Tuesday, October 9, 2012

Khianat


Setelah mengucapkan salam, Khubaib bin Adi bergumam, “Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka semua, dan janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara mereka tetap hidup.”

Kemudian Khubaib melantunkan syair:

Berbagai kekuatan telah berkumpul di sekitarku
Dan memanggil kabilah-kabilah mereka
Mereka mengumpulkan anak-anak dan wanita mereka
Dan aku didekatkan ke tiang tinggi yang dijaga
Kepada Allah aku mengadukan keterasingan dan kesedihanku
Serta kematianku yang diinginkan banyak orang
Wahai Dzat Pemilik Arsy! Sabarkanlah aku atas apa yang diinginkan dariku
Mereka memotong-motong badanku dan sudah tidak ada lagi keinginanku
Mereka menyuruhku memilih antara kekafiran dan kematian
Sungguh kedua mataku menangis tanpa air mata
Aku tidak peduli ketika aku dibunuh selama dalam keadaan muslim
Di belahan bumi mana pun aku mati di jalan Allah
Itu semua di jalan Allah, bila Ia berkehendak,
Ia memberkahi tubuhku yang dipotong-potong


Sebagian besar anggota pasukan pemanah memilih untuk menolak taat. Dari atas bukit mereka melihat betapa menggiurkannya rampasan perang. Takut tak kebagian, mereka pun turun. Sebuah sebab yang berakibat fatal. Namun juga sebuah sebab yang mendatangkan limpahan hikmat.

Mengenang Uhud adalah mengenang kalahnya kebenaran dalam sebuah pertandingan “terbuka”. Pertandingan yang jelas bahwa itu memang sebuah pertandingan. Sehingga mengenang Uhud adalah juga mengenang kemenangan sikap fair play atas kebenaran sekaligus atas ketidakbenaran.

Adapun jika kemudian pasukan Muhammad dinyatakan kalah oleh sejarah, sesungguhnya kekalahan itu bukan untuk merendahkan, melainkan sebuah metode ekstrim dari-Nya dalam rangka memilah dan memastikan tentang siapa yang benar-benar Muslim dan siapa yang ternyata munafik. Sejatinya Muslim akan memandang “kekalahan” itu sebagai ujian “kenaikan kelas” sehingga tetap teguh mentaati Muhammad, dan sebaliknya, Sejatinya Munafiq akan memandang “kekalahan” itu sebagai pembenaran terhadap kebukan mukminan yang bercokol dalam hati busuk mereka.

Maka kalah di Uhud bukanlah sebuah masalah. Bukankah mengakui kesalahan sekaligus mengakui kekalahan dalam sebuah “pertandingan” yang adil adalah perwujudan sikap jantan? Dan ujian, bukankah itu merupakan konsekuensi keMusliman?

Maka Muhammad tidak gundah meski “kekalahan” di Uhud itu demikian “dahsyat”. Kegundahan muncul justru ketika enam orang sahabat yang berangkat menunaikan amanat justru dibunuh oleh kelompok yang meminta kehadiran mereka sebagai pengajar agama bagi orang-orang dalam kelompok mereka.

“Ini merupakan awal pengkhianatan,” kata sahabat ketiga ketika ia tetap menolak untuk menyerahkan diri sebagai tawanan. Empat sahabat dibunuh di tempat (ar-Raji’), sementara Khubaib bin Adi dan Zaid bin Ad-Datsinnah ditawan untuk dibunuh di tempat lain (Mekkah).

Peristiwa (baca: pengkhianatan) serupa juga terjadi di tempat lain. Tujuh puluh sahabat dikirim ke Najd atas permintaan penduduk Najd sendiri yang meminta dikirimkan kepada mereka pengajar-pengajar agama. Dalam perjalanan menuju Najd, tepatnya di Bi’r Ma’unah, pembantaian terjadi. Kecuali Ka’ab bin Zaid bin an-Najjar yang berpura-pura mati, tak ada yang selamat dalam pembantaian berbasis siasat dan khianat ini.

Dari tuturan sejarah ditemukan adanya perbedaan sikap Muhammad antara sikapnya terhadap “kekalahan” di Uhud dengan “kekalahan” di ar-Raji’ dan Bi’r Ma’unah. Sebuah perbedaan sikap yang menunjukkan kegundahan Muhammad terhadap aplikasi dan konsekuensi dari sikap khianat.

Tidak seperti usai “kekalahan” di Uhud, usai tragedi ar-Raji’ dan Bi’r Ma’unah, tiga puluh Shubuh berturut-turut Muhammad memanjatkan doa Qunut: “Ya Allah! Selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang mukmin yang lemah! Dahsyatkanlah tekanan-Mu terhadap kabilah Mudharr, dan jadikanlah tahun-tahun mereka seperti tahun-tahun derita yang dialami oleh Yusuf. Ya Allah! Kutuklah suku Ri’lan, suku Dzakwan, dan suku Ushaiyyah, karena mereka mendurhakai Allah dan rasul-Nya.”

Sebagai respon terhadap kegundahan Muhammad yang terwujud dalam doa Qunut tersebut, turunlah Ali Imran ayat 128: Kamu tidak berwenang sedikitpun mencampuri urusan itu, karena mungkin Allah akan menerima tobat mereka atau menyiksa mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang dzalim.

Maka berhentilah Qunut. Maka bergantilah gundah menjadi pasrah. Maka berjayalah orang-orang yang pasrah atas orang-orang dzalim. Secermat apapun tipu muslihat diprogram dan diaplikasikan oleh orang-orang khianat.

Sakura 225, 9 Oktober 2012 – 21:33

0 comments:

Post a Comment