Setelah mengucapkan salam, Khubaib bin Adi bergumam, “Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka semua, dan janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara mereka tetap hidup.”Kemudian Khubaib melantunkan syair:Berbagai kekuatan telah berkumpul di sekitarkuDan memanggil kabilah-kabilah merekaMereka mengumpulkan anak-anak dan wanita merekaDan aku didekatkan ke tiang tinggi yang dijagaKepada Allah aku mengadukan keterasingan dan kesedihankuSerta kematianku yang diinginkan banyak orangWahai Dzat Pemilik Arsy! Sabarkanlah aku atas apa yang diinginkan darikuMereka memotong-motong badanku dan sudah tidak ada lagi keinginankuMereka menyuruhku memilih antara kekafiran dan kematianSungguh kedua mataku menangis tanpa air mataAku tidak peduli ketika aku dibunuh selama dalam keadaan muslimDi belahan bumi mana pun aku mati di jalan AllahItu semua di jalan Allah, bila Ia berkehendak,Ia memberkahi tubuhku yang dipotong-potong
Sebagian besar anggota pasukan
pemanah memilih untuk menolak taat. Dari atas bukit mereka melihat betapa
menggiurkannya rampasan perang. Takut tak kebagian, mereka pun turun. Sebuah sebab
yang berakibat fatal. Namun juga sebuah sebab yang mendatangkan limpahan
hikmat.
Mengenang Uhud adalah mengenang
kalahnya kebenaran dalam sebuah pertandingan “terbuka”. Pertandingan yang jelas
bahwa itu memang sebuah pertandingan. Sehingga mengenang Uhud adalah juga
mengenang kemenangan sikap fair play atas kebenaran sekaligus atas
ketidakbenaran.
Adapun jika kemudian pasukan
Muhammad dinyatakan kalah oleh sejarah, sesungguhnya kekalahan itu bukan untuk
merendahkan, melainkan sebuah metode ekstrim dari-Nya dalam rangka memilah dan
memastikan tentang siapa yang benar-benar Muslim dan siapa yang ternyata
munafik. Sejatinya Muslim akan memandang “kekalahan” itu sebagai ujian “kenaikan
kelas” sehingga tetap teguh mentaati Muhammad, dan sebaliknya, Sejatinya
Munafiq akan memandang “kekalahan” itu sebagai pembenaran terhadap kebukan
mukminan yang bercokol dalam hati busuk mereka.
Maka kalah di Uhud bukanlah
sebuah masalah. Bukankah mengakui kesalahan sekaligus mengakui kekalahan dalam
sebuah “pertandingan” yang adil adalah perwujudan sikap jantan? Dan ujian,
bukankah itu merupakan konsekuensi keMusliman?
Maka Muhammad tidak gundah meski
“kekalahan” di Uhud itu demikian “dahsyat”. Kegundahan muncul justru ketika
enam orang sahabat yang berangkat menunaikan amanat justru dibunuh oleh
kelompok yang meminta kehadiran mereka sebagai pengajar agama bagi orang-orang
dalam kelompok mereka.
“Ini merupakan awal
pengkhianatan,” kata sahabat ketiga ketika ia tetap menolak untuk menyerahkan
diri sebagai tawanan. Empat sahabat dibunuh di tempat (ar-Raji’), sementara
Khubaib bin Adi dan Zaid bin Ad-Datsinnah ditawan untuk dibunuh di tempat lain
(Mekkah).
Peristiwa (baca: pengkhianatan)
serupa juga terjadi di tempat lain. Tujuh puluh sahabat dikirim ke Najd atas
permintaan penduduk Najd sendiri yang meminta dikirimkan kepada mereka
pengajar-pengajar agama. Dalam perjalanan menuju Najd, tepatnya di Bi’r Ma’unah,
pembantaian terjadi. Kecuali Ka’ab bin Zaid bin an-Najjar yang berpura-pura
mati, tak ada yang selamat dalam pembantaian berbasis siasat dan khianat ini.
Dari tuturan sejarah ditemukan
adanya perbedaan sikap Muhammad antara sikapnya terhadap “kekalahan” di Uhud
dengan “kekalahan” di ar-Raji’ dan Bi’r Ma’unah. Sebuah perbedaan sikap yang
menunjukkan kegundahan Muhammad terhadap aplikasi dan konsekuensi dari sikap
khianat.
Tidak seperti usai “kekalahan”
di Uhud, usai tragedi ar-Raji’ dan Bi’r Ma’unah, tiga puluh Shubuh berturut-turut
Muhammad memanjatkan doa Qunut: “Ya Allah! Selamatkanlah al-Walid bin
al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang mukmin
yang lemah! Dahsyatkanlah tekanan-Mu terhadap kabilah Mudharr, dan jadikanlah
tahun-tahun mereka seperti tahun-tahun derita yang dialami oleh Yusuf. Ya
Allah! Kutuklah suku Ri’lan, suku Dzakwan, dan suku Ushaiyyah, karena mereka
mendurhakai Allah dan rasul-Nya.”
Sebagai respon terhadap
kegundahan Muhammad yang terwujud dalam doa Qunut tersebut, turunlah Ali Imran
ayat 128: Kamu tidak berwenang sedikitpun mencampuri urusan itu, karena
mungkin Allah akan menerima tobat mereka atau menyiksa mereka, sebab mereka
adalah orang-orang yang dzalim.
Maka berhentilah Qunut. Maka
bergantilah gundah menjadi pasrah. Maka berjayalah orang-orang yang pasrah atas
orang-orang dzalim. Secermat apapun tipu muslihat diprogram dan diaplikasikan
oleh orang-orang khianat.
Sakura 225, 9 Oktober 2012 –
21:33
0 comments:
Post a Comment