Sunday, October 7, 2012

Ketika Pemeluk Ketakutan kepada yang Dipeluk: Refleksi terhadap Bunyi “keTuhanan, dengan Kewadjiban Mendjalankan Sjari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknja”

Tak ada yang perlu disesali dari sejarah. Sebesar dan separah apapun kebenaran dalam sejarah itu telah diubah. Demi kepentingan segelintir rubah. Demikianlah selayaknya sikap kita, terutama umat Islam, terhadap Piagam Jakarta. Meskipun yang telah diubah itu sebenarnya bisa kembali diubah ke arah yang tepat.

Arah yang tepat dan bukannya arah yang benar, karena isi Piagam Jakarta itu sebenarnya sudah benar. Ke Tuhan, ke manusia, ke rakyat sudah tercantum di sana. Maka Piagam Jakarta benarlah sudah. Apalagi, dalam rangka ke Tuhan; dalam rangka menuju Tuhan, metode menuju-Nya pun disertakan: dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja.

Piagam Jakarta sudah benar namun kemudian menjadi kurang tepat seiring diadakannya perubahan dengan menghapus metode menuju Tuhan. Padahal, negeri dengan penduduk mayoritas pemeluk Islam ini bisa dipastikan bahwa tidak seluruh penduduknya yang memeluk Islam tahu “cara menuju Tuhan”.

Alhasil, jadilah Indonesia seperti sekarang: terombang-ambing, melayang-layang.

Ada yang menyatakan bahwa penghapusan (baca: perubahan) itu demi Persatuan Indonesia. Argumentasi ini benar, tapi tidak tepat. Sesungguhnyalah yang mempersatukan Indonesia adalah Islam, dan bukan nasionalisme. Belanda datang dengan tujuan utama tidak untuk menjajah dan menjarah kekayaan alam Indonesia, melainkan untuk menjajah dan menjarah keyakinan terdalam mayoritas rakyat Indonesia: Islam, sehingga perlawanan terhadap Belanda pun, jika dipelajari lebih mendalam, lebih berbasis semangat “jihad” daripada semangat nasionalisme. Dari Perang Badar rakyat Islam Indonesia belajar bahwa kedzaliman harus dilawan dan bahwa kecanggihan senjata dan jumlah pasukan bukan faktor utama penentu kemenangan.

Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan Persatuan Indonesia.

Tapi “kehatia-hatian” para founding father Indonesia tampaknya lupa kepada sungguh-sungguhnya kenyataan tersebut. Akhirnya, akar “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” pun tercabut. Sehingga kini keadaan Indonesia bagai gajah bermental semut.

Yang menyedihkan, ketika “akar” tersebut coba dikemukakan faktanya di kemudian hari, sekelompok pemeluk Islam mati-matian membela keputusan penncabutan akar tersebut. Dengan dalih yang tidak lebih canggih dari dalih dulu kala: demi Persatuan Indonesia.

Tidak berhenti di situ, “sekelompok” yang ternyata berjumlah sangat besar itu bahkan balik melabeli pihak-pihak yang mencoba mengembalikan “akar” itu ke tempat semula dengan label “perlu diwaspadai”.

Mulialah “sekelompok” itu atas kewaspadaan mereka terhadap pihak-pihak yang mereka anggap sebagai perongrong Persatuan Indonesia.

Tetapi, sudah tepatkah kewaspadaan “sekelompok” itu, “sekolompok” yang nyatanya adalah pemeluk Islam? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa “kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” sama sekali tidak bersinggungan dengan Persatuan Indonesia? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu, bahwa “kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu “Negara Islam”? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa mereka sesungguhnya telah tertipu dan terpengaruh oleh isu-isu dan propaganda-propaganda anti Islam yang salah satu bentuknya berupa lahirnya terorisme yang tak lain adalah hasil persetubuhan Polisi Dunia dengan Pelacur Bangsa? Tidak terlintaskah di pikiran “sekelompok” itu bahwa Persatuan Indonesia, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, justru hanya bisa terwujud dengan sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya jika pemeluk-pemeluk Islam “dikenai” kewajiban untuk menjalankan syariat Islam?

Pada sebagian besar hari, saya berada di tengah-tengah para aparat Pemerintah Republik Indonesia. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan bahwa hanya saya sendiri dari sekian banyak aparat itu yang berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat Dhuhur. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan aparat-aparat itu mencuri di siang hari. Pada sebagian besar hari pula saya menyaksikan aparat menipu rakyat. Pada sebagian besar hari pula saya mendengar aparat-aparat itu menceritakan kisah perzinaan mereka, juga kisah perzinaan aparat yang lain.

Ironisnya, aparat-aparat yang saya saksikan dan saya dengarkan itu, berdasarkan KTP, semuanya pemeluk Islam.

Mendirikan shalat, tidak “mencuri”, tidak menipu, tidak semena-mena, tidak berzina, merupakan bagian dari syariat islam yang diwajibkan bagi pemeluk-pemeluknya. Jadi, kalau “sekelompok” itu takut setengah mati kepada bunyi “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja”, ada dua kesimpulan yang bisa dikemukakan. Pertama, “Sekelompok” itu (termasuk yang mendukungnya maupun yang didukungnya) bisa jadi adalah juga pencuri, penipu, dan pezina. Kedua, itulah komedi akhir hari, hari di mana orang Islam takut kepada Islam.

Dan kalau aparat-aparatnya, pemimpin-pemimpinnya, ulama-ulamanya tak lagi “mendirikan” shalat, menjadikan pencurian dan penipuan sebagai kebaikan, dan mennganggap perzinaan sebagai hal yang lumrah dan wajar, masih bersatukah Indonesia kini?

Sakura 225, 07 Oktober 2012 – 01:30

0 comments:

Post a Comment