I
Jadwal
Soleman hari ini adalah kunjungan ke rumah dua orang kader desa. Satu kader
desa A, satunya lagi kader desa D. Sebuah kunjungan yang memerlukan tiga
ketrampilan sekaligus: ketrampilan seorang atasan, ketrampilan seorang teman,
dan ketrampilan seorang wartawan. Tapi sebelum berangkat ke tempat tujuan,
terlebih dahulu Soleman berkunjung ke tempat fotokopi. Betapa kagetnya Soleman,
seorang teman yang baru saja kemarin kembali berantar-terima pesan singkat
setelah hampir enam bulan tak berhubungan, tiba-tiba saja berdiri di hadapannya
yang baru saja duduk menikmati sebatang rokok sambil menanti pesanan fotokopiannya
diselesaikan.
Terjadi
perbincangan singkat yang intinya si teman akan berkunjung ke rumah kontrakan
Soleman. Soleman mempersilahkan dengan sedikit “catatan”. Berhubung si teman
harus segera melanjutkan perjalanan ke tempatnya mengajar dan Soleman pun juga
harus segera melanjutkan perjalanan sesuai dengan jadwal kunjungan, pertemuan
kembali yang membahagiakan itu pun sepakat untuk disudahi.
II
Usai
kunjungan, Soleman kembali ke belakang meja kerjanya. Tiba-tiba seseorang
datang menyampaikan titipan salam, “Mas, dapat salam dari si T dari Dinas P.
Tadi saya dari kantor Dinas P, dan begitu tahu saya dari Kecamatan S, si T
bertanya apakah di Kecamatan S ada pegawai bernama Soleman.”
Soleman
bengong, “Darimana si T tahu aku ada di sini, sedangkan sudah hampir enam bulan
tak ada komunikasi dalam bentuk apapun. Dan, atas dasar apa si T merasa perlu menyempatkan
diri titip salam untuk orang yang tak pernah bisa mendatangkan keuntungan
material sepertiku ini?”
Untung
Soleman cepat menguasai diri. Seusai mengucapkan terimaksih, terjadilah
perbincangan akrab antara Soleman dengan si pembawa titipan. Sebuah
perbincangan akrab yang untuk pertama kali terjadi meski hampir tiap hari
mereka bertemu.
III
Dalam
hidup Soleman, Sesuatu nomor satu yang menjadi kebutuhannya adalah Tuhan. Nomor
dua sampai dengan nomor sembilan sengaja tidak Soleman publikasikan dengan
sejumlah alasan yang juga sengaja tidak ia publikasikan. Adapun sesuatu nomor
sepuluh yang menjadi kebutuhan Soleman adalah teman. Maka sungguh merupakan
sebuah kesedihan bagi Soleman ketika oleh beberapa keadaan dan beberapa
kejadian ia terpaksa harus “melepaskan” untuk sementara sebagian besar teman.
Soleman
sangat tidak sering menadahkan tangan ke langit. Tapi bukan berarti Soleman tak
pernah berdoa. Bahkan, kalau ada orang yang mempunyai “kesaktian” berupa
kemampuan “mengalir” dalam setiap gerak-batin orang lain, niscaya akan orang
itu temukan kenyataan bahwa hampir setiap gerak-batin Soleman senantiasa
didahului atau diiringi atau diakhiri dengan doa. Dan salah satu doa dalam
gerak-batin itu adalah agar Tuhan berkenan “mengembalikan” teman-teman Soleman,
atau sebaliknya, “mengembalikan” Soleman kepada teman-temannya.
Berdoa
adalah membangun kedekatan. Tapi meski beberapa doanya terbukti terkabulkan,
Soleman cukup tahu diri untuk tidak menyatakan diri bahwa dirinya adalah orang
yang dekat dengan Tuhan. Ketika satu-persatu temannya “dikembalikan” kepadanya
dengan cara-cara yang sedemikian tak terduga, Soleman sekadar menyebut “pengembalian”
itu dengan “Keindahan dalam Kehendak-Nya”.
Bahkan,
meskipun aku tak berdoa, kalau pengembalian itu sudah ada dalam tabung rahasia
kehendak-Nya, ya kembalilah apa saja yang memang Ia kehendaki untuk kembali,
kata Soleman kepadaku. Kita hanya perlu sedikit keteguhan untuk meladeni acak
dan zig-zagnya perilaku waktu, sambung Soleman.
“Seperti
yang baru saja terjadi dalam rentang waktu dua hari ini,” Soleman memulai
kisahnya, “sudah hampir enam bulan aku tak lagi berhubungan dengan beberapa
temanku yang masing-masingnya bertugas tingkat Kabupaten dengan tingkat gengsi
dan popularitas Dinas yang jauh berada di atas posisi yang saat ini sedang
kujalani. Aku tahu, melihat kondisiku saat itu, mereka bingung bagaimana untuk
mengawali komunikasi denganku, dan sengaja kubiarkan kebingungan itu melanda
mereka. Toh, sebesar apa sih hargaku bagi teman-temanku itu? Mereka pun tak
akan merasa kehilangan orang yang tak punya cukup manfaat sosial seperti diriku
ini. Dan sebaliknya, aku pun juga bukan jenis orang yang gembira jika di
belakangku berdiri teman-teman yang bisa membuat orang lain segan atau bahkan
takut kepadaku. Cukup Tuhan saja yang berada di belakangku. Maka jika aku
berdoa agar “dikembalikan”, satu-satunya motivasiku adalah untuk mencari dan
menemukan persaudaraan. Jangan pernah menyangka bahwa dudukku di warung-warung
kopi atau di angkringan atau di pinggir-pinggir jalan atau di mana-mana bersama
teman-temanku itu semata-mata demi kopi. Tidak. Sekali lagi tidak. Kopi
bikinanku sendiri jauh lebih nikmat daripada kopi bikinan siapapun. Dan
membunuh waktu, ah, sebenarnya aku jauh lebih betah membunuh waktu dengan cara
menyusun kata-kata yang sudah lama kurencanakan untuk menjadi sebuah buku yang insya
Allah layak terbit dan layak baca. Golek seduluran, sekali lagi
kutegaskan, bahwa itulah motivasiku. Perihal efek-efek yang mungkin timbul dari
motivasi itu, itu semua sama sekali tidak ada dalam skema pemikiranku. Jadi
motivasi golek seduluran itu sesungguhnya tidak bisa disebut sebagai
motif. Golek seduluran adalah kerja tanpa pamrih, adalah gerak tanpa
kepentingan, adalah perdagangan tanpa perhitungan, adalah kesadaran terhadap
kesamaan di tengah lautan fitrah perbedaan, adalah hidup dalam keutuhan, adalah
lingkaran vertikal-horizontal, adalah 0,0.”
Sakura
225, 30 Oktober 2012 – 15:58
0 comments:
Post a Comment