Konon ada sebuah alat yang membedakan
manusia dengan makhluk lain: akal. Sebuah alat yang telah berabad-abad terbukti
benar-benar hebat dalam fungsinya sebagai pembeda antara manusia dengan
makhluk-makhluk lain. Namun juga ada sebuah alat lain yang juga tak bisa
dipungkiri kehebatannya: agama.
Sulit dibayangkan jika manusia berjalan
dan berlalu di dunia tanpa agama, sedangkan ada sangat banyak agama saja, banyak
manusia yang terbukti tak ada bedanya dengan makhluk lain, khususnya hewan. Dan
utamanya setan.
Apakah banyak manusia itu tak
beragama? Tidak juga. Bahkan beberapa di antara banyak manusia “yang tak ada
bedanya” itu adalah tokoh-tokoh agama. Apakah banyak manusia itu tidak berakal?
Tidak juga. Bahkan beberapa di antara banyak manusia “yang tak ada bedanya” itu
adalah tokoh-tokoh intelektual.
Ini fakta. Tapi bukan berarti agama
dan akal gagal menjalankan fungsinya. Tokoh-tokoh itulah yang gagal
memfungsikan agama dan akal sehingga gagal pula lah tokoh-tokoh itu untuk
membedakan diri mereka dari hewan atau setan. Sebuah kegagalan yang “dibintangi”
oleh lebih dari satu aktor, tapi digerakkan oleh hanya satu faktor: melanggar
batas.
Agama atau pun akal “gagal” karena batasan-batasannya
dilanggar. Batas bahwa agama dan akal hanyalah “alat” dilanggar sedemikian rupa
sehingga agama atau pun akal “naik pangkat” menjadi Tujuan.
Ironisnya, orang yang menjadikan
agama sebagai tujuan menyalah-nyalahkan orang yang menjadikan akal sebagai tujuan,
begitu juga sebaliknya. Orang yang satu menertawakan kebodohan orang yang
men-Tujuan-kan akal, sedangkan orang yang ditertawakan balik menertawakan orang
yang men-Tujuan-kan agama. Masing-masing saling menertawakan dan
membodoh-bodohkan dengan dasar bergudang-gudang argumentasi, bertumpuk-tumpuk
logika, dan beribu-ribu ayat Kitab Suci.
Padahal kalau diteliti dengan
kombinasi akal dan hati, bergudang-gudang argumentasi, bertumpuk-tumpuk logika,
dan beribu-ribu ayat Kitab Suci yang dijadikan dasar untuk saling menertawakan
dan membodoh-bodohkan itu bukanlah dasar, melainkan permukaan.
Dalam sebuah forum pengajian, si
penceramah berkisah tentang Isra’ Mi’raj yang salah satu content-nya
adalah kisah tentang indah dan luar biasanya surga. Si penceramah mengisahkan
surga dengan cara berkisah yang seakan-akan menegaskan dirinya sudah pernah ke
berziarah ke surga. Keironisan meningkat tegangannya begitu si penceramah
menggaris bawahi kisahnya dengan sebuah pernyataan, “Karena itu kita harus
punya kapal, karena surga itu letaknya seperti pulau yang berada di seberang.
Kita tidak akan bisa sampai ke pulau seberang tanpa kapal.”
Sebuah pertunjukan logika yang
sepintas tepat tapi sebenarnya cukup jauh meleset, karena bagi orang yang hafal
di luar kepala berbagai metode dan bahasa “mesin pengeruk massa”, “kapal” yang
dimaksud oleh si penceramah adalah salah satu dari organisasi-organisasi keagamaan yang ada, dan bagi si penceramah,
hanya “kapal” yang sedang ia tumpangi saja yang bisa mengantarkan penumpang
sampai ke “pulau seberang”. Karena itu, si penceramah jadi merasa “berkewajiban”
untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk menumpang satu-satunya kapal yang
bisa mengantarkan penumpang sampai ke pulau seberang.
Dengan begitu, jadilah kapalnya si
penceramah itu sebagai tujuan. Padahal tak ada jaminan bahwa kapal itu tidak
akan mengalami kebocoran atau kerusakan atau kehabisan bahan bakar atau
kelebihan muatan di tengah perjalanan menuju “pulau seberang”.
Di samping itu, pertunjukan logika
tersebut di atas tak lain sekaligus merupakan pertunjukan ketaktahudirian:
kurang besarkah dan kurang terjaminkah kapal bernama Islam, sehingga ada orang
yang rela menyibukkan diri mengajak orang banyak untuk menumpang perahu lain
bernama ormas Islam?
Sebuah logika yang terbukti tak
berdasar. Tapi sebaiknya dimaafkan. Harus dimaklumi, si penceramah terlanjur
terbiasa tidak memfungsikan akalnya. Padahal dengan tegas Alquran menyatakan
diri sebagai petunjuk bagi orang-orang yang berakal.
Sakura 225, 13 Juli 2012 – 01:40
0 comments:
Post a Comment