Aku tulis surat ini tak berapa lama setelah kulepas kaos diamond abituren yang total basah. Bukan oleh air melainkan keringat. Bukan pada siang melainkan malam. Bukan karena udara panas melainkan hati panas.
Hati panas yang coba kudinginkan dengan meladeni lembar demi lembar kertas, yang kesemuanya bertuliskan data-data palsu, kata-kata palsu, angka-angka palsu, tanda tangan-tanda tangan palsu. Asu!
Hanya kepada-Nya aku mengadu. Maka jangan tak kau baca suratku ini. Aku tahu, jutaan manusia telah mengadu kepadamu, mengadukan kepalsuan-kepalsuan yang memerangkap mereka. Dari waktu ke waktu. Aku tidak mau menambah jumlah pengadu. Dan sekali-kali tidak bersedia menambah jumlah pengadu domba.
Aku pun tahu, kepada manusia-manusia yang bercita-cita meneladani Muhammad, ketika manusia-manusia itu mengeluh dan mengadu kepadamu, hanya satu sikapmu: menancapkan tajam matamu dan berlalu: menjadi Muhammad adalah keikhlasan untuk dituduh, difitnah, diperdaya, dijebak, dihambat, dicegat, dikepung, disuguhi kotoran unta, diguyur debu, dan dilempari batu-batu.
Jadi tak hendak aku mengadu. Aku hanya hendak menulis sebuah surat. Sebab Tuhan seakan tak memberiku kesempatan untuk sekadar curhat dan sejenak bersistirahat. Silih berganti orang datang, hanya untuk satu: mengakaliku.
Pernah aku sampaikan hal ini kepada satu dari manusia-manusia yang bercita-cita meneladani Muhammad, ia tertawa. Seakan-akan keadaanku ini sedemikian entengnya. Untungnya ia berkata, “Shibgatallah, saudaraku ... shibgatallah ... Bukankah sejak dulu kala engkau bercita-cita menjadi manusia tanpa warna? Kemudian, semua yang menimpamu adalah ayat yang harus kau baca dengan wa rattili-l-quraana tartiila ...”
Belum kumengerti benar apa maksud saudaraku itu. Karena itulah aku tulis surat ini. Kepadamu. Jika pun tanggapanmu terhadap suratku ini lebih tidak bisa kupahami, tidak menjadi masalah bagiku. Akan kuanggap surat ini sebagai sebagai obat rinduku kepadamu, kepada sesama manusia pencinta Muhammad, kepada sesama manusia yang memilih untuk tidak memilih, kepada sesama manusia yang mengatur untuk tidak mengatur.
Engkau sudah di sana, dan aku baru di sini. Terlampau jauh jarak ke-Muhammad-an kita. Engkau hampir mencapainya, atau bahkan sudah, sedangkan aku baru memulai langkah pertama, atau mungkin langkah kedua. Dan pada langkah itu, sesekali aku pun masih tergoda. Dan sesekali pula menyerah pada kekuasaan ciptaan manusia. Ah, andai bukan karena keteguhan yang telah kau contohkan, tentu sudah lepas kesadaran diri ini sejak jauh-jauh hari. Dan serupalah aku dengan mereka.
Ya, mereka. Mereka yang sekarang ini mengepungku. Juga mereka yang sebelum ini melempariku dengan batu-batu.
Mereka yang sekarang ini, saudaraku, mencoba membuatku serupa dengan mereka. Mencoba membuat warnaku sama dengan warna mereka. Ada yang menggunakan bujuk rayu, ada yang menggunakan retorika, ada yang menggunakan tongkat kuasa.
Saudaraku, tahukah engkau suara apa yang menggelegak dalam kalbuku ketika silih berganti mereka mendatangiku? Asu! Aku bukan orang lugu. Aku hanya mencoba hidup jujur dan bersikap lembut. Kalau kejujuran dan kelembutan ini kalian tafsirkan sebagai keluguan, maka tunggulah saatnya Tuhan nebang gulumu dengan tangan kalian sendiri.
Saudaraku, sebenarnya aku agak malu. Kata-kata dan sikap-sikapku selama ini seakan-akan menunjukkan aku sangat dekat dengan Tuhan, sedangkan aku sendiri tak jarang melangkah menjauh dari posisi berdiri-Nya. Ah, semoga Tuhan memaklumi ketaktahumaluanku ini.
Saudaraku, haruskah aku bergabung dengan keserakahan yang mereka agung-agungkan itu? Haruskah aku sewarna dengan warna kehinaan yang mereka yakini sebagai kehormatan itu?
Jawablah, saudaraku! Maksudku bukan jawaban ya atau tidak. Tapi jawablah dengan energi apa harus kubendung arus deras itu seorang diri? Energi jamaah? Sedangkan jamaah masjid pun sudah tak punya sisa energi. Energi sistem birokrasi? Sedangkan dalam hal ini mereka teramat ahli. Energi berdiam diri? Sedangkan diamku pun jadi bahan akal-akalan edisi berikutnya.
Saudaraku, kuberitahu engkau sebuah peristiwa di mana pada suatu pagi dipanggil menghadap Kepala Dinasku. Panggilan itu pun tentu berdasarkan fitnah mereka yang kemudian dijadikan bahan laporan kepada Kepala Dinasku. Sedangkan Kepala Dinasku pun tampaknya juga punya misi tersendiri terhadapku, sehingga di sela-sela saran dan arahan, sempat ia berujar kepadaku, “Sebaiknya jangan terlalu banyak membaca Alquran.”
Asu! Tentu saja hewan ini kukurung dalam hatiku. Tinggal sorot matanya saja yang kukeluarkan. Maka tajam-tajam kutatap mata kepala Dinasku. Setajam taring anjing yang siap ditancapkan ke jiwa anjing yang berada di depannya. Maka seketika itu juga berubahlah Alquran menjadi koran.
Ah, alangkah lucunya. Lebih lucu lagi, anjuran untuk tidak terlalu banyak membaca Alquran itu dilontarkan juga di hadapan seorang tokoh NU yang duduk di sebelah kananku. Aku sampai berpikir, kalau ada tokoh semacam ini, yang lucu itu NU-nya atau tokohnya?
Yang lain lagi, pada kesempatan itu, aku juga diberi contoh dari sebuah film yang dibintangi oleh Rano Karno. Tentu saja sebuah contoh diberikan dengan harapan agar si murid mau meniru. Asu! Kata hatiku lagi. Contoh kok bintang film. Ini kehidupan sejati, Bung, bukan film. Lebih dari itu, alangkah stafnya jika seorang Kepala Dinas yang kebijakan-kebijakannya didasarkan pada contoh-contoh yang diberikan oleh bintang film.
Sekian saja dulu, saudaraku. Semoga surat ini tak mengganggu sibukmu yang teramat sibuk itu. Ini hanya surat. Tetapi meski hanya, tak hilang harapanku bahwa pada suatu saat akan menjadi sesuatu yang “hebat”, dan juga menjadi tambahan nilai untuk raport akhirat.
Sakura 225, 30 September 2012 – 23:38
Hati panas yang coba kudinginkan dengan meladeni lembar demi lembar kertas, yang kesemuanya bertuliskan data-data palsu, kata-kata palsu, angka-angka palsu, tanda tangan-tanda tangan palsu. Asu!
Hanya kepada-Nya aku mengadu. Maka jangan tak kau baca suratku ini. Aku tahu, jutaan manusia telah mengadu kepadamu, mengadukan kepalsuan-kepalsuan yang memerangkap mereka. Dari waktu ke waktu. Aku tidak mau menambah jumlah pengadu. Dan sekali-kali tidak bersedia menambah jumlah pengadu domba.
Aku pun tahu, kepada manusia-manusia yang bercita-cita meneladani Muhammad, ketika manusia-manusia itu mengeluh dan mengadu kepadamu, hanya satu sikapmu: menancapkan tajam matamu dan berlalu: menjadi Muhammad adalah keikhlasan untuk dituduh, difitnah, diperdaya, dijebak, dihambat, dicegat, dikepung, disuguhi kotoran unta, diguyur debu, dan dilempari batu-batu.
Jadi tak hendak aku mengadu. Aku hanya hendak menulis sebuah surat. Sebab Tuhan seakan tak memberiku kesempatan untuk sekadar curhat dan sejenak bersistirahat. Silih berganti orang datang, hanya untuk satu: mengakaliku.
Pernah aku sampaikan hal ini kepada satu dari manusia-manusia yang bercita-cita meneladani Muhammad, ia tertawa. Seakan-akan keadaanku ini sedemikian entengnya. Untungnya ia berkata, “Shibgatallah, saudaraku ... shibgatallah ... Bukankah sejak dulu kala engkau bercita-cita menjadi manusia tanpa warna? Kemudian, semua yang menimpamu adalah ayat yang harus kau baca dengan wa rattili-l-quraana tartiila ...”
Belum kumengerti benar apa maksud saudaraku itu. Karena itulah aku tulis surat ini. Kepadamu. Jika pun tanggapanmu terhadap suratku ini lebih tidak bisa kupahami, tidak menjadi masalah bagiku. Akan kuanggap surat ini sebagai sebagai obat rinduku kepadamu, kepada sesama manusia pencinta Muhammad, kepada sesama manusia yang memilih untuk tidak memilih, kepada sesama manusia yang mengatur untuk tidak mengatur.
Engkau sudah di sana, dan aku baru di sini. Terlampau jauh jarak ke-Muhammad-an kita. Engkau hampir mencapainya, atau bahkan sudah, sedangkan aku baru memulai langkah pertama, atau mungkin langkah kedua. Dan pada langkah itu, sesekali aku pun masih tergoda. Dan sesekali pula menyerah pada kekuasaan ciptaan manusia. Ah, andai bukan karena keteguhan yang telah kau contohkan, tentu sudah lepas kesadaran diri ini sejak jauh-jauh hari. Dan serupalah aku dengan mereka.
Ya, mereka. Mereka yang sekarang ini mengepungku. Juga mereka yang sebelum ini melempariku dengan batu-batu.
Mereka yang sekarang ini, saudaraku, mencoba membuatku serupa dengan mereka. Mencoba membuat warnaku sama dengan warna mereka. Ada yang menggunakan bujuk rayu, ada yang menggunakan retorika, ada yang menggunakan tongkat kuasa.
Saudaraku, tahukah engkau suara apa yang menggelegak dalam kalbuku ketika silih berganti mereka mendatangiku? Asu! Aku bukan orang lugu. Aku hanya mencoba hidup jujur dan bersikap lembut. Kalau kejujuran dan kelembutan ini kalian tafsirkan sebagai keluguan, maka tunggulah saatnya Tuhan nebang gulumu dengan tangan kalian sendiri.
Saudaraku, sebenarnya aku agak malu. Kata-kata dan sikap-sikapku selama ini seakan-akan menunjukkan aku sangat dekat dengan Tuhan, sedangkan aku sendiri tak jarang melangkah menjauh dari posisi berdiri-Nya. Ah, semoga Tuhan memaklumi ketaktahumaluanku ini.
Saudaraku, haruskah aku bergabung dengan keserakahan yang mereka agung-agungkan itu? Haruskah aku sewarna dengan warna kehinaan yang mereka yakini sebagai kehormatan itu?
Jawablah, saudaraku! Maksudku bukan jawaban ya atau tidak. Tapi jawablah dengan energi apa harus kubendung arus deras itu seorang diri? Energi jamaah? Sedangkan jamaah masjid pun sudah tak punya sisa energi. Energi sistem birokrasi? Sedangkan dalam hal ini mereka teramat ahli. Energi berdiam diri? Sedangkan diamku pun jadi bahan akal-akalan edisi berikutnya.
Saudaraku, kuberitahu engkau sebuah peristiwa di mana pada suatu pagi dipanggil menghadap Kepala Dinasku. Panggilan itu pun tentu berdasarkan fitnah mereka yang kemudian dijadikan bahan laporan kepada Kepala Dinasku. Sedangkan Kepala Dinasku pun tampaknya juga punya misi tersendiri terhadapku, sehingga di sela-sela saran dan arahan, sempat ia berujar kepadaku, “Sebaiknya jangan terlalu banyak membaca Alquran.”
Asu! Tentu saja hewan ini kukurung dalam hatiku. Tinggal sorot matanya saja yang kukeluarkan. Maka tajam-tajam kutatap mata kepala Dinasku. Setajam taring anjing yang siap ditancapkan ke jiwa anjing yang berada di depannya. Maka seketika itu juga berubahlah Alquran menjadi koran.
Ah, alangkah lucunya. Lebih lucu lagi, anjuran untuk tidak terlalu banyak membaca Alquran itu dilontarkan juga di hadapan seorang tokoh NU yang duduk di sebelah kananku. Aku sampai berpikir, kalau ada tokoh semacam ini, yang lucu itu NU-nya atau tokohnya?
Yang lain lagi, pada kesempatan itu, aku juga diberi contoh dari sebuah film yang dibintangi oleh Rano Karno. Tentu saja sebuah contoh diberikan dengan harapan agar si murid mau meniru. Asu! Kata hatiku lagi. Contoh kok bintang film. Ini kehidupan sejati, Bung, bukan film. Lebih dari itu, alangkah stafnya jika seorang Kepala Dinas yang kebijakan-kebijakannya didasarkan pada contoh-contoh yang diberikan oleh bintang film.
Sekian saja dulu, saudaraku. Semoga surat ini tak mengganggu sibukmu yang teramat sibuk itu. Ini hanya surat. Tetapi meski hanya, tak hilang harapanku bahwa pada suatu saat akan menjadi sesuatu yang “hebat”, dan juga menjadi tambahan nilai untuk raport akhirat.
Sakura 225, 30 September 2012 – 23:38
0 comments:
Post a Comment