Friday, July 13, 2012

Menyoal Logika Kapal: Sebuah Kisah tentang Logika Tak Berdasar


Konon ada sebuah alat yang membedakan manusia dengan makhluk lain: akal. Sebuah alat yang telah berabad-abad terbukti benar-benar hebat dalam fungsinya sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk-makhluk lain. Namun juga ada sebuah alat lain yang juga tak bisa dipungkiri kehebatannya: agama.

Sulit dibayangkan jika manusia berjalan dan berlalu di dunia tanpa agama, sedangkan ada sangat banyak agama saja, banyak manusia yang terbukti tak ada bedanya dengan makhluk lain, khususnya hewan. Dan utamanya setan.

Apakah banyak manusia itu tak beragama? Tidak juga. Bahkan beberapa di antara banyak manusia “yang tak ada bedanya” itu adalah tokoh-tokoh agama. Apakah banyak manusia itu tidak berakal? Tidak juga. Bahkan beberapa di antara banyak manusia “yang tak ada bedanya” itu adalah tokoh-tokoh intelektual.

Ini fakta. Tapi bukan berarti agama dan akal gagal menjalankan fungsinya. Tokoh-tokoh itulah yang gagal memfungsikan agama dan akal sehingga gagal pula lah tokoh-tokoh itu untuk membedakan diri mereka dari hewan atau setan. Sebuah kegagalan yang “dibintangi” oleh lebih dari satu aktor, tapi digerakkan oleh hanya satu faktor: melanggar batas.

Agama atau pun akal “gagal” karena batasan-batasannya dilanggar. Batas bahwa agama dan akal hanyalah “alat” dilanggar sedemikian rupa sehingga agama atau pun akal “naik pangkat” menjadi Tujuan.

Ironisnya, orang yang menjadikan agama sebagai tujuan menyalah-nyalahkan orang yang menjadikan akal sebagai tujuan, begitu juga sebaliknya. Orang yang satu menertawakan kebodohan orang yang men-Tujuan-kan akal, sedangkan orang yang ditertawakan balik menertawakan orang yang men-Tujuan-kan agama. Masing-masing saling menertawakan dan membodoh-bodohkan dengan dasar bergudang-gudang argumentasi, bertumpuk-tumpuk logika, dan beribu-ribu ayat Kitab Suci.

Padahal kalau diteliti dengan kombinasi akal dan hati, bergudang-gudang argumentasi, bertumpuk-tumpuk logika, dan beribu-ribu ayat Kitab Suci yang dijadikan dasar untuk saling menertawakan dan membodoh-bodohkan itu bukanlah dasar, melainkan permukaan.

Dalam sebuah forum pengajian, si penceramah berkisah tentang Isra’ Mi’raj yang salah satu content-nya adalah kisah tentang indah dan luar biasanya surga. Si penceramah mengisahkan surga dengan cara berkisah yang seakan-akan menegaskan dirinya sudah pernah ke berziarah ke surga. Keironisan meningkat tegangannya begitu si penceramah menggaris bawahi kisahnya dengan sebuah pernyataan, “Karena itu kita harus punya kapal, karena surga itu letaknya seperti pulau yang berada di seberang. Kita tidak akan bisa sampai ke pulau seberang tanpa kapal.”

Sebuah pertunjukan logika yang sepintas tepat tapi sebenarnya cukup jauh meleset, karena bagi orang yang hafal di luar kepala berbagai metode dan bahasa “mesin pengeruk massa”, “kapal” yang dimaksud oleh si penceramah adalah salah satu dari organisasi-organisasi  keagamaan yang ada, dan bagi si penceramah, hanya “kapal” yang sedang ia tumpangi saja yang bisa mengantarkan penumpang sampai ke “pulau seberang”. Karena itu, si penceramah jadi merasa “berkewajiban” untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk menumpang satu-satunya kapal yang bisa mengantarkan penumpang sampai ke pulau seberang.

Dengan begitu, jadilah kapalnya si penceramah itu sebagai tujuan. Padahal tak ada jaminan bahwa kapal itu tidak akan mengalami kebocoran atau kerusakan atau kehabisan bahan bakar atau kelebihan muatan di tengah perjalanan menuju “pulau seberang”.

Di samping itu, pertunjukan logika tersebut di atas tak lain sekaligus merupakan pertunjukan ketaktahudirian: kurang besarkah dan kurang terjaminkah kapal bernama Islam, sehingga ada orang yang rela menyibukkan diri mengajak orang banyak untuk menumpang perahu lain bernama ormas Islam?

Sebuah logika yang terbukti tak berdasar. Tapi sebaiknya dimaafkan. Harus dimaklumi, si penceramah terlanjur terbiasa tidak memfungsikan akalnya. Padahal dengan tegas Alquran menyatakan diri sebagai petunjuk bagi orang-orang yang berakal.

Sakura 225, 13 Juli 2012 – 01:40

0 comments:

Post a Comment