Wednesday, October 24, 2012

Yang Sedikit Dosanya


Pukul 13.30. Usai melepas sepatu dan berwudhu, iqamat lirih saya lantunkan. Di dalam mushala kantor yang dengan sengaja diletakkan di bagian paling ekor gedung kantor dan berdampingan dengan kamar mandi itu hanya ada saya dan seorang teman saya yang datang ke kantor “induk” dari wilayah yang berbeda namun dengan keperluan yang sama: mengumpulkan lembar-lembar laporan dan SPJ.

Setelah iqamat lirih selesai saya lantunkan, di luar dugaan saya, teman saya yang lima tahun lebih tua dari saya, sudah beranak dua, dan yang juga salah seorang tokoh penting NU di wilayahnya itu mendorong saya ke depan.

Dia : Yang sedikit dosanya yang semestinya menjadi imam.

Saya : Sampean itu ada-ada saja. Memangnya, tentang kualitas dan kuantitas dosa; tentang banyak-sedikitnya dosa, ada manusia yang mengetahuinya?

Akhirnya, entah untuk kali yang ke berapa, dia menjadi imam saya. Dan tak pernah satu kali pun saya pernah menjadi imamnya. Hal ini bukan karena saya tidak cukup mampu menjadi imam, tetapi setiap kali berurusan dengan orang-orang NU, saya selalu merasa malu untuk “berjalan” di depan mereka. Bukankah orang-orang NU selalu lebih benar dari orang-orang non-NU apalagi dari orang-orang yang tidak NU dan tidak non-NU seperti saya ini.

Tapi di luar rasa malu saya itu, saya sungguh bersyukur mempunyai teman seperti dia. Seorang teman yang dari balik selimut tebal NU masih bersedia memandang benar-salah dan pahala-dosa secara lebih adil. Dari balik selimut tebal itu ia tahu bahwa memalsu tandatangan, membodohi masyarakat, menyakiti pikiran-perasaan, dan menelan hak orang lain adalah jauh lebih besar dosanya daripada tidak qunut Shubuh dan tidak mengikuti kenduri.

Kantor Selatan BPMPKB Blora, 22 Oktober 2012

0 comments:

Post a Comment