Sunday, October 28, 2012

NIP Atawa Nrimo Ing Pandum


Untuk sebuah kebutuhan, diundanglah Soleman ke kantor UPT. Undangan itu tidak main-main, sebab yang datang bukan sekadar kertas melainkan manusia. Bukankah penciptaan dan penugasan manusia dinyatakan oleh Tuhan sebagai tidak main-main?

Adapun kebutuhan pengundang tersebut di antaranya adalah untuk meminta bantuan memperbaiki komputer kantor UPT dan untuk mengajari dua orang tenaga honorer langkah-langkah mengerjakan MDK.

Tentang komputer rusak itu, sudah sejak lama Soleman membatin, “Kok ya kerasan bekerja dengan komputer nggak karuan macam itu.” Adapun tentang dua tenaga honorer yang minta diajari itu, Soleman pun membatin, “Beberapa waktu yang lalu mereka bilang bisa, kok sekarang minta diajari.”

Begitulah Soleman. Meskipun ia bukan penganut aliran kebatinan, ia terlalu sering membatin. Bahkan kedzaliman yang terang-terangan ditimpakan oleh orang lain kepadanya pun cukup sekadar ia batin. Tuhan lebih mendengar apa yang di batin daripada apa yang di lisan, barangkali itulah satu dari beberapa prinsip hidup Soleman.

Setelah kebutuhan-kebutuhan selesai dipenuhi oleh Soleman, Soleman mohon diri kepada “tuan rumah”. Tuan rumah, seperti yang lain, mengucapkan terimakasih. Sebuah ucapan yang hampir selalu tidak ditanggapi oleh Soleman, bukan karena soleman minta terimakasih dalam bentuk yang bukan sekadar ucapan melainkan karena Soleman merasa bahwa yang memenuhi kebutuhan itu bukan ia. Soleman hanya pelaku, pelaku tidak akan pernah lebih besar dari ilmu, dan ilmu tidak akan pernah lebih besar dari Sumber Ilmu. Berterimakasihlah kepada Tuhan, lagi-lagi Soleman membatin. Ya, berterimaksihlah kepada-Nya, salah satu caranya: Jangan cari keuntungan pribadi di atas kerugian orang lain!

Menjelang kepergiannya, salah seorang taun rumah melihat sepeda motornya, “Mengapa tidak kautukarkan saja sepeda motor ini dengan sepeda motor rekan kerjamu yang baru saja pensiun itu?”

Sebuah saran yang baik, tapi tidak perlu. Soleman tidak akan pernah meminta fasilitas kepada siapapun. Apalagi kalau fasilitas itu bedanya hanya ada pada bentuk dan tampilan. Maka Soleman menjawab, “Tidak, Pak. Pokoknya sepanjang sepeda motor yang ini masih layak pakai, saya tidak akan pernah meminta ganti yang lebih baik.”

Ada segurat ekspresi kaget di dahi si pemberi saran. Sebuah kekagetan yang kemudian ia netralisir dengan sebuah pernyataan, “Iya ya, Mas, Nrimo Ing Pandum saja, ya.”

Jenengan menyebutnya sebagai Nrimo Ing Pandum, tapi saya menyebutnya sebagai syukur,” kali ini Soleman tidak sekadar membatin.

Sakura 225, 28 Oktober 2012 – 16:41

0 comments:

Post a Comment