Thursday, July 5, 2012

Seperangkat Alat SPJ


Barangkali karena Soleman kurang berminat dengan kemapanan (jangan samakan “kurang berminat” dengan “anti”), sehingga seakan-akan kurangnya minat itu berimbas pada situasi yang ia dapatkan di bidang pekerjaan.

Status yang sedang Soleman sandang, yaitu Petugas Lapangan, benar-benar membuat Soleman jauh dari “kemapanan”. Bagaimana bisa disebut mapan kalau Soleman “diharamkan” “duduk hingga membusuk” di kursi kantor dari jam delapan pagi sampai jam tiga sore. Bagaimana bisa disebut mapan kalau ruang kerja Soleman adalah ruang “pinjaman” dari pihak yang lebih mapan sehingga ruang kerja Soleman rawan tergeser bahkan rawan tergusur.

Yang lebih lucu lagi, di tempat kerja barunya yang sekarang, setiap kali masuk ke ruang kerjanya, Soleman berposisi seperti seorang tamu. Sebuah meja dan kursi kerja jelas milik seniornya, sedang selain itu tak ada meja yang lain lagi, bahkan tak ada lagi ruang kosong untuk meletakkan sebuah meja, sehingga mau tak mau Soleman duduk di sebuah kursi di depan meja kerja seniornya.

Maka jangan salahkan Soleman jika ia tak krasan. Maka jangan salahkan Soleman jika pukul sepuluh atau sebelas pagi ia mencari kursi dan posisi yang lebih nyaman: bangku warung, ngopi.

Tiba-tiba terdengar oleh Soleman kabar itu: pembangunan kantor baru yang rencananya dijatahkan untuk wilayah kerja lain, karena buntu pada persoalan pembebasan tanah, dialihkan ke wilayah kerja Soleman. Padahal baru dua minggu Soleman bekerja di wilayah barunya yang sekarang ini. Benar-benar kabar yang insya Allah baik bagi masa depan Soleman. Soleman pun tak bisa untuk tidak ber-alhamdulillah.

Dua minggu sesudah kabar yang insya Allah baik itu, Soleman mendengar kabar yang insya Allah juga baik: masing-masing wilayah kerja akan mendapatkan satu set alat administrasi perkantoran modern: CPU, LCD, Printer, Keyboard, Mouse, dan MAXPOWER.

Mendengar kabar itu, Soleman pun tersenyum: untuk pantat saya saja tidak ada tempat, apalagi untuk seperangkat alat itu.

Gumaman Soleman tampaknya tak beda dengan gumaman seniornya. Senior yang tiga bulan ke depan akan pensiun dan nol puthul komputer itu pun berujar kepada Soleman, “Nanti kalau seperangkat alat itu datang, letakkan saja di rumahmu, daripada di rumahku nanti rusak dipancal pitik.”

Tibalah hari yang ditentukan itu. Seperangkat alat itu datang. Soleman tak punya pilihan lain selain memasukkan dulu seperangkat alat itu ke ruang kerjanya. Tak lama kemudian, tampaklah keserakahan manusia. Beberapa orang dari pihak yang lebih mapan itu menunjukkan gelagat dan ucapan yang mengarahkan Soleman agar seperangkat alat itu “dipermanenkan” di ruang kerjanya. Tentu saja motif di balik gelagat dan ucapan itu jelas: agar mereka juga bisa turut “menikmati” seperangkat alat gratisan itu secara gratisan dan tanpa pertanggungjawaban.

Soleman sampai tak habis pikir, sebagai pihak yang lebih mapan, jelas tak mungkin mereka tak punya uang untuk mengganti monitor mereka yang sudah buram warnanya, juga untuk mengganti printer mereka yang sudah nggak doyan kertas lagi itu. Seandainya Soleman adalah Indonesia, pasti ia akan malu luar biasa melihat “kemiskinan” pegawai-pegawainya.

Motif di balik gelagat dan ucapan tersebut, setelah dipikir oleh Soleman, didapatkan kesimpulan: lebih baik seperangkat alat itu dipancal oleh pitik daripada dipancal oleh orang-orang “miskin” nan serakah yang tak bertanggung jawab. Kalau pitik jelas tak berakal sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh pitik lebih mudah dimaafkan daripada kerusakan yang disebabkan oleh orang-orang yang katanya berakal itu.

Maka meskipun dengan agak tak enak hati, Soleman menegaskan kepada orang-orang itu bahwa ia disarankan oleh seniornya juga oleh “panita” pengadaaan seperangkat alat itu agar seperangkat alat itu ia letakkan di rumah.

Oleh sebab itu, siapapun yang kebetulan datang ke rumah Soleman dan melihat ada seperangkat alat administrasi perkantoran di pojok selatan-barat ruang tamunya tidak boleh beranggapan bahwa Soleman sedang kebanyakan uang, juga tidak boleh beranggapan bahwa Soleman sedang menyalahgunakan “amanah”. Seperangkat alat administrasi perkantoran di pojok selatan-barat ruang tamunya itu tak lain buah dari keadaan yang sama sekali bukan buatan Soleman.

Di balik keberadaan seperangkat alat itu di rumahnya, ada banyak faktor. Dan salah satu faktornya adalah bahwa siapa lagi yang akan mengerjakan tumpukan SPJ kalau bukan Soleman.

Ya, Soleman akan dengan senang hati mengerjakan SPJ-SPJ yang banyak dan judulnya berganti-ganti itu (yang kadang disertai dengan komando-komando yang membingungkan), meskipun besar kemungkinan (dan sudah terbukti berkali-kali) ia akan tidak kecipratan “cairan” dari SPJ-SPJ itu.

Semakin sering Soleman mengerjakan SPJ, semakin banyak SPJ yang dikerjakan oleh Soleman, semakin senanglah hatinya. Pertama karena dengan begitu Soleman jadi tahu bahwa ia benar-benar punya pekerjaan, dan kedua, Soleman jadi tahu bahwa benar-benar banyak orang yang kelihatannya bekerja tapi sebenarnya tidak bekerja.

Sakura 225, 4 Juli 2012 – 23:49

0 comments:

Post a Comment