Untuk
sebuah kebutuhan, diundanglah Soleman ke kantor UPT. Undangan itu tidak
main-main, sebab yang datang bukan sekadar kertas melainkan manusia. Bukankah
penciptaan dan penugasan manusia dinyatakan oleh Tuhan sebagai tidak main-main?
Adapun
kebutuhan pengundang tersebut di antaranya adalah untuk meminta bantuan
memperbaiki komputer kantor UPT dan untuk mengajari dua orang tenaga honorer
langkah-langkah mengerjakan MDK.
Tentang
komputer rusak itu, sudah sejak lama Soleman membatin, “Kok ya kerasan bekerja
dengan komputer nggak karuan macam itu.” Adapun tentang dua tenaga
honorer yang minta diajari itu, Soleman pun membatin, “Beberapa waktu yang lalu
mereka bilang bisa, kok sekarang minta diajari.”
Begitulah
Soleman. Meskipun ia bukan penganut aliran kebatinan, ia terlalu sering
membatin. Bahkan kedzaliman yang terang-terangan ditimpakan oleh orang lain
kepadanya pun cukup sekadar ia batin. Tuhan lebih mendengar apa yang di batin
daripada apa yang di lisan, barangkali itulah satu dari beberapa prinsip hidup
Soleman.
Setelah
kebutuhan-kebutuhan selesai dipenuhi oleh Soleman, Soleman mohon diri kepada “tuan
rumah”. Tuan rumah, seperti yang lain, mengucapkan terimakasih. Sebuah ucapan
yang hampir selalu tidak ditanggapi oleh Soleman, bukan karena soleman minta
terimakasih dalam bentuk yang bukan sekadar ucapan melainkan karena Soleman merasa
bahwa yang memenuhi kebutuhan itu bukan ia. Soleman hanya pelaku, pelaku tidak
akan pernah lebih besar dari ilmu, dan ilmu tidak akan pernah lebih besar dari
Sumber Ilmu. Berterimakasihlah kepada Tuhan, lagi-lagi Soleman membatin. Ya,
berterimaksihlah kepada-Nya, salah satu caranya: Jangan cari keuntungan pribadi
di atas kerugian orang lain!
Menjelang
kepergiannya, salah seorang taun rumah melihat sepeda motornya, “Mengapa tidak
kautukarkan saja sepeda motor ini dengan sepeda motor rekan kerjamu yang baru
saja pensiun itu?”
Sebuah
saran yang baik, tapi tidak perlu. Soleman tidak akan pernah meminta fasilitas
kepada siapapun. Apalagi kalau fasilitas itu bedanya hanya ada pada bentuk dan
tampilan. Maka Soleman menjawab, “Tidak, Pak. Pokoknya sepanjang sepeda motor
yang ini masih layak pakai, saya tidak akan pernah meminta ganti yang lebih
baik.”
Ada
segurat ekspresi kaget di dahi si pemberi saran. Sebuah kekagetan yang kemudian
ia netralisir dengan sebuah pernyataan, “Iya ya, Mas, Nrimo Ing Pandum saja,
ya.”
“Jenengan
menyebutnya sebagai Nrimo Ing Pandum, tapi saya menyebutnya sebagai syukur,”
kali ini Soleman tidak sekadar membatin.
Sakura
225, 28 Oktober 2012 – 16:41
0 comments:
Post a Comment