Tuesday, October 30, 2012

0,0



I
Jadwal Soleman hari ini adalah kunjungan ke rumah dua orang kader desa. Satu kader desa A, satunya lagi kader desa D. Sebuah kunjungan yang memerlukan tiga ketrampilan sekaligus: ketrampilan seorang atasan, ketrampilan seorang teman, dan ketrampilan seorang wartawan. Tapi sebelum berangkat ke tempat tujuan, terlebih dahulu Soleman berkunjung ke tempat fotokopi. Betapa kagetnya Soleman, seorang teman yang baru saja kemarin kembali berantar-terima pesan singkat setelah hampir enam bulan tak berhubungan, tiba-tiba saja berdiri di hadapannya yang baru saja duduk menikmati sebatang rokok sambil menanti pesanan fotokopiannya diselesaikan.

Terjadi perbincangan singkat yang intinya si teman akan berkunjung ke rumah kontrakan Soleman. Soleman mempersilahkan dengan sedikit “catatan”. Berhubung si teman harus segera melanjutkan perjalanan ke tempatnya mengajar dan Soleman pun juga harus segera melanjutkan perjalanan sesuai dengan jadwal kunjungan, pertemuan kembali yang membahagiakan itu pun sepakat untuk disudahi.

II
Usai kunjungan, Soleman kembali ke belakang meja kerjanya. Tiba-tiba seseorang datang menyampaikan titipan salam, “Mas, dapat salam dari si T dari Dinas P. Tadi saya dari kantor Dinas P, dan begitu tahu saya dari Kecamatan S, si T bertanya apakah di Kecamatan S ada pegawai bernama Soleman.”

Soleman bengong, “Darimana si T tahu aku ada di sini, sedangkan sudah hampir enam bulan tak ada komunikasi dalam bentuk apapun. Dan, atas dasar apa si T merasa perlu menyempatkan diri titip salam untuk orang yang tak pernah bisa mendatangkan keuntungan material sepertiku ini?”

Untung Soleman cepat menguasai diri. Seusai mengucapkan terimaksih, terjadilah perbincangan akrab antara Soleman dengan si pembawa titipan. Sebuah perbincangan akrab yang untuk pertama kali terjadi meski hampir tiap hari mereka bertemu.

III
Dalam hidup Soleman, Sesuatu nomor satu yang menjadi kebutuhannya adalah Tuhan. Nomor dua sampai dengan nomor sembilan sengaja tidak Soleman publikasikan dengan sejumlah alasan yang juga sengaja tidak ia publikasikan. Adapun sesuatu nomor sepuluh yang menjadi kebutuhan Soleman adalah teman. Maka sungguh merupakan sebuah kesedihan bagi Soleman ketika oleh beberapa keadaan dan beberapa kejadian ia terpaksa harus “melepaskan” untuk sementara sebagian besar teman.

Soleman sangat tidak sering menadahkan tangan ke langit. Tapi bukan berarti Soleman tak pernah berdoa. Bahkan, kalau ada orang yang mempunyai “kesaktian” berupa kemampuan “mengalir” dalam setiap gerak-batin orang lain, niscaya akan orang itu temukan kenyataan bahwa hampir setiap gerak-batin Soleman senantiasa didahului atau diiringi atau diakhiri dengan doa. Dan salah satu doa dalam gerak-batin itu adalah agar Tuhan berkenan “mengembalikan” teman-teman Soleman, atau sebaliknya, “mengembalikan” Soleman kepada teman-temannya.

Berdoa adalah membangun kedekatan. Tapi meski beberapa doanya terbukti terkabulkan, Soleman cukup tahu diri untuk tidak menyatakan diri bahwa dirinya adalah orang yang dekat dengan Tuhan. Ketika satu-persatu temannya “dikembalikan” kepadanya dengan cara-cara yang sedemikian tak terduga, Soleman sekadar menyebut “pengembalian” itu dengan “Keindahan dalam Kehendak-Nya”.

Bahkan, meskipun aku tak berdoa, kalau pengembalian itu sudah ada dalam tabung rahasia kehendak-Nya, ya kembalilah apa saja yang memang Ia kehendaki untuk kembali, kata Soleman kepadaku. Kita hanya perlu sedikit keteguhan untuk meladeni acak dan zig-zagnya perilaku waktu, sambung Soleman.

“Seperti yang baru saja terjadi dalam rentang waktu dua hari ini,” Soleman memulai kisahnya, “sudah hampir enam bulan aku tak lagi berhubungan dengan beberapa temanku yang masing-masingnya bertugas tingkat Kabupaten dengan tingkat gengsi dan popularitas Dinas yang jauh berada di atas posisi yang saat ini sedang kujalani. Aku tahu, melihat kondisiku saat itu, mereka bingung bagaimana untuk mengawali komunikasi denganku, dan sengaja kubiarkan kebingungan itu melanda mereka. Toh, sebesar apa sih hargaku bagi teman-temanku itu? Mereka pun tak akan merasa kehilangan orang yang tak punya cukup manfaat sosial seperti diriku ini. Dan sebaliknya, aku pun juga bukan jenis orang yang gembira jika di belakangku berdiri teman-teman yang bisa membuat orang lain segan atau bahkan takut kepadaku. Cukup Tuhan saja yang berada di belakangku. Maka jika aku berdoa agar “dikembalikan”, satu-satunya motivasiku adalah untuk mencari dan menemukan persaudaraan. Jangan pernah menyangka bahwa dudukku di warung-warung kopi atau di angkringan atau di pinggir-pinggir jalan atau di mana-mana bersama teman-temanku itu semata-mata demi kopi. Tidak. Sekali lagi tidak. Kopi bikinanku sendiri jauh lebih nikmat daripada kopi bikinan siapapun. Dan membunuh waktu, ah, sebenarnya aku jauh lebih betah membunuh waktu dengan cara menyusun kata-kata yang sudah lama kurencanakan untuk menjadi sebuah buku yang insya Allah layak terbit dan layak baca. Golek seduluran, sekali lagi kutegaskan, bahwa itulah motivasiku. Perihal efek-efek yang mungkin timbul dari motivasi itu, itu semua sama sekali tidak ada dalam skema pemikiranku. Jadi motivasi golek seduluran itu sesungguhnya tidak bisa disebut sebagai motif. Golek seduluran adalah kerja tanpa pamrih, adalah gerak tanpa kepentingan, adalah perdagangan tanpa perhitungan, adalah kesadaran terhadap kesamaan di tengah lautan fitrah perbedaan, adalah hidup dalam keutuhan, adalah lingkaran vertikal-horizontal, adalah 0,0.”

Sakura 225, 30 Oktober 2012 – 15:58

0 comments:

Post a Comment