بسم الله الرحمن الرحيم.
السلام عليكم ورحمة الله و
بركاته.
الحمد لله رب العلمين، و
بالله نستعين على أمور الدنيا و الدين.
الصلاة و السلام على أشرف
الأنبياء و سائر الرسل: محمد صلى الله عليه و سلم: نعم العبد، إنه أواب.
و بعد.
Puasa, Ramadhan, dan Alquran
merupakan tiga hal berbeda namun berada dalam satu kesatuan. Puasa sebagai
pekerjaan, Ramadhan sebagai waktu, dan Alquran sebagai “sesuatu” yang “diturunkan”
pada waktu yang mana orang-orang beriman diwajibkan melakukan pekerjaan bernama
puasa.
Karena itu, pada salah satu
kesempatan di malam bulan Ramadhan ini, perlu kiranya kita ketahui “apa kata”
Alquran tentang puasa.
Dalam al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfaadzi-l-Qurani-l-Kariim halaman 417 disebutkan bahwa kata “puasa”
tersebutkan di dalam Alquran sebanyak 10 kali. 8 kali kata “puasa” dalam bentuk
“shiyaam” (shad-ya’-alif-mim), 1 kali dalam bentuk “shaum”
(shad-wawu-mim), dan 1 kali bermakna orang yang mengerjakan puasa: “shaaim”
(shad-hamzah-mim).
8 kali kata “shiyaam” terdapat
dalam surat Al-Baqarah ayat 183, 187 (dua kali), dan 196, surat an-Nisa’ ayat
92, surat al-Maidah ayat 89 dan 95, dan surat al-Mujadilah ayat 4. Sedangkat 1
kali kata “shaum” terdapat dalam surat Maryam ayat 26, serta 1 kali kata
“shaaim” terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 35.
Jika diperhatikan, 8 kali kata “shiyaam”
semuanya menunjuk pada puasa dalam arti menahan diri dari makan, minum, dan “bercampur”.
Sebuah bentuk puasa yang “terlalu mudah” bagi sebuah proses yang target
akhirnya adalah pencapaian taqwa. Sehingga, adanya kata “shaum” dalam surat
Maryam ayat 26 dan kata “shaaim” dalam surat al-Ahzab ayat 35 seakan-akan menunjukkan
bahwa puasa dengan taqwa sebagai targetnya tidak sekadar menahan diri dalam hal
makan-minum dan “bercampur”, melainkan juga dalam hal berkata-kata.
Surat Maryam ayat 26 mendokumentasikan
nasihat Jibril kepada Maryam yang sedang menghadapi fitnah dari masyarakatnya perihal
kehamilannya, “Maka makan, minum, dan bersenang hatilah, jika kamu melihat
manusia, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernadzar puasa untuk
Yang Maha Pengasih, maka aku tidaka berbicara dengan seorang manusia pun pada
saat ini.”
Ayat ini merupakan jawaban dari kesedihan
dan keluhan Maryam yang terdokumentasikan dalam ayat 23, “Wahai, lebih baik aku
mati sebelum ini sehingga aku menjadi sesuatu yang tak berarti dan dilupakan
orang.” Maka Jibril datang dan menghiburnya (ayat 24), “Jangan bersedih,” dan
ayat 26, “Makan, minum, dan bersenang hatilah.”
Sebuah hiburan yang tepat, karena
Maryam tidak bersalah. Sedangkan kewajaran orang yang benar adalah tidak bersedih.
Tentu saja adanya ayat ini tidak
lantas membuat kita harus diam sepanjang terbit fajar sampai terbenam matahari.
Hanya saja, adanya ayat ini, berdasarkan pemahaman saya, mengisyaratkan
perlunya mengendalikan diri dalam hal perkataan.
Sebagaimana Maryam yang oleh Jibril
disarankan untuk tidak menanggapi perkataan masyarakatnya sebab tanggapan
Maryam berkemungkinan memperburuk keadaan, maka orang-orang yang berpuasa pun
ada baiknya untuk mengendalikan diri dalam berkata-kata karena secara disadari
ataupun tidak disadari, perkataan-perkataan kita dalam kehidupan sehari-hari
berkemungkinan untuk melenceng dari kejujuran, berkemungkinan untuk mengundang
datangnya kemarahan, dan berkemungkinan menyakiti perasaan orang lain.
Padahal, puasa merupakan salah satu
metode untuk memupuk kejujuran, menyuburkan kesabaran, dan memetik buah di atas
pohon “selamat-menyelamatkan” di antara sesama muslim pada khususnya dan
sesaman manusia pada umumnya.
Maka, benarlah ayat 35 surat al-Ahzab
yang meletakkan kata “orang-orang yang berpuasa” sesudah kata (1) orang-orang
yang berislam, (2) orang-orang yang beriman, (3) orang-orang yang kuat dalam
taat, (4) orang-orang yang jujur/benar, (5) orang-orang yang sabar, (6)
orang-orang yang khusyu’, dan (7) orang-orang yang bersedekah.
Urutan nomor 1 sampai dengan tujuh,
berdasarkan pemahaman saya, merupakan petunjuk tentang ciri-ciri dan proses
menuju “puasa yang tepat”, yaitu puasa yang tidak sekadar budaya melainkan
puasa yang target akhirnya adalah taqwa. Baru sesudah itu, (9) orang-orang yang
memelihara kehormatannya (kehormatan yang dalam surat al-Mu’minun dinyatakan
dengan “kecuali terhadap istri-istri mereka”, dst.), dan (10) orang-orang yang
senantiasa mengingat Allah.
Kita ambil satu contoh dari nomor 7, tentang sedekah.
Dalam sebuah ayat Alquran disebutkan bahwa tidak ada gunanya sedekah yang
diikuti dengan perkataan yang menyakiti perasaan orang yang disedekahi. Dengan
demikian, puasa sebagai urutan sesudah sedekah pun sudah semestinya tidak
disertai dengan perkataan yang menyakiti perasaan sesama.
Pada akhirnya adalah introspeksi: (1)
Sudah tepatkah puasa kita jika dibandingkan dengan susunan maupun urut-urutan
yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 35? (2) Sudah termasukkah kita sebagai
hamba-hamba yang berhak untuk mendapatkan ampunan dan pahala yang besar?
Kiranya ini saja yang bisa saya
sampaikan, semoga keberadaan saya di sini beserta apa yang saya sampaikan tadi
merupakan salah satu bentuk dari yu’ti-l-hikmata man yasyaa’ wa man yu’ta-l-hikmata
faqod uutiya khairan katsiira; merupakan bagian dari hikmah dan kebaikan,
dan semoga oleh Allah tidak dinilai sebagai kaburo maqtan ‘indallah: bertindak,
bersikap, dan berucap secara keterlaluan di hadapan-Nya.
Akhirul kalam, wa lillaahi-l-asmaaul
husnaa.
والسلام
عليكم ورحمة الله و بركاته.
Catatan (ujung kuku ibu jari) Kaki: Tulisan berjudul Puasa dalam
Alquran ini merupakan materi qultum yang disampaikan oleh FaSalima di hadapan
jamaah shalat Isya’-Tarawih-Witir di Masjid Baitul Ma’mur Perumahan Cepu Asri
pada hari Kamis tanggal 26 Juli 2012.
0 comments:
Post a Comment