Pukul
13.30. Usai melepas sepatu dan berwudhu, iqamat lirih saya lantunkan. Di dalam
mushala kantor yang dengan sengaja diletakkan di bagian paling ekor gedung kantor
dan berdampingan dengan kamar mandi itu hanya ada saya dan seorang teman saya
yang datang ke kantor “induk” dari wilayah yang berbeda namun dengan keperluan
yang sama: mengumpulkan lembar-lembar laporan dan SPJ.
Setelah
iqamat lirih selesai saya lantunkan, di luar dugaan saya, teman saya yang lima
tahun lebih tua dari saya, sudah beranak dua, dan yang juga salah seorang tokoh
penting NU di wilayahnya itu mendorong saya ke depan.
Dia : Yang sedikit dosanya yang semestinya menjadi imam.
Saya : Sampean itu ada-ada saja. Memangnya, tentang kualitas dan kuantitas dosa; tentang banyak-sedikitnya dosa, ada manusia yang mengetahuinya?
Akhirnya,
entah untuk kali yang ke berapa, dia menjadi imam saya. Dan tak pernah satu
kali pun saya pernah menjadi imamnya. Hal ini bukan karena saya tidak cukup
mampu menjadi imam, tetapi setiap kali berurusan dengan orang-orang NU, saya
selalu merasa malu untuk “berjalan” di depan mereka. Bukankah orang-orang NU
selalu lebih benar dari orang-orang non-NU apalagi dari orang-orang yang tidak
NU dan tidak non-NU seperti saya ini.
Tapi
di luar rasa malu saya itu, saya sungguh bersyukur mempunyai teman seperti dia.
Seorang teman yang dari balik selimut tebal NU masih bersedia memandang
benar-salah dan pahala-dosa secara lebih adil. Dari balik selimut tebal itu ia
tahu bahwa memalsu tandatangan, membodohi masyarakat, menyakiti
pikiran-perasaan, dan menelan hak orang lain adalah jauh lebih besar dosanya
daripada tidak qunut Shubuh dan tidak mengikuti kenduri.
Kantor
Selatan BPMPKB Blora, 22 Oktober 2012
0 comments:
Post a Comment