Sunday, July 29, 2012

Puasa dalam Alquran


بسم الله الرحمن الرحيم.
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته.
الحمد لله رب العلمين، و بالله نستعين على أمور الدنيا و الدين.
الصلاة و السلام على أشرف الأنبياء و سائر الرسل: محمد صلى الله عليه و سلم: نعم العبد، إنه أواب.
و بعد.

Puasa, Ramadhan, dan Alquran merupakan tiga hal berbeda namun berada dalam satu kesatuan. Puasa sebagai pekerjaan, Ramadhan sebagai waktu, dan Alquran sebagai “sesuatu” yang “diturunkan” pada waktu yang mana orang-orang beriman diwajibkan melakukan pekerjaan bernama puasa.

Karena itu, pada salah satu kesempatan di malam bulan Ramadhan ini, perlu kiranya kita ketahui “apa kata” Alquran tentang puasa.

Dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaadzi-l-Qurani-l-Kariim halaman 417 disebutkan bahwa kata “puasa” tersebutkan di dalam Alquran sebanyak 10 kali. 8 kali kata “puasa” dalam bentuk “shiyaam” (shad-ya’-alif-mim), 1 kali dalam bentuk “shaum” (shad-wawu-mim), dan 1 kali bermakna orang yang mengerjakan puasa: “shaaim” (shad-hamzah-mim).

8 kali kata “shiyaam” terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183, 187 (dua kali), dan 196, surat an-Nisa’ ayat 92, surat al-Maidah ayat 89 dan 95, dan surat al-Mujadilah ayat 4. Sedangkat 1 kali kata “shaum” terdapat dalam surat Maryam ayat 26, serta 1 kali kata “shaaim” terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 35.

Jika diperhatikan, 8 kali kata “shiyaam” semuanya menunjuk pada puasa dalam arti menahan diri dari makan, minum, dan “bercampur”. Sebuah bentuk puasa yang “terlalu mudah” bagi sebuah proses yang target akhirnya adalah pencapaian taqwa. Sehingga, adanya kata “shaum” dalam surat Maryam ayat 26 dan kata “shaaim” dalam surat al-Ahzab ayat 35 seakan-akan menunjukkan bahwa puasa dengan taqwa sebagai targetnya tidak sekadar menahan diri dalam hal makan-minum dan “bercampur”, melainkan juga dalam hal berkata-kata.

Surat Maryam ayat 26 mendokumentasikan nasihat Jibril kepada Maryam yang sedang menghadapi fitnah dari masyarakatnya perihal kehamilannya, “Maka makan, minum, dan bersenang hatilah, jika kamu melihat manusia, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernadzar puasa untuk Yang Maha Pengasih, maka aku tidaka berbicara dengan seorang manusia pun pada saat ini.”

Ayat ini merupakan jawaban dari kesedihan dan keluhan Maryam yang terdokumentasikan dalam ayat 23, “Wahai, lebih baik aku mati sebelum ini sehingga aku menjadi sesuatu yang tak berarti dan dilupakan orang.” Maka Jibril datang dan menghiburnya (ayat 24), “Jangan bersedih,” dan ayat 26, “Makan, minum, dan bersenang hatilah.”

Sebuah hiburan yang tepat, karena Maryam tidak bersalah. Sedangkan kewajaran orang yang benar adalah tidak bersedih.

Tentu saja adanya ayat ini tidak lantas membuat kita harus diam sepanjang terbit fajar sampai terbenam matahari. Hanya saja, adanya ayat ini, berdasarkan pemahaman saya, mengisyaratkan perlunya mengendalikan diri dalam hal perkataan.

Sebagaimana Maryam yang oleh Jibril disarankan untuk tidak menanggapi perkataan masyarakatnya sebab tanggapan Maryam berkemungkinan memperburuk keadaan, maka orang-orang yang berpuasa pun ada baiknya untuk mengendalikan diri dalam berkata-kata karena secara disadari ataupun tidak disadari, perkataan-perkataan kita dalam kehidupan sehari-hari berkemungkinan untuk melenceng dari kejujuran, berkemungkinan untuk mengundang datangnya kemarahan, dan berkemungkinan menyakiti perasaan orang lain.

Padahal, puasa merupakan salah satu metode untuk memupuk kejujuran, menyuburkan kesabaran, dan memetik buah di atas pohon “selamat-menyelamatkan” di antara sesama muslim pada khususnya dan sesaman manusia pada umumnya.

Maka, benarlah ayat 35 surat al-Ahzab yang meletakkan kata “orang-orang yang berpuasa” sesudah kata (1) orang-orang yang berislam, (2) orang-orang yang beriman, (3) orang-orang yang kuat dalam taat, (4) orang-orang yang jujur/benar, (5) orang-orang yang sabar, (6) orang-orang yang khusyu’, dan (7) orang-orang yang bersedekah.

Urutan nomor 1 sampai dengan tujuh, berdasarkan pemahaman saya, merupakan petunjuk tentang ciri-ciri dan proses menuju “puasa yang tepat”, yaitu puasa yang tidak sekadar budaya melainkan puasa yang target akhirnya adalah taqwa. Baru sesudah itu, (9) orang-orang yang memelihara kehormatannya (kehormatan yang dalam surat al-Mu’minun dinyatakan dengan “kecuali terhadap istri-istri mereka”, dst.), dan (10) orang-orang yang senantiasa mengingat Allah.

Kita ambil  satu contoh dari nomor 7, tentang sedekah. Dalam sebuah ayat Alquran disebutkan bahwa tidak ada gunanya sedekah yang diikuti dengan perkataan yang menyakiti perasaan orang yang disedekahi. Dengan demikian, puasa sebagai urutan sesudah sedekah pun sudah semestinya tidak disertai dengan perkataan yang menyakiti perasaan sesama.

Pada akhirnya adalah introspeksi: (1) Sudah tepatkah puasa kita jika dibandingkan dengan susunan maupun urut-urutan yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 35? (2) Sudah termasukkah kita sebagai hamba-hamba yang berhak untuk mendapatkan ampunan dan pahala yang besar?

Kiranya ini saja yang bisa saya sampaikan, semoga keberadaan saya di sini beserta apa yang saya sampaikan tadi merupakan salah satu bentuk dari yu’ti-l-hikmata man yasyaa’ wa man yu’ta-l-hikmata faqod uutiya khairan katsiira; merupakan bagian dari hikmah dan kebaikan, dan semoga oleh Allah tidak dinilai sebagai kaburo maqtan ‘indallah: bertindak, bersikap, dan berucap secara keterlaluan di hadapan-Nya.

Akhirul kalam, wa lillaahi-l-asmaaul husnaa.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته.



Catatan (ujung kuku ibu jari) Kaki: Tulisan berjudul Puasa dalam Alquran ini merupakan materi qultum yang disampaikan oleh FaSalima di hadapan jamaah shalat Isya’-Tarawih-Witir di Masjid Baitul Ma’mur Perumahan Cepu Asri pada hari Kamis tanggal 26 Juli 2012.

0 comments:

Post a Comment