebih mudah dikerjakan daripada berdakwah.

Karena itulah tugasmu, maka teruslah bersabar. Hattaa ya’tiyallah bi amriHi.

Sulaiman berdakwah melalui hilangnya cincin kerajaan. Ibrahim berdakwah melalui pedang untuk menyembelih putranya sendiri dan melalui kobaran api. Yusuf berdakwah melalui hari-hari gelap dalam dasar sumur dan dalam pengap penjara. Ayyub berdakwah melalui sakit keras yang hampir melelehkan hatinya. Isa berdakwah melalui pengkhianatan muridnya. Muhammad berdakwah melalui pasir yang ditaburkan ke atas kepalanya dan melalui kotoran unta yang setiap hari dihidangkan di depan pintu rumahnya.

Karena itulah contohnya, maka teruslah bersabar. Inna nashrallah qariib.

Sakura 225, 18 September 2012 – 19:37

0 comments:

Post a Comment