Saya menyukai sejarah. Sejarah apa saja. Mulai dari sejarah rerumputan hingga sejarah Tuhan. Tetapi kepada sejarah saya juga perlu meminta maaf: saya termasuk jenis manusia yang tidak mudah percaya kepada apa kata sejarah. Maksud saya, kepada siapa yang mengatakan sejarah.
Sejarah, menurut saya adalah sebuah wadah yang setengah lebihnya berisi darah. Dengan demikian, karena darah mengalir ke berbagai arah, juga karena banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap bagaimana dan kemana darah mengarah, maka sejarah juga adalah sebuah disiplin ilmu yang tak bisa lepas dari kemungkinan besar tabrakan.
Atas dasar definisi tersebut, kepada Indonesia saya perlu minta maaf: sudah sejak lama saya tidak hadir ke lapangan untuk mengikuti upacara peringatan. Apapun judul peringatan itu. Dari sini saya lihat ada tabrakan sejarah, misalnya pada tanggal 2 dan 20 Mei. Menurut saya, bukan Ki Hajar Dewantara dan bukan Budi Utomo pondasi dari Pendidikan dan Kebangkitan negeri ini melainkan ada orang dan ada organisasi yang lebih berhak untuk disebut sebagai pondasi bagi dua hal mulia tersebut.
Pada beberapa tanggal yang lain pun saya lihat pula ada tabrakan serupa.
Saya melihat ada muatan kepentingan pada momen peringatan tanggal-tanggal bersejarah tersebut, persis seperti muatan kepentingan yang saya lihat pada momen peringatan kesekian hari meninggal dunianya Gus Dur.
Sepanjang perjalanan dari tempat kediaman menuju suatu tempat keramaian yang kira-kira berjarak sepanjang 5 kilometer, tak seperti biasanya, sebagian besar masjid yang saya lewati tampak ramai. Ramai, tapi tidak makmur. Keramaian yang disebabkan oleh meninggal dunianya Gus Dur seribu hari yang lalu.
Karena yang meninggal dunia seribu hari yang lalu adalah Gus Dur dan bukan Ahmad Sukino, maka seharusnya “masjid MTA” pada malam itu tak perlu ramai. Tapi alangkah kagetnya saya, “masjid MTA” pun ikut ramai. Memperingati seribu hari meninggal dunianya Gus Dur-kah MTA?
Tentu tidak. Di sana, di “masjid MTA” itu, ada muatan kepentingan yang bernama show of power, juga show of people. Karena “masjid-masjid NU” pun sebenarnya tidak benar-benar memperingati kebaikan-kebaikan Gus Dur, melainkan di “masjid-masjid NU” itu, dengan memanfaatkan momentum sejarah, lebih dulu dimuati kepentingan yang sama: show of power dan show of people.
Mereka lupa bahwa yang diperintahkan oleh Tuhan adalah “berlomba”, bukan “bertanding”: fastabiqu-l-khairaat ...
“Bertanding” mutlak memerlukan musuh yang harus dihadapi secara langsung. Tidak demikian dengan “berlomba”. Bandingkan antara “pertandingan tinju” dengan “lomba menulis”, atau “pertandingan sepakbola” dengan “lomba kebersihan”.
Ber-Islam berarti berlomba, bukan bertanding. Islam adalah kekhusyukan dan ketenangan; adalah kemenangan tanpa sorak sorai dan gegap gempita. Maka Islam bukanlah keramaian dan keriuh rendahan. Tidak pula kecerobohan untuk terperosok dalam lubang-lubang perangkap berupa fanatisme kelompok sehingga dalam diri masing-masing kelompok tumbuh kesombongan untuk mengganti “Dengan Menyebut Nama Allah” dengan “Dengan Menyebut Nama Saya”.
Sakura 225, 06 Oktober 2012 – 23:12
Sejarah, menurut saya adalah sebuah wadah yang setengah lebihnya berisi darah. Dengan demikian, karena darah mengalir ke berbagai arah, juga karena banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap bagaimana dan kemana darah mengarah, maka sejarah juga adalah sebuah disiplin ilmu yang tak bisa lepas dari kemungkinan besar tabrakan.
Atas dasar definisi tersebut, kepada Indonesia saya perlu minta maaf: sudah sejak lama saya tidak hadir ke lapangan untuk mengikuti upacara peringatan. Apapun judul peringatan itu. Dari sini saya lihat ada tabrakan sejarah, misalnya pada tanggal 2 dan 20 Mei. Menurut saya, bukan Ki Hajar Dewantara dan bukan Budi Utomo pondasi dari Pendidikan dan Kebangkitan negeri ini melainkan ada orang dan ada organisasi yang lebih berhak untuk disebut sebagai pondasi bagi dua hal mulia tersebut.
Pada beberapa tanggal yang lain pun saya lihat pula ada tabrakan serupa.
Saya melihat ada muatan kepentingan pada momen peringatan tanggal-tanggal bersejarah tersebut, persis seperti muatan kepentingan yang saya lihat pada momen peringatan kesekian hari meninggal dunianya Gus Dur.
Sepanjang perjalanan dari tempat kediaman menuju suatu tempat keramaian yang kira-kira berjarak sepanjang 5 kilometer, tak seperti biasanya, sebagian besar masjid yang saya lewati tampak ramai. Ramai, tapi tidak makmur. Keramaian yang disebabkan oleh meninggal dunianya Gus Dur seribu hari yang lalu.
Karena yang meninggal dunia seribu hari yang lalu adalah Gus Dur dan bukan Ahmad Sukino, maka seharusnya “masjid MTA” pada malam itu tak perlu ramai. Tapi alangkah kagetnya saya, “masjid MTA” pun ikut ramai. Memperingati seribu hari meninggal dunianya Gus Dur-kah MTA?
Tentu tidak. Di sana, di “masjid MTA” itu, ada muatan kepentingan yang bernama show of power, juga show of people. Karena “masjid-masjid NU” pun sebenarnya tidak benar-benar memperingati kebaikan-kebaikan Gus Dur, melainkan di “masjid-masjid NU” itu, dengan memanfaatkan momentum sejarah, lebih dulu dimuati kepentingan yang sama: show of power dan show of people.
Mereka lupa bahwa yang diperintahkan oleh Tuhan adalah “berlomba”, bukan “bertanding”: fastabiqu-l-khairaat ...
“Bertanding” mutlak memerlukan musuh yang harus dihadapi secara langsung. Tidak demikian dengan “berlomba”. Bandingkan antara “pertandingan tinju” dengan “lomba menulis”, atau “pertandingan sepakbola” dengan “lomba kebersihan”.
Ber-Islam berarti berlomba, bukan bertanding. Islam adalah kekhusyukan dan ketenangan; adalah kemenangan tanpa sorak sorai dan gegap gempita. Maka Islam bukanlah keramaian dan keriuh rendahan. Tidak pula kecerobohan untuk terperosok dalam lubang-lubang perangkap berupa fanatisme kelompok sehingga dalam diri masing-masing kelompok tumbuh kesombongan untuk mengganti “Dengan Menyebut Nama Allah” dengan “Dengan Menyebut Nama Saya”.
Sakura 225, 06 Oktober 2012 – 23:12
0 comments:
Post a Comment