Aku ini kere yang sering diunggahke ke bale.
Maksudku, sejak kesadaranku tentang hidup mulai mencapai tingkat yang sedikit
berbeda dari kesadaran yang sebelumnya, kutemukan kenyataan bahwa tidak hanya
sekali dua kali kudapatkan kenikmatan-kenikmatan yang sama sekali tidak pernah
kubayangkan. Di samping itu, kenikmatan-kenikmatan tak terbayangkan itu sama
sekali di luar rencana jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjangku.
Juga di luar segala langkah-langkahku.
Kusebut diriku ini kere karena nyatanya aku ini hanya anak
sepasang guru (agama) yang karirnya berhenti di II/a karena dimutasi ke sebuah
dunia yang segala atribut dunia (selain amal shalih) tiada lagi berguna. Karena
selesai di II/a, uang pensiunan yang diwariskan kepadaku pun hanya cukup untuk
sekadar makan dengan jenis dan pola makan yang juga sekadarnya.
Saudara-saudara kandungku? Ketujuh-tujuhnya dalam pemahaman yang
sama bahwa mereka tidak berhak atas warisan pensiunan itu, meskipun
ketujuh-tujuhnya, waktu itu, sedang dalam kondisi ekonomi yang sekadar cukup
untuk makan sekadarnya.
Pensiunan II/a di masa lalu tidak sama dengan II/a di masa sekarang
apalagi II/a di masa depan. Bahkan untuk biaya Sekolah Menengah Pertamaku, satu
dari tujuh saudaraku merelakan sebagian besar dari pendapatannya yang kecil
untuk menutupnya. Jadi sungguh sebuah kenekadan jika saudaraku ini pada suatu
hari menanyaiku, “Jadi melaksanakan cita-cita ibu, atau masuk SMA saja?”
Yang dimaksud saudaraku sebagai cita-cita ibu adalah Gontor. Ya,
aku sendiri menjadi saksi bahwa pada suatu senja ibuku berkata kepada seorang
tetangga, “Anakku yang bungsu akan kusekolahkan di Gontor.”
Nekad, ya, nekad. Karena nama besar Gontor juga sebanding dengan
biayanya yang lumayan besar, setidaknya menurut ukuran kondisi ekonomiku saat
itu. Karena itulah aku memilih untuk masuk SMA saja. Aku tak akan pernah bisa sengaja
tega menjadi sumber derita bagi sesama manusia, apalagi bagi saudara kandungku
sendiri.
Satu bulan beseragam putih abu-abu, di kepalaku ada sesuatu yang
bukan aku. Akibatnya, aku tak masuk sekolah selama dua minggu. Di kemudian hari
baru kusadari betapa dewasa dan bijaksananya saudara kandungku yang satu ini. Tampaknya
dia begitu percaya bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Sang Waktu. Atau
barangkali waktu itu ia memang sudah tahu bahwa sedang ada sesuatu di dalam
kepalaku yang bukan aku.
Selama dua minggu itu, tak sekalipun ia memarahiku. Ia hanya
bertanya mengapa aku tidak masuk sekolah, dan ketika kujawab bahwa aku tak lagi
bersemangat memakai seragam putih abu-abu, dia diam saja. Setelah genap dua
minggu, baru saudaraku ini kembali menanyaiku, tepatnya memberiku pilihan:
terus berseragam putih abu-abu atau pindah ke Gontor.
Aku ingin memilih yang terakhir, tapi jelas itu tak mungkin.
Sehingga kemudian aku mengambil pilihan ketiga: aku akan pindah ke sebuah
pesantren yang bukan Gontor; tepatnya sebuah pesantren yang tidak membutuhkan
banyak biaya atau gratis. Dia diam. Bahkan ketika aku berangkat ke pesantren
yang gratis itu, dia juga diam. Seakan-akan ia sudah tahu bahwa bukan pesantren
semacam itu yang “digariskan” untukku menuntut ilmu.
Satu bulan kemudian, benarlah dia dengan segala visinya. Aku tak
kerasan dengan situasi yang aneh dan membingungkan yang menjadi kultur di
pesantren gratisan itu. Aku ini ingin mempelajari ilmu agama, bukan ingin
menjadi orang sakti apalagi menjadi dukun.
Aku melarikan diri dari pesantren yang tak jauh beda dengan
perguruan silat Kera Sakti atau dengan Persaudaraan Setia Hati Winongo, dua “pesantren”
yang mana aku pernah sebentar menjadi santri di dalamnya. Dalam pelarian
diriku, saudara kandungku ini “menangkapku” dan menggiringku ke pinggir
lapangan sepakbola yang di kemudian hari kuketahui bahwa itu adalah lapangan
sepakbola Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Sebuah lapangan yang di
kemudian hari juga menjadi tempat yang sering kukunjungi di bawah bendera Darma
Jaya FC, satu dari empat klub sepakbola resmi Gontor di samping Meteor,
Newputra, dan Darussalam.
Maka selamat tinggal putih abu-abu. Selamat tinggal pula pesantren
yang aneh nan membingungkan. Dan persetan dengan kondisi ekonomi yang cuma cukup
untuk sekadar makan. Sebuah ketetapan hati yang di kemudian hari dikuatkan oleh
petuah Kyai Hasan, “Orang yang niatnya murni menuntut ilmu, rezekinya dijamin
oleh Allah.”
Sakura 225, 25 Oktober 2012 – 23:54
0 comments:
Post a Comment