Thursday, September 27, 2012

Majelis Kebangkitan

Jika suhu mempunyai penggaris bernama termometer; jika tekanan mempunyai penggaris bernama barometer; jika massa mempunyai penggaris bernama neraca; jika kebohongan mempunyai penggaris bernama lie detector; jika dedikasi mempunyai penggaris bernama daftar hadir alias buku absen, bahkan cahaya pun mempunyai penggaris bernama  lux meter, dan jika hampir segala hal dalam zaman yang gila detail ini masing-masingnya mempunyai penggaris sendiri-sendiri, tidak demikian halnya dengan kebodohan.

Orang akan bilang bahwa raport atau indeks prestasi sebagai penggarisnya kebodohan, mengingat naik atau tidak naik kelasnya seorang siswa dilihat berdasarkan nilai raport; mengingat tepat atau tak tepat waktu lulusnya seorang mahasiswa dinilai dari nilai indeks prestasi.

Tepatkah demikian? Sesungguhnya bukan. Cukup banyak manusia-manusia sukses yang pernah tidak naik kelas atau bahkan yang tidak tamat kuliah.

Maka bingunglah Soleman sepanjang satu jam dalam ruang persegi tempat tukang cukur itu mengumpulkan nasi bagi anak, istri, dan dirinya sendiri: penggaris bernama apa yang akan dia pakai untuk mengukur kebodohan satu orang tukang cukur beserta tiga orang calon “pasiennya” itu?

Kebingungan Soleman bermula dari kebingungan seorang teman yang ndak sempat-sempat memendekkan rambut, sedangkan sang teman adalah seorang guru yang jelas rambut panjangnya tak boleh ditiru oleh anak-anak didiknya. Jadi, keberadaan Soleman di ruang persegi itu hanyalah untuk menemani seorang teman, dan Soleman sama sekali tidak pernah berharap bahwa selama masa menemani itu ia terpaksa harus mendengarkan ocehan tiga orang bodoh tanpa bisa berkata sepatah kata pun. Rumusnya jelas: tanggapan terhadap ocehan orang bodoh adalah diam.

Bagaimana tidak bodoh kalau satu dari tiga orang tersebut menyatakan bahwa MTA mengharamkan tahlilan dan menghalalkan zina. Bagaimana tidak bodoh kalau dua dari tiga orang tersebut mengamini pernyataan tersebut. Kemudian ketiganya secara bergantian dan kadang secara berbarengan sahut-menyahut dengan komentar-komentar yang benar menurut kebodohan mereka masing-masing.

Bagaimana tidak bodoh kalau satu dari tiga orang tersebut menyatakan bahwa MTA mengharamkan kenduri dan menghalalkan anjing, babi, maupun anjing sekaligus babi. Bagaimana tidak bodoh kalau dua dari tiga orang tersebut mengamini pernyataan tersebut. Kemudian ketiganya secara bergantian dan kadang secara berbarengan sahut-menyahut dengan komentar-komentar yang benar menurut kebodohan mereka masing-masing.

Bagaimana tidak bodoh kalau satu dari tiga orang tersebut menyatakan bahwa ia pernah melihat ada orang MTA yang membuang ke tempat sampah seketika itu juga ketika nasi kenduri diantarkan ke rumahnya. Lebih bodoh lagi, dua dari tiga orang tersebut masing-masingnya mengaku juga pernah melihat hal yang serupa. Seakan-akan insiden “nasi kenduri masuk tempat sampah” itu merupakan hal yang pasti dan selalu dilakukan oleh orang MTA, dan seakan-akan masing-masing dari tiga orang tersebut adalah waliyullah yang ditugaskan khusus untuk menyaksikan secara langsung orang MTA membuang nasi kenduri ke tempat sampah.

Setelah puas bersahut-sahutan, satu dari tiga orang tersebut mengambil konklusi, “Rupanya mereka bercita-cita menjadi Nabi.”

Soleman berpindah kursi. Sebatang matahari ia selipkan di sudut bibirnya. Sambil menyandarkan kepalanya, cc demi cc asap ia kepulkan dari cerobongnya. Orang MTA-kah Soleman?

Tentu bukan. Jangankan digolongkan sebagai orang MTA, digolongkan sebagai orang saja belum tentu. Lagipula, dari kepulan asap dari mulut Soleman, Soleman lebih dekat untuk digolongkan sebagai orang NU, meskipun dengan bersungguh-sungguh Soleman berkata bahwa ia lebih baik disebut sebagai orang-orangan sawah daripada disebut sebagai orang NU.

Jadi apa sebab Soleman mengepulkan asap dan menyandarkan kepalanya? Fitnahlah yang menyebabkan kepala Soleman bertambah beratnya. Lho, bukankah Soleman bukan orang MTA, jadi mengapa ia merasa susah?

Soleman jauh dari pantas untuk disebut beriktikad membela Islam, tetapi kalau keutuhan umat Islam terganggu oleh upaya adu domba melalui fitnah-fitnah picisan yang disulut oleh “pemuka-pemuka” agama Islam yang ketakutan kehilangan pengikut dan sekaligus kehilangan pendapatan, Soleman tidak bisa untuk tidak tersinggung. Bagaimana tidak tersinggung, sedemikian hebat Muhammad saw. menderita demi keutuhan umatnya, lha kok yang dibela-belain malah berlomba-lomba memecah diri. Untung Soleman sudah cukup terlatih untuk menyalurkan ketersinggungannya itu melalui kepulan asap rokoknya.

Soleman memejamkan mata, “Ya Allah, siapakah pembawa kayu bakar sekaligus penyulut api fitnah ini, yang sedemikian berhasil membakar akal sehat sedemikian banyak orang?

Dalam pejaman mata, Soleman mendengar suara, “Heran saya, kok MTA tidak dilarang oleh Pemerintah?”

Mendengar suara itu Soleman tersenyum, “Nah, inilah penggarisnya: Pemerintah tidak melarang MTA karena MTA memang tidak pernah menyatakan bahwa Allah menghalalkan zina, anjing, babi, zina dan babi, zina dan anjing, anjing dan babi, atau zina sekaligus anjing sekaligus babi. Dan tidak ada orang MTA yang membuang nasi kenduri ke tempat sampah karena yang bukan orang MTA jelas tidak mau mengantarkan nasi kenduri ke rumah orang MTA.”

Melihat Soleman tersenyum sendiri, sang teman yang sedang antri untuk dibabat rambutnya memandang Soleman dengan ekspresi mohon penjelasan. Yang dipandang hanya menjawab pendek, “Fitnah itu ternyata mengasyikkan, dan kebodohan yang membungkus fitnah itu ternyata menggelikan.”

Dalam perjalanan pulang dari tempat cukur, sang teman menyampaikan sebuah pemikiran, “Jangan-jangan mereka mengira kita orang MTA, karena kita tidak berkicau ketika mereka berkicau?”

Soleman menjawab, “Masak orang MTA merokok? Tapi bisa juga sih mereka mengira begitu, lha wong zina saja dihalalkan oleh MTA, pasti merokok lebih dari itu, sangat amat halal sekali. Ah, ndak masalah siapa saja mau mengira kita sebagai apa saja. Lha wong saya ini dikira sebagai orang kafir, orang munafik, orang ndak jelas, atau orang-orangan sawah pun ndak masalah. Tapi saran saya, melihat bahwa domba yang sedang diadu adalah NU dan MTA, orang-orang itu sebaiknya mengira saya sebagai orang MK, Majelis Kebangkitan. Majelis diambil dari M-nya MTA, Kebangkitan diambil dari N-nya NU.”

Nahdhah itu artinya kebangkitan, majlis itu artinya tempat duduk. Maka menjadi jelaslah urutannya sekaligus urusannya: untuk bisa disebut berposisi bangkit, orang terlebih dahulu harus berada dalam posisi duduk.

Sakura 225, 26 September 2012 – 23:41

0 comments:

Post a Comment