Barangkali karena Soleman kurang
berminat dengan kemapanan (jangan samakan “kurang berminat” dengan “anti”), sehingga
seakan-akan kurangnya minat itu berimbas pada situasi yang ia dapatkan di
bidang pekerjaan.
Status yang sedang Soleman sandang,
yaitu Petugas Lapangan, benar-benar membuat Soleman jauh dari “kemapanan”.
Bagaimana bisa disebut mapan kalau Soleman “diharamkan” “duduk hingga membusuk”
di kursi kantor dari jam delapan pagi sampai jam tiga sore. Bagaimana bisa
disebut mapan kalau ruang kerja Soleman adalah ruang “pinjaman” dari pihak yang
lebih mapan sehingga ruang kerja Soleman rawan tergeser bahkan rawan tergusur.
Yang lebih lucu lagi, di tempat kerja
barunya yang sekarang, setiap kali masuk ke ruang kerjanya, Soleman berposisi
seperti seorang tamu. Sebuah meja dan kursi kerja jelas milik seniornya, sedang
selain itu tak ada meja yang lain lagi, bahkan tak ada lagi ruang kosong untuk
meletakkan sebuah meja, sehingga mau tak mau Soleman duduk di sebuah kursi di
depan meja kerja seniornya.
Maka jangan salahkan Soleman jika ia
tak krasan. Maka jangan salahkan
Soleman jika pukul sepuluh atau sebelas pagi ia mencari kursi dan posisi yang
lebih nyaman: bangku warung, ngopi.
Tiba-tiba terdengar oleh Soleman
kabar itu: pembangunan kantor baru yang rencananya dijatahkan untuk wilayah
kerja lain, karena buntu pada persoalan pembebasan tanah, dialihkan ke wilayah
kerja Soleman. Padahal baru dua minggu Soleman bekerja di wilayah barunya yang
sekarang ini. Benar-benar kabar yang insya
Allah baik bagi masa depan Soleman. Soleman pun tak bisa untuk tidak ber-alhamdulillah.
Dua minggu sesudah kabar yang insya Allah baik itu, Soleman mendengar
kabar yang insya Allah juga baik: masing-masing wilayah kerja akan mendapatkan
satu set alat administrasi perkantoran modern: CPU, LCD, Printer, Keyboard,
Mouse, dan MAXPOWER.
Mendengar kabar itu, Soleman pun
tersenyum: untuk pantat saya saja tidak ada tempat, apalagi untuk seperangkat
alat itu.
Gumaman Soleman tampaknya tak beda
dengan gumaman seniornya. Senior yang tiga bulan ke depan akan pensiun dan nol puthul komputer itu pun berujar
kepada Soleman, “Nanti kalau seperangkat alat itu datang, letakkan saja di
rumahmu, daripada di rumahku nanti rusak dipancal
pitik.”
Tibalah hari yang ditentukan itu.
Seperangkat alat itu datang. Soleman tak punya pilihan lain selain memasukkan
dulu seperangkat alat itu ke ruang kerjanya. Tak lama kemudian, tampaklah
keserakahan manusia. Beberapa orang dari pihak yang lebih mapan itu menunjukkan
gelagat dan ucapan yang mengarahkan Soleman agar seperangkat alat itu
“dipermanenkan” di ruang kerjanya. Tentu saja motif di balik gelagat dan ucapan
itu jelas: agar mereka juga bisa turut “menikmati” seperangkat alat gratisan
itu secara gratisan dan tanpa pertanggungjawaban.
Soleman sampai tak habis pikir,
sebagai pihak yang lebih mapan, jelas tak mungkin mereka tak punya uang untuk
mengganti monitor mereka yang sudah buram warnanya, juga untuk mengganti
printer mereka yang sudah nggak doyan kertas
lagi itu. Seandainya Soleman adalah Indonesia, pasti ia akan malu luar biasa
melihat “kemiskinan” pegawai-pegawainya.
Motif di balik gelagat dan ucapan
tersebut, setelah dipikir oleh Soleman, didapatkan kesimpulan: lebih baik
seperangkat alat itu dipancal oleh pitik daripada dipancal oleh orang-orang “miskin” nan serakah yang tak bertanggung
jawab. Kalau pitik jelas tak berakal
sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh pitik
lebih mudah dimaafkan daripada kerusakan yang disebabkan oleh orang-orang
yang katanya berakal itu.
Maka meskipun dengan agak tak enak
hati, Soleman menegaskan kepada orang-orang itu bahwa ia disarankan oleh
seniornya juga oleh “panita” pengadaaan seperangkat alat itu agar seperangkat
alat itu ia letakkan di rumah.
Oleh sebab itu, siapapun yang
kebetulan datang ke rumah Soleman dan melihat ada seperangkat alat administrasi
perkantoran di pojok selatan-barat ruang tamunya tidak boleh beranggapan bahwa
Soleman sedang kebanyakan uang, juga tidak boleh beranggapan bahwa Soleman
sedang menyalahgunakan “amanah”. Seperangkat alat administrasi perkantoran di
pojok selatan-barat ruang tamunya itu tak lain buah dari keadaan yang sama
sekali bukan buatan Soleman.
Di balik keberadaan seperangkat alat
itu di rumahnya, ada banyak faktor. Dan salah satu faktornya adalah bahwa siapa
lagi yang akan mengerjakan tumpukan SPJ kalau bukan Soleman.
Ya, Soleman akan dengan senang hati
mengerjakan SPJ-SPJ yang banyak dan judulnya berganti-ganti itu (yang kadang
disertai dengan komando-komando yang membingungkan), meskipun besar kemungkinan
(dan sudah terbukti berkali-kali) ia akan tidak kecipratan “cairan” dari SPJ-SPJ itu.
Semakin sering Soleman mengerjakan
SPJ, semakin banyak SPJ yang dikerjakan oleh Soleman, semakin senanglah
hatinya. Pertama karena dengan begitu Soleman jadi tahu bahwa ia benar-benar
punya pekerjaan, dan kedua, Soleman jadi tahu bahwa benar-benar banyak orang
yang kelihatannya bekerja tapi sebenarnya tidak bekerja.
Sakura
225, 4 Juli 2012 – 23:49
0 comments:
Post a Comment