"Hampir saja Umayyah bin Abi ash-Shalt masuk Islam."
Lantunkan lagi, lantunkan lagi, lantunkan lagi. Demikian Muhammad saw. meminta asy-Syayid yang saat itu sedang diboncengnya di atas punggung unta untuk meneruskan lantunan bait-bait puisi Umayyah bin Abi ash-Shalt. Setiap kali asy-Syayid berhenti pada satu bait, Muhammad saw. memintanya untuk meneruskan ke bait berikutnya, bait berikutnya, dan bait berikutnya hingga genap asy-Syayid melantunkan seratus bait puisi Umayyah bin Abi ash-Shalt.
Siapakah Umayyah bin Abi ash-Shalt dan sekuat apakah puisinya hingga Muhammad saw. berkenan meluangkan waktu untuk menikmati seratus bait puisinya?
Jika ada waktu luang, cobalah tanyakan pertanyaan di atas kepada beberapa kyai di sekitar Anda. Dan kemungkinan terbesar jawaban yang akan Anda dapatkan adalah gelengan kepala. Atau angkatan bahu: mana gua tahu?
Kitab Sahih Muslim pun tidak menyediakan ruang untuk menjawab pertanyaan di atas. Inilah alasan mengapa sikap terbaik adalah keterbukaan; kemauan untuk menelaah segala sesuatu tidak hanya dari satu sumber. Sebuah sikap dan kemauan yang akan mematangkan dan mendewasakan pengetahuan.
Menilik kepada riwayat lain di mana Muhammad saw. begitu kecewa kepada seorang khatib yang menganggap sepele pemilihan kata di mana "Allah dan Rasul-Nya" diringkas menjadi "keduanya", bisa didapatkan simpulan bahwa ketauhidan lah yang membuat Muhammad saw. berkenan meluangkan waktu untuk mendengarkan seratus bait puisi Umayyah bin Abi ash-Shalt.
Karena seratus bait puisi Umayyah bin Abi ash-Shalt itu memuat hasrat yang kuat terhadap ketauhidan. Satu di antaranya adalah apa yang oleh Muhammad saw. disebut sebagai ucapan penyair yang paling benar: Ketahuilah, apa saja selain Allah adalah bathil.
Maka, di situlah letak kekuatan puisi Umayyah bin Abi ash-Shalt: tauhidullah.
Lantas bagaimana dengan Umayyah bin Abi ash-Shalt, pencipta seratus bait puisi itu? Muhammad saw. menyebutnya dengan "iman lidahnya kafir hatinya". Fakta bahwa Muhammad saw. lah yang dipilih menjadi rasulullah dan bukannya dia membuat Umayyah bin Abi ash-Shalt dijangkiti penyakit dalam berupa iri dan dengki. Pengetahuan yang ia dapat dari kitab-kitab ahli kitab tentang akan datangnya seorang utusan Allah membuat ia berharap bahwa dialah utusan itu.
Ketika ternyata Muhammad saw., limpahan pengetahuan ternyata gagal membuat Umayyah bin Abi ash-Shalt berendah hati untuk mengakui Muhammad saw. sebagai Nabi. Sia-sialah seratus bait puisinya yang dikagumi kekuatannya oleh Muhammad saw. di kemudian hari.
Jadi begitulah. Kebenaran adalah sesuatu yang sebenarnya bisa dilihat oleh siapapun. Hanya saja, kebanyakan kita memilih untuk menjadi Umayyah; memilih untuk menderita "penyakit dalam".
Sakura 225, 14 Oktober 2012 - 23:22
0 comments:
Post a Comment